Luwu Raya merupakan daerah yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan dan tempat yang dikenal karena keindahan alamnya yang memesona, kini jadi panggung drama politik yang tak kalah menarik dan unpredictable. Dalam konteks Pilkada serentak 2024, Luwu Raya telah mengukir sejarah baru yang tak bisa dipandang sebelah mata.
Di tengah hiruk-pikuk politik yang menyuguhkan janji manis dan debat, ada satu hal yang tak bisa disembunyikan, yaitu kegagalan dinasti politik di Luwu Raya yang menggelikan.
Bupati petahana Luwu Timur, suami mantan Bupati Luwu Utara, anak mantan Walikota Palopo, dan anak mantan Bupati Luwu, semuanya terjun bebas ke jurang kekalahan.
Ini bukan cuma drama politik biasa, ini adalah kisah epik tentang bagaimana keturunan politisi besar dan petahana yang merasa kekuasaannya sudah abadi, ternyata disadarkan oleh kenyataan pahit bahwa rakyat sudah semakin pintar dan cerdas dalam memilih. Tentu kita bisa berempati kepada mereka yang mengalami kekalahan, tetapi momen ini merupakan saat yang tepat untuk menikmatinya dengan sedikit sarkas dan canda.
Mereka yang selama ini merasa dilindungi oleh silsilah keluarga atau status petahana harus belajar bahwa dunia politik, popularitas bukanlah jaminan karena rakyat bukanlah sekedar statistik dalam buku pemilih. Rakyat punya suara, dan tahu betul siapa yang layak dipilihnya.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa calon-calon yang diorbitkan melalui dinasti politik menuai kegagalan dalam Pilkada serentak 2024? Apa karena mereka mungkin merasa sangat nyaman selama keluarganya memimpin?Â
Namun kini, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa kursi kekuasaan bukanlah warisan keluarga, dan bahwa kemudian dinasti politik tidak menjamin apa-apa terutama ketika rakyat sudah capek dan jenuh dengan gaya politik yang lama dan sudah usang.
Oleh sebab itu, penulis akan mencoba mengkaji mengapa para calon-calon tersebut tidak memenangkan kontestasi. Mari kita kaji bagaimana figur-figur tersebut dikalahkan oleh kandidat lain.
Petahana kok Gagal?
Kita mulai dengan Bupati petahana Luwu Timur. Kita tahu, menjadi petahana itu merupakan keuntungan besar dalam memenangkan kembali arena Pilkada. Namun kenyataan berkata sebaliknya.
Selama bertahun-tahun memimpin, seseorang pasti berpikir "rakyat sudah tahu kerja saya, sudah ada pencapaian, lalu apalagi yang kurang?", kurangnya adalah keinginan untuk perubahan.
Siapa yang menyangka bahwa warga Luwu Timur yang selama ini dibiasakan dengan pemerintahan yang stabil dan "tanpa tersentuh", akhirnya memilih untuk berpaling ke kandidat lain.
Dalam kajian politik kontemporer, Brennan & Hamlin (2020) menjelaskan bahwa rakyat cenderung mencari perubahan ketika mereka merasa bahwa pemerintahan yang ada hanya berjalan di tempat dan tidak menghasilkan kemajuan nyata.
Tampaknya, petahana di Luwu Timur lupa bahwa kursi kekuasaan tidak bisa diperoleh hanya dengan status "sudah memimpin". Ternyata, warga Luwu Timur mencari sesuatu yang lebih dari sekedar kelanjutan episode dari pemerintahan yang lama.
Sebagai petahana memang punya banyak keuntungan seperti nama sudah dikenal, kebijakan mudah diterima, dan pengaruh dalam birokrasi. Namun kenyataan yang harus diterima adalah tanpa perubahan nyata dan terobosan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, petahana akan menjadi figuran dalam drama Pilkada.
Rakyat tak peduli dengan predikat "sudah menjabat". Mereka ingin pemimpin yang bisa membawa inovasi dan memberikan solusi atas masalah yang ada, bukan hanya janji-janji manis.
Kenapa tak bisa seperti Istrinya?
Selanjutnya, suami mantan Bupati Luwu Utara yang pasti sudah memiliki keyakinan dalam hati, "jika istri saya sukses, saya juga pasti bisa".Tentu saja, siapa yang bisa menahan godaan untuk mencoba melanjutkan warisan politik istri yang pernah memimpin? Tapi tahukah kenyataannya seperti apa?
Warga Luwu Utara ternyata tidak peduli dengan hubungan keluarga atau popularitas. Mereka ingin pemimpin yang bisa membawa perubahan nyata, bukan hanya meneruskan cerita yang sudah lama.
Menurut Acemoglu & Robinson (2019), menegaskan bahwa pemilih yang lelah dengan stagnasi pemerintahan cenderung mencari pemimpin baru yang membawa harapan baru dan visi yang lebih segar.
Dalam hal ini, warga Luwu Utara mencari pemimpin lebih dari sekedar kelanjutan politik dinasti. Mungkin, suami mantan Bupati ini harus merenung sejenak, apakah dia menawarkan sesuatu yang benar-benar baru? Jika tidak, mungkin itulah alasan kekalahannya.
Namun ada satu pelajaran besar disini, meskipun dinasti politik dapat membantu membuka jalan, tetapi pada akhirnya itu tidak akan cukup apabila tidak memiliki kemampuan untuk menanggapi tantangan zaman.
Rakyat tidak mau memilih seseorang hanya karena dia adalah suami dari mantan Bupati. Mereka ingin pemimpin yang bisa bekerja keras, bukan hanya mengandalkan warisan politik.
Ternyata Nama besar Ayah tidak cukup untuk Menang!
Di sini, kita punya anak mantan Walikota Palopo. Sekali lagi, siapa yang tidak ingin melanjutkan "kerajaan" politik keluarga? Mungkin sang anak berpikir "Ayah saya terkenal, saya pasti bisa diterima oleh rakyat".
Namun sayangnya, hal demikian bertentangan dengan kenyataan yang ada. Warga Palopo ternyata lebih cerdas daripada yang bisa dibayangkan. Mereka tidak tertarik pada nama besar saja, tetapi mereka ingin melihat apa yang bisa dilakukannya untuk kota mereka.
Barro (2022) dalam Journal of Economic Perspectives, mencatat bahwa pemilih lebih memilih calon yang memiliki kebijakan dan visi yang dapat membawa perubahan signifikan dibandingkan hanya mengandalkan warisan keluarga.
Anak mantan Walikota Palopo ini harus menyadari bahwa kendati ayahnya sukses, itu tidak secara otomatis mendapatkan golden ticket menuju tampuk kekuasaan sebagai Walikota. Rakyat sudah tidak tertarik lagi dengan politik dinasti yang hanya mengandalkan nama besar keluarga.
Warga Palopo ingin perubahan yang nyata. Mereka ingin pemimpin yang tahu betul apa yang mereka butuhkan dan dapat diimplementasikan pada kebijakan yang efektif.
Inilah kenyataan pahit yang harus diterima oleh anak mantan Walikota Palopo bahwa nama besar tidak akan cukup apabila visi dan kebijakan yang ditawarkan tidak memadai dan tidak bersesuaian dengan kehendak rakyat. Karena rakyat semakin sadar akan pentingnya kualitas pemimpin.
Warisan Kekuasaan itu tidak otomatis menjamin Kemenangan
Akhirnya, kita sampai pada anak mantan Bupati Luwu. Ini adalah cerita klasik dimana anak dari seorang pemimpin daerah merasa bahwa dengan berbekal nama besar ayahnya, ia bisa langsung melenggang ke kursi kekuasaan.
Namun kenyataannya berkata lain. Warga Luwu lebih peduli pada substansi dan kualitas pemimpin daripada sekedar siapa yang mereka anggap "berhak" memimpin.
Dalam The Sociological Imagination, menurut Milss (2023), bahwa politik dinasti sering kali menghalangi inovasi dan pembaruan yang diperlukan dalam pemerintahan.
Jika anak mantan Bupati Luwu ini berpikir bahwa hanya dengan meneruskan kekuasaan ayahnya, ia dapat menjamin kemenangan. Namun warga Luwu ingin pemimpin yang mampu membawa kemajuan, bukan hanya sekedar meneruskan tongkat estafet yang sudah usang.
Politik dinasti mungkin memberikan keuntungan awal, tetapi itu tidak bisa bertahan lama. Apabila tidak dapat menawarkan ide segar, kebijakan yang relevan, dan solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat, maka kekuasaan itu akan mudah jatuh dan runtuh.
Inilah yang akhirnya dialami oleh anak mantan Bupati Luwu bahwa warisan politik tidak menjamin apa-apa. Terlebih dalam memimpin suatu daerah tanpa memiliki kualitas kepemimpinan di dalam dirinya, maka niscaya memenangkan arena politik.
Rakyat mencari Pemimpin, bukan Keluarga Politik
Kekalahan beruntun di Luwu Raya yang dialami oleh Bupati petahana Luwu Timur, suami mantan Bupati Luwu Utara, anak mantan Walikota Palopo, dan anak mantan Bupati Luwu, memberikan pelajaran besar bagi kita semua bahwa politik dinasti sudah mulai ditinggalkan oleh rakyat, khususnya masyarakat Luwu Raya.
Rakyat kini semakin sadar bahwa politik bukanlah soal siapa Anda, melainkan apa yang bisa Anda lakukan untuk mereka dan terhadap pembangunan daerah di tengah tantangan zaman yang sangat kompleks dan penuh dengan ketidakpastian.
Pilkada serentak 2024 telah menunjukkan bahwa meskipun Anda lahir dalam keluarga besar, namun itu tidak cukup untuk memenangkan hati rakyat.
Rakyat ingin pemimpin yang dapat memberikan solusi nyata, bukan sekedar yang mengandalkan nama besar atau kedekatan keluarga. Oleh sebab itu, bagi politisi yang menuai kekalahan mungkin sudah saatnya menyadari bahwa kekuasaan tidak bisa diwariskan, tetapi harus diperjuangkan.
Semoga ini menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa politik dan kekuasaan bukanlah warisan keluarga, tetapi tentang kualitas pemimpin yang bisa memberikan perubahan nyata bagi masyarakat.
Untuk itu, bagi mereka yang merasa dan menganggap bahwa kursi kekuasaan adalah hak turun-temurun, sungguh sangat salah besar dan anggapannya tidak berdasar. Mari kita rayakan politik dinasti atau politik pembaruan? Selamat datang di dunia nyata dengan slogan vox Populi vox Dei.
Referensi
Brennan, G., & Hamlin, A. (2020). The Politics of Petitions: Petitioner Feedback and the Politics of Incumbency. Journal of Political Economy.
Acemoglu, D., & Robinson, J. A. (2019). The Narrow Corridor: States, Societies, and the Fate of Liberty. Penguin Press.
Barro, R. (2022). Political Leadership and Economic Reform: The Role of Visionary Leaders in Democracies. Journal of Economic Perspectives.
Milss, C. W. (2023). The Sociological Imagination.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI