Sejak malam itu, Andik mulai berpikir keras tentang cara mengumpulkan uang untuk bisa mengikuti lomba sains. Ia tahu bahwa keluarganya tidak bisa membantunya secara finansial, sehingga ia harus menemukan jalan keluar sendiri. Andik mulai mencari pekerjaan sampingan di desa. Meskipun usianya baru 12 tahun, ia tidak takut untuk bekerja keras demi mewujudkan impiannya.
Pekerjaan pertama yang ia lakukan adalah membantu ibunya menjual kue di pasar. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Andik membantu ibunya menyiapkan kue. Ia belajar membuat adonan, membungkus kue, dan membantu membawa dagangan ke pasar. Setelah pulang sekolah, Andik akan kembali ke pasar untuk membantu ibunya menjual kue. Meskipun pekerjaan itu melelahkan, Andik tidak pernah mengeluh. Ia tahu bahwa setiap rupiah yang ia dapatkan akan membantunya lebih dekat dengan impiannya.
Selain membantu ibunya, Andik juga bekerja paruh waktu di bengkel milik Pak Dahlan, seorang kenalan keluarga mereka yang memiliki bengkel sepeda motor di desa. Di bengkel, Andik melakukan pekerjaan-pekerjaan ringan seperti membersihkan sepeda motor, mengelap peralatan, dan merapikan tempat kerja. Pak Dahlan, yang mengenal Andik sebagai anak yang rajin dan jujur, senang dengan kehadirannya di bengkel. Meskipun upah yang diberikan tidak banyak, Andik sangat bersyukur.
Hari-hari Andik menjadi sangat padat. Di pagi hari ia pergi ke sekolah, di sore hari ia bekerja di bengkel, dan di malam hari ia membantu ibunya membuat kue. Namun, meskipun ia sibuk bekerja, Andik tidak pernah melupakan pelajarannya. Ia tetap belajar dengan tekun setiap malam, meskipun hanya menggunakan penerangan lampu minyak di rumah mereka yang sederhana. Bagi Andik, pendidikan adalah kunci untuk mewujudkan impiannya, dan ia tidak akan membiarkan apa pun menghalangi usahanya untuk belajar.
Namun, di tengah usahanya untuk mengumpulkan uang, cobaan besar datang. Pak Samin jatuh sakit. Tubuhnya yang selama ini bekerja keras di ladang tidak lagi mampu menahan beban kerja yang berat. Pak Samin sering merasa pusing dan lelah, dan dalam beberapa minggu terakhir, kondisinya semakin memburuk. Bu Ratna mulai khawatir dan membawa suaminya ke puskesmas terdekat. Dokter mengatakan bahwa Pak Samin mengalami kelelahan kronis dan membutuhkan istirahat yang cukup.
Kondisi kesehatan ayahnya membuat Andik merasa sangat cemas. Tidak hanya karena ia khawatir akan kesehatan ayahnya, tetapi juga karena beban ekonomi keluarga semakin berat. Dengan Pak Samin yang tidak bisa bekerja, Bu Ratna harus bekerja lebih keras untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Uang yang sudah dikumpulkan Andik untuk lomba terpaksa digunakan untuk membeli obat bagi ayahnya. Hati Andik terasa sangat hancur. Lomba sains tinggal dua minggu lagi, dan ia masih belum bisa mendaftar.
Malam itu, Andik duduk di atap rumahnya seperti biasa, menatap bintang-bintang di langit. Namun kali ini, air mata mengalir di pipinya. "Apa aku harus menyerah?" gumamnya pelan. Di saat itu, Andik merasa bahwa impiannya untuk menjadi astronom semakin jauh dari jangkauan. Semua usahanya untuk mengumpulkan uang seolah sia-sia. Namun, di tengah keputusasaan, Andik teringat akan kata-kata yang pernah ia baca di buku tua: "Untuk mencapai bintang, kita harus berani bermimpi besar, meski langkah kita dimulai dari tempat kecil." Kata-kata itu kembali membangkitkan semangat Andik.
Andik memutuskan bahwa ia tidak akan menyerah. Meskipun ayahnya sakit dan uang yang sudah ia kumpulkan habis, Andik yakin bahwa masih ada jalan keluar. Ia memutuskan untuk berbicara dengan Pak Dahlan, pemilik bengkel tempat ia bekerja. Andik menceritakan situasi keluarganya kepada Pak Dahlan dan meminta nasihat.
Pak Dahlan, yang sudah lama mengenal Andik dan keluarganya, merasa tergerak oleh cerita Andik. Ia tahu bahwa Andik adalah anak yang rajin dan pantang menyerah, dan ia tidak ingin melihat impian Andik hancur begitu saja. Dengan hati yang tulus, Pak Dahlan menawarkan untuk meminjamkan uang kepada Andik agar ia bisa mengikuti lomba. "Jangan khawatir tentang uangnya, Andik. Kamu bisa membayarnya nanti setelah kamu menang lomba," kata Pak Dahlan dengan senyum hangat.
Hati Andik penuh dengan rasa syukur. Ia tidak menyangka bahwa Pak Dahlan akan begitu baik hati membantunya. Dengan uang pinjaman dari Pak Dahlan, Andik akhirnya bisa mendaftar untuk lomba sains. Hari-hari berikutnya diisi dengan persiapan yang intens. Andik belajar lebih giat dari sebelumnya, menghafal rumus-rumus dan membaca buku-buku sains yang ia pinjam dari perpustakaan sekolah. Bu Ani juga memberikan dukungan penuh, membantu Andik mempersiapkan materi yang mungkin akan keluar dalam lomba.
Hari lomba yang dinantikan akhirnya tiba. Andik berangkat ke kabupaten dengan perasaan campur aduk---antara gugup dan bersemangat. Bu Ani ikut mendampinginya, memberikan dukungan moral sepanjang perjalanan. Lomba sains ini diikuti oleh puluhan siswa dari berbagai sekolah di seluruh kabupaten, dan persaingan sangat ketat. Setiap peserta terlihat bersemangat dan percaya diri, membawa serta mimpi besar mereka masing-masing.