Bicara soal kemiskinan di Indonesia, kita tidak bisa hanya berbicara angka-angka statistik yang berkilau di laporan pemerintah, karena ada hal yang lebih dari itu.
Ini tentang kehidupan manusia, tentang keluarga yang berjuang tiap hari untuk bertahan hidup, dan tentang harapan yang kadang-kadang hilang begitu saja.
Di sisi lain, kita juga bicara soal kelas menengah, lapisan masyarakat yang sering dianggap sebagai penggerak utama ekonomi. Namun, sekarang kelas ini mulai tergerus, terhimpit oleh ekonomi yang tak menentu dan ketidakpastian masa depan.
Melihat fenomena ini, bisa dibilang kita sedang berada di titik yang krusial dalam perjalanan ekonomi Indonesia.
Kemiskinan masih menjadi momok besar, dan kelas menengah yang dulu menjadi pilar ekonomi kini semakin rapuh.
Lalu, bagaimana kita bisa menutup lubang kemiskinan sekaligus mengembalikan kelas menengah yang kian terhimpit? Pertanyaan ini bukan hanya untuk pemerintah, tetapi juga untuk kita semua.
Kemiskinan lebih dari sekedar Angka
Kemiskinan di Indonesia bukanlah fenomena baru, tapi keadaannya semakin mengkhawatirkan. Bukan hanya soal jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan yang terus melambung, tapi juga soal kualitas hidup yang semakin tergerus.
Ada ribuan, bahkan jutaan orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dan tidak hanya dengan pendapatan yang minim, tetapi dengan akses yang terbatas terhadap layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan yang layak.
Kemiskinan itu sifatnya struktural dan berkelanjutan. Artinya, mereka yang lahir dalam kondisi miskin cenderung terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang sulit untuk diputus.
Tanpa pendidikan yang memadai, tanpa keterampilan yang relevan dengan pasar kerja, dan tanpa jaringan sosial yang kuat, mereka tidak memiliki banyak kesempatan untuk keluar dari kondisi tersebut.
Kendati demikian, penting untuk diingat bahwa kemiskinan tidak hanya soal uang. Ini adalah masalah sistemik yang mencakup ketidakadilan sosial, ketimpangan akses, dan distribusi kekayaan yang timpang.
Mengatasi kemiskinan bukan hanya soal memberi bantuan atau subsidi, tetapi tentang menciptakan sistem yang memungkinkan mereka yang terpinggirkan untuk mengakses peluang yang sama. Di sinilah tantangan besar dimulai!
Pilar yang Terguncang itu Kelas Menengah
Kelas menengah adalah kelas yang memiliki peran sangat vital dalam ekonomi negara. Mereka adalah konsumen, produsen, dan pendorong inovasi.
Kelas menengah yang kuat adalah tanda ekonomi yang sehat dan tumbuh, karena mereka adalah penggerak utama sektor riil seperti perdagangan, manufaktur, dan layanan.
Namun di Indonesia, kelas menengah ini mulai terkikis, terutama setelah pandemi COVID-19 yang mengubah banyak tatanan sosial dan ekonomi.
Banyak orang yang dulu masuk dalam kategori kelas menengah, tiba-tiba terjatuh ke dalam kategori kelas bawah akibat kehilangan pekerjaan atau pendapatan yang menurun drastis.
Hal ini tidak hanya terjadi pada pekerja di sektor informal, tetapi juga pada profesional di sektor formal yang terdampak oleh resesi ekonomi global dan nasional.
Dengan inflasi yang meningkat, biaya hidup yang semakin tinggi dan ketidakpastian ekonomi, banyak keluarga kelas menengah menjadi semakin terjepit.
Fenomena ini menggambarkan bahwa kelas menengah kita tidak begitu stabil seperti yang kita bayangkan.
Apabila kelas menengah hancur, maka perekonomian akan sangat bergantung pada konsumsi masyarakat kelas bawah dan atas. Tentu, hal ini juga sangat rentan terhadap ketimpangan dan ketidakadilan.
Menutup Lubang Kemiskinan
Untuk menutup lubang kemiskinan, kita tidak bisa hanya mengandalkan bantuan sosial atau program subsidi yang sifatnya sementara.
Kita perlu menciptakan fondasi yang lebih kokoh untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin.
Salah satu solusi yang paling mendasar adalah pendidikan dan keterampilan. Tanpa pendidikan yang berkualitas dan keterampilan yang relevan dengan pasar kerja, masyarakat kelas menengah ke bawah akan terus terjebak dalam siklus kemiskinan.
Pendidikan adalah pintu utama untuk keluar dari kantong kemiskinan. Namun pendidikan yang dimaksud bukan hanya soal memiliki gelar, tetapi juga kemampuan untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman seperti menguasai teknologi digital, keterampilan kewirausahaan, dan kemampuan berinovasi.
Dalam konteks ini, peran pemerintah sangat besar, baik dalam meningkatkan kualitas pendidikan formal maupun menyediakan akses pendidikan non-formal yang lebih murah dan mudah dijangkau. Tentu saja, pemerataan pendidikan harus menjadi prioritas.
Selain itu, penciptaan lapangan kerja yang berkualitas juga menjadi kunci penting. Dengan investasi yang tepat di sektor-sektor yang padat karya seperti industri kreatif, pariwisata, dan sektor digital, kita dapat menciptakan lebih banyak peluang bagi mereka yang terperangkap dalam kemiskinan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Dengan menyusun kebijakan yang mendukung kewirausahaan dan pemberdayaan masyarakat, bisa menjadi alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada sektor formal yang cenderung terbatas.
Namun demikian, pendidikan dan lapangan kerja saja tidak cukup. Akses ke layanan dasar seperti kesehatan, perumahan dan transportasi, juga harus merata.
Ini berarti pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan pembangunan tidak hanya menguntungkan kota besar atau wilayah tertentu, tetapi juga memperhatikan daerah-daerah terpencil yang selama ini sering terabaikan.
Mengembalikan Kelas Menengah sama dengan Membangun Ketahanan Ekonomi
Jika kemiskinan adalah lubang yang harus ditutup, maka mengembalikan kelas menengah adalah tugas besar yang tak kalah penting.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kelas menengah adalah pilar ekonomi yang mendorong daya beli dan pertumbuhan.
Agar kelas menengah bisa kembali kokoh, kita perlu menciptakan kondisi yang mendukung mereka untuk bertumbuh.
Pemberdayaan ekonomi adalah kunci utama. Hal ini bisa dilakukan dengan menciptakan kebijakan yang mendukung UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah).
UMKM adalah tulang punggung kelas menengah, terutama di Indonesia yang mayoritas penduduknya bekerja di sektor informal.
Apabila UMKM dapat diberdayakan dengan bantuan modal, pelatihan, dan akses pasar yang lebih luas, maka mereka dapat tumbuh menjadi lebih kuat dan dapat membuka lebih banyak lapangan pekerjaan.
Peningkatan upah juga menjadi salah satu langkah untuk mengembalikan kelas menengah. Meningkatkan upah pekerja di sektor formal dan informal adalah langkah penting agar daya beli mereka tetap terjaga.
Tentu, ini harus diimbangi dengan produktivitas yang tinggi. Oleh karena itu, selain menaikkan upah, penting juga untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja melalui pelatihan dan peningkatan keterampilan.
Dalam jangka panjang, reformasi perpajakan juga diperlukan. Sebagian besar kelas menengah merasa terhimpit oleh pajak yang tinggi, sementara mereka tidak mendapatkan manfaat yang sebanding dari sistem perpajakan tersebut. PPN 12% solusinya? Ah, sudahlah.
Oleh karena itu, pembenahan sistem pajak yang adil dan transparan akan membantu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap negara dan mengurangi ketimpangan. Maka sangat penting untuk membatalkan pemberlakuan PPN 12% pada Januari 2025!
Membangun Ekonomi yang lebih Inklusif
Tugas besar kita sekarang adalah membangun ekonomi yang inklusif. Ini bukan hanya soal meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan, tetapi juga soal menciptakan sistem yang adil dan merata.
Pemerintah harus terus berfokus pada pembangunan infrastruktur yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya yang ada di kota-kota besar. Namun penting untuk dicatat, bahwa solusinya bukan dengan menaikkan tarif PPN sebesar 12%.
Dengan demikian, agar kemiskinan bisa menurun dan kelas menengah bisa tumbuh kembali, kita harus memastikan bahwa semua orang tanpa terkecuali, mendapatkan akses yang sama terhadap peluang dan kesempatan, baik itu pendidikan, pekerjaan atau fasilitas dasar lainnya.
Hanya dengan cara ini, kita bisa memastikan bahwa lubang kemiskinan akan semakin menutup, dan kelas menengah bisa kembali menjadi penggerak utama perekonomian Indonesia.
Sebuah Perjalanan Panjang
Menutup lubang kemiskinan dan mengembalikan kelas menengah bukanlah pekerjaan yang mudah, dan tidak akan terjadi dalam semalam.
Ini adalah perjalanan panjang yang membutuhkan keseriusan dan komitmen dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat itu sendiri.
Kita harus berhenti melihat ini sebagai masalah sektoral atau jangka pendek, tetapi sebagai sebuah upaya bersama untuk menciptakan masa depan yang lebih sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tantangan besar ini tidak akan teratasi jika kita tidak memiliki visi yang jelas tentang bagaimana cara membangun ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Kini saatnya untuk bekerja lebih keras, berpikir lebih kreatif, menolak PPN 12%, dan bertindak lebih bijak demi menutup lubang kemiskinan dan mengembalikan kelas menengah kita ke jalur yang seharusnya. Sebab, masa depan bangsa ini ada di tangan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H