Dalam teori Paulo Freire, pendidikan bukanlah proses satu arah yang dimulai dari guru yang mengalirkan pengetahuan ke dalam kepala siswa. Sebaliknya, pendidikan yang humanis adalah dialog antara guru dan murid, dimana keduanya belajar dan berkembang bersama.
Di sinilah tempatnya keinginan untuk membentuk manusia yang bukan hanya pintar, tetapi juga bijaksana. Dalam hal ini, Freire menekankan pentingnya kesadaran kritis (conscientização) yang memungkinkan siswa untuk memahami dunia sosial mereka dengan cara yang lebih mendalam dan penuh empati.
Namun demikian, apakah kita masih bisa berharap pada pendidikan yang berbasis pada dialog dan refleksi kritis di tengah derasnya arus pendidikan yang lebih mengutamakan ujian dan evaluasi berbasis angka?
Di era sekarang, banyak sekolah yang lebih mengutamakan penguasaan kompetensi dan keterampilan teknis daripada pemahaman akan nilai-nilai kemanusiaan.
Bahkan, sering kali siswa lebih dihargai karena kemampuan mereka menjawab soal ujian dengan tepat daripada kemampuan mereka berpikir secara kritis tentang dunia yang mereka hadapi.
Mari kita ambil contoh sederhana. Ketika seorang siswa dihadapkan dengan soal ujian yang berkaitan dengan masalah sosial, apakah dia diajarkan untuk merenungkan dampak sosial dari masalah tersebut atau sekedar mencari jawaban yang paling tepat di kertas?
Hal lainnya, apakah ada ruang untuk pertanyaan kritis tentang ketidaksetaraan ekonomi, perubahan iklim, maupun masalah sosial lainnya dalam ujian yang mereka jalani? Atau justru yang lebih penting adalah “bisa mengerjakan soal dengan benar”?
Dalam konteks ini, kita bisa melihat bagaimana pendidikan terkadang lebih menekankan pada kemampuan teknis untuk menjawab soal daripada pemahaman yang mendalam tentang dunia di sekitar mereka.
Pengaruh Teknologi antara Pendidikan atau Algoritma?
Di era digital yang serba canggih ini, pendidikan tidak bisa lepas dari pengaruh teknologi. Kita berada di dunia yang penuh dengan gadget, aplikasi, dan sistem yang dirancang untuk memudahkan hidup kita.