Dalam dunia yang semakin terpolarisasi dan penuh dengan ketegangan ideologis, sosok KH. Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan Gus Dur, tetap menjadi teladan hidup yang patut direnungkan.
Meskipun Gus Dur telah meninggal lebih dari satu dekade lalu, tetapi ajaran, tindakan, dan kepribadiannya tetap relevan di tengah tantangan global yang semakin kompleks.
Gus Dur bukan hanya seorang ulama, tetapi juga seorang pemikir, pemimpin, dan pembaharu sosial yang mampu melihat kebenaran dalam keberagaman dan ketidakadilan dalam ketidaksetaraan.
Dalam tulisan ini, kita akan belajar dari Gus Dur sebagai upaya untuk memahami makna toleransi, kebijaksanaan dan ketulusan dalam tindakan.
Keberagaman sebagai Kekayaan bukan Ancaman
Salah satu pelajaran pertama yang dapat kita ambil dari kehidupan Gus Dur adalah pandangannya tentang keberagaman.
Di tengah masyarakat yang sering kali terpecah oleh perbedaan etnis, agama dan pandangan politik, Gus Dur senantiasa menekankan pentingnya menghargai perbedaan sebagai sesuatu yang memperkaya bukan mengancam.
Baginya, keberagaman adalah sebuah anugerah yang harus dirayakan, bukan dilawan. Sebagai seorang Nahdliyin yang tumbuh dalam lingkungan pesantren, Gus Dur mendalami ajaran Islam yang sangat inklusif dan menghargai hak-hak setiap individu, terlepas dari latar belakang mereka.
Dalam banyak pidato dan tulisan, Gus Dur sering kali mengingatkan kita bahwa toleransi bukanlah sikap pasif yang hanya menerima perbedaan, tetapi sikap aktif untuk mengakui nilai kemanusiaan dalam setiap diri manusia tanpa membedakan suku, agama, ras atau status sosial.
Salah satu contohnya adalah sikap Gus Dur terhadap minoritas. Dalam masa pemerintahannya, ia mengadvokasi hak-hak kaum minoritas, termasuk hak-hak agama di luar dari Islam.
Ia menghapus diskriminasi terhadap umat Kristen dan Tionghoa yang selama ini menjadi bagian dari budaya eksklusi dalam masyarakat Indonesia.