Mohon tunggu...
Muhammad guntur
Muhammad guntur Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Mahasiswa

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM semoga kita di berikan umur yang panjang

Selanjutnya

Tutup

Analisis

14 tema dengan teori di bawah ini

17 Januari 2025   21:19 Diperbarui: 19 Januari 2025   06:41 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Peran Peer Support

Peer Support dapat memberikan kontribusi dalam menurunkan angka kekerasan dan meningkatkan Kesehatan mental siswa. Bimbingan konseling berbasis peer support didasari oleh teori social learning Albert Bandura (Bandura, 1977) yang menyatakan bahwa siswa cenderung meniru perilaku yang mereka lihat pada teman sebaya. Dalam konteks ini, siswa perlu dilatih untuk menjadi pendukung bagi teman-temannya sehingga dapat mendorong sikap positif untuk mengurangi dampak psikologis dari perilaku kekerasan.

Penelitian oleh Smith dan Watson (2018) menunjukkan bahwa sekolah yang mengadopsi program peer support mengalami penurunan insiden kekerasan sebesar 25% dalam dua tahun setelah penerapan program tersebut. Data ini mengindikasikan bahwa dukungan sebaya efektif dalam membentuk lingkungan sekolah yang lebih aman. Demikian juga O'Neil (2019) menyatakan bahwa integrasi peer support dalam sistem konseling dapat berpengaruh dalam peningkatan pemahaman dan kesadaran siswa tentang kekerasan dan pentingnya kesehatan mental.

Program ini juga dinilai meningkatkan rasa kepemilikan terhadap gerakan anti-kekerasan, dengan lebih dari 70% siswa merasa termotivasi untuk speak up terhadap kasus kekerasan dan mendukung teman yang mengalami kesulitan. Kajian oleh Durlak et al. (2011), memperkuat bahwa siswa yang terlibat dalam program peer support tidak hanya lebih resilien terhadap kekerasan, tetapi juga memiliki tingkat kecemasan dan depresi yang lebih rendah dibandingkan dengan siswa yang tidak terlibat dalam program ini. Meta-analisis ini menemukan bahwa peningkatan self-efficacy melalui dukungan sebaya dapat mengurangi tingkat stres akibat perundungan dan kekerasan di sekolah.

Program ini membantu siswa mengembangkan keterampilan emosional, seperti pengelolaan emosi dan keterampilan komunikasi, yang relevan dalam menangani konflik. Disinilah faktor pengaruh program peer support berdampak pada peningkatan kesehatan mental siswa.

Tentunya keberhasilan program peer support ini tidak bisa terlepas dari dukungan yang konsisten dan kolaboratif dari berbagai pihak, termasuk tenaga pendidik, konselor, orang tua, siswa dan lingkungan sekitar. Keterlibatan aktif semua pihak tersebut dapat membantu menciptakan atmosfer yang mendukung bagi remaja untuk saling berbagi dan memberikan dukungan yang positif.

Studi dari Karcher (2009) menunjukkan bahwa efektivitas program ini juga bergantung pada pelatihan yang memadai bagi siswa pendukung, supervisi dari konselor profesional, dan dukungan administratif. Inovasi bimbingan konseling berbasis peer support, menawarkan solusi efektif dalam upaya menciptakan lingkungan sekolah yang bebas kekerasan.

Program ini tidak hanya membantu mencegah kekerasan, tetapi juga berkontribusi pada kesehatan mental siswa secara keseluruhan. Sebagai agen perubahan, siswa memiliki peran penting dalam membangun komunitas sekolah yang aman dan saling mendukung, sekaligus memperkuat gerakan anti-kekerasan di lingkungan sekolah. Saatnya bergerak dan berpihak, katakan STOP pada kekerasan.

13. Isus isu sosial-emosional di sekolah dasar, seperti bullinying masalah disiplin, atau interaksi sosial di kelas.

        Penelitian ini dilatarbelakangi banyaknya dampak bullying terhadap perilaku social emosional siswa di SD Negeri 013 Ujungbatu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak bullying terhadap perilaku sosial emosional siswa di SD Negeri 013 Ujungbatu. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus kualitatif. Pendekatan studi kasus ini adalah untuk memberi peneliti kesempatan dalam  memahami berbagai hal yang terjadi pada kasus. Hasil penelitian adalah perilaku bullying yang terjadi yaitu bullying verbal seperti tindakan mengejek yang berdampak pada rasa kepercayaan diri anak, rasa percaya, dan rasa simpati, tindakan memfitnah yang berdampak pada rasa kepercayaan diri anak, rasa percaya dan rasa simpati, dan bullying non verbal seperti menunjukkan sikap yang janggal, tindakan mengancam, yang berdampak terhadap perilaku social emoional siswa yaitu berrkurangnya rasa kepercayaan diri korban, berkurangnya rasa percaya korban terhadap pelaku dan berkurangnya rasa simpati korban terhadap pelaku, marah, sedih dan malu. Simpulan dari penelitian yakni dampak bullying terhadap perilaku sosial emosional siswa akan berdampak pada rasa kepercayaan diri anak, rasa percaya anak, rasa simpati anak, rasa takut, marah sedih dan malu. 


14. Sel ( social-emotional learning ) dan CASES ( collaborative academic social-emotional learning ).

      Stres akademik merupakan kondisi umum yang terjadi saat seseorang mengalami tekanan yang bersumber dari kegiatan akademik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Liu, dkk [17] mengungkapkan bahwa penyebab seseorang mengalami stres akademik adalah ujian, minimnya prestasi, prokratinasi, pekerjaan rumah, sistem pembelajaran yang kurang mendukung serta motivasi dalam internal siswa. Selain itu, menurut Alvin [1] stres akademik juga disebabkan oleh pola pikir, kepribadian, jam pelajaran yang padat dan tugas yang banyak serta keterampilan belajar. Biasanya stres akademik sering terjadi pada momen-momen tertentu, seperti halnya mendekati tengah semester ataupun ujian akhir. Akan tetapi, sistem daring yang saat ini tengah dilakukan akibat pandemi COVID-19 menjadikan siswa rentan terkena stres akademik. Hal ini sesuai dengan hasil survey yang dilakukan oleh KPAI pada 20 provinsi dan 54 kabupaten menunjukkan bahwa 79,9% anak mengalami stres diakibatkan pembelajaran sistem daring [13]. Sistem pembelajaran dengan metode daring yang saat ini dilakukan mengakibatkan terjadinya peningkatan beban pembelajaran yang memicu stres akademik pada siswa [25]. Lebih jauh, Pujiastuti [25] pun menyatakan bahwa pembelajaran jarak jauh atau daring membuat peserta didik menjadi bosan yang dikarenakan tidak bisanya peserta didik beriteraksi langsung dengan guru dan teman-temannya. Pernyataan tersebut selaras dengan temuan Agus [9] bahwa pembelajaran jarak jauh yang dilakukan membuat siswa perlu waktu untuk beradaptasi dan hal tersebut berimbas pada kemampuan murid menyerap pelajaran, hal tersebut dikarenakan siswa sudah terbiasa melakukan pembelajaran tatap muka yang memungkinkan mereka untuk berinteraksi dengan teman dan gurunya. Padahal interaksi yang sering dilakukan oleh siswa bersama dengan teman dan gurunya akan dapat meningkatkan capaian prestasi akademik siswa (Gehlbach, Brinkworth, Hsu, King, Mclntyre & Rogers, 2016). Seperti yang dipaparkan di atas, bahwa kegiatan belajar dan mengajar yang dilakukan secara daring atau jarak jauh meningkatkan kerentanan stres akademik yang dialami oleh siswa. Stres akademik yang tidak segara ditangani akan berdampak pada kinerja siswa dan berpengaruh negatif secara langsung pada keberhasilan pendidikan siswa juga pada bagaimana kondisi emosional siswa [8]. Lebih jauh, Dhia [10] mengatakan bahwa stres akademik yang terjadi di masa pandemik ini juga didorong karena ketidakmampuan siswa dalam mengolah emosinya yang disebabkan oleh keharusan untuk menjaga jarak, mengurangi aktivitas di luar rumah yang akhirnya membuat siswa cepat bosan dan berdampak pada kondisi emosional mereka yang rentan cemas, gelisah, dan mudah marah. Oleh karena itu, penting adanya strategi guna menurunkan tingkat stres akademik yang terjadi pada siswa saat ini. Dhia [10] mengatakan bahwa salah satu metode pembelajaran yang tepat dan dapat digunakan dalam situasi seperti ini adalah Social Emotional Learning (SEL), ini dikarenakan metode SEL membantu siswa untuk meningkatkan motivasi dan resiliensinya dalam melakukan pengelolaan emosi. Penyataan tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Helaludin dan Alamsyah [12] bahwa Social Emotional Learning atau SEL adalah proses kegiatan belajar-mengajar yang secara sengaja melibatkan anak-anak dan orang dewasa secara bersamaan agar saling memahami baik dari segi emosi, tujuan serta dapat membangun empati dan menjalin hubungan yang positif serta bertanggung jawab. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Khilmiyah (2013) yang menunjukkan bahwa penggunaan metode SEL dalam pembelajaarn Pendidikan Agama Islam dapat menumbuhkan kecerdasan emosional dan sosial pada anak jika dilakukan secara holistik. Selain itu, penelitian terdahlu yang dilakukan oleh Greenberg, dkk [11] menunjukkan bahwa siswa dengan kompetensi sosial dan emosional yang baik dapat hidup lebih sehat dan memiliki performa yang lebih unggul dibandingkan dengan yang tidak. Oleh sebab itu, penting untuk mengoptimalkan komponen-komponen dalam SEL guna meminimalisir terjadinya stres akademik siswa. Lebih jauh, penulisan ini bertujuan untuk memberikan solusi tentang bagaimana SEL berperan dalam mengurangi stres akademik memalui pengaplikasian komponen komponennya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun