Namun, di balik semangat belajarnya, Andik tidak bisa menutupi rasa sedih yang terkadang muncul dalam hatinya. Ia tahu bahwa keluarganya sedang mengalami kesulitan ekonomi yang semakin berat. Ayahnya sering pulang dalam keadaan kelelahan setelah bekerja seharian di ladang. Pak Samin tidak pernah mengeluh, tetapi Andik bisa melihat dari wajah ayahnya bahwa pekerjaan itu sangat menguras tenaganya. Ibunya, Bu Ratna, juga bekerja keras setiap hari membuat kue untuk dijual di pasar. Namun, pendapatan dari menjual kue tidak seberapa, terutama jika kue-kue tersebut tidak laku terjual.
Ada malam-malam di mana Andik terbangun mendengar percakapan orang tuanya di ruang tamu. Mereka berbicara dengan suara pelan, khawatir Andik akan mendengar. Dari percakapan itu, Andik tahu bahwa keluarganya sedang kesulitan membayar tagihan listrik dan biaya sekolahnya. Meskipun Pak Samin dan Bu Ratna berusaha keras untuk menyembunyikan masalah tersebut dari Andik, ia bisa merasakan kekhawatiran yang terus membayangi keluarganya.
Di saat-saat seperti itu, Andik merasa bahwa impiannya untuk menjadi seorang astronom mungkin terlalu jauh untuk dijangkau. Bagaimana mungkin ia bisa belajar tentang bintang-bintang dan planet-planet jika keluarganya bahkan kesulitan untuk membeli buku tambahan? Bagaimana ia bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi jika keluarganya tidak memiliki cukup uang untuk membiayai sekolahnya? Meskipun begitu, Andik tidak pernah membiarkan rasa putus asa itu menguasainya. Setiap kali ia merasa sedih, ia akan kembali ke atap rumahnya dan menatap langit malam. Di sana, di bawah cahaya bintang-bintang yang berkilauan, Andik merasa mendapatkan kembali harapannya.
Andik percaya bahwa setiap bintang yang bersinar di langit malam adalah simbol dari harapan. Meski tampaknya jauh dan tidak terjangkau, bintang-bintang itu terus bersinar, memberikan cahaya kepada siapa pun yang mau melihatnya. Dalam keheningan malam, Andik sering merenung dan memikirkan kata-kata yang pernah ia baca di buku sains tua: "Untuk mencapai bintang, kita harus berani bermimpi besar, meski langkah kita dimulai dari tempat kecil." Kata-kata itu memberinya kekuatan untuk terus bermimpi, meskipun hidup penuh dengan keterbatasan.
Suatu hari, ketika Andik sedang belajar di kelas, Bu Ani, guru sains yang sangat dihormati Andik, memberikan sebuah pengumuman penting. Bu Ani dikenal sebagai guru yang selalu mendorong murid-muridnya untuk berpikir kritis dan tidak pernah menyerah dalam menghadapi tantangan. Ia selalu berbicara tentang pentingnya ilmu pengetahuan, dan bagaimana sains bisa membuka jendela menuju masa depan yang lebih baik.
Pada hari itu, Bu Ani mengumumkan bahwa akan diadakan lomba sains tingkat kabupaten dalam waktu dekat. Lomba ini, yang diadakan oleh pemerintah daerah, adalah kesempatan bagi para siswa berprestasi untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam bidang sains. Namun, yang membuat pengumuman ini semakin menarik adalah hadiah yang ditawarkan bagi pemenang lomba. Pemenang lomba sains ini akan mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan pendidikan di sekolah menengah terbaik di kota. Selain itu, pemenang juga akan mendapatkan akses ke fasilitas pendidikan yang lebih baik, termasuk laboratorium sains dan peralatan canggih yang tidak tersedia di sekolah desa.
Mendengar pengumuman itu, hati Andik berdebar kencang. Ia merasa bahwa inilah kesempatan yang selama ini ia tunggu-tunggu. Jika ia bisa memenangkan lomba sains ini, bukan hanya ia akan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah, tetapi juga ia akan lebih dekat dengan impiannya untuk menjadi seorang astronom. Bayangan tentang laboratorium dengan teleskop besar dan buku-buku ilmiah yang tebal membuat Andik semakin bersemangat.
Namun, kegembiraannya segera digantikan oleh rasa khawatir. Meskipun lomba sains ini menawarkan hadiah yang sangat menggiurkan, ada satu masalah yang membuat Andik merasa ragu. Untuk bisa mengikuti lomba tersebut, ia memerlukan biaya pendaftaran yang cukup besar, ditambah lagi ia harus membeli seragam baru dan beberapa peralatan sekolah lainnya. Jumlah uang yang dibutuhkan jauh lebih besar dari apa yang keluarganya mampu sediakan. Andik tahu bahwa meminta uang kepada orang tuanya akan menambah beban ekonomi keluarga yang sudah berat.
Malam itu, setelah makan malam sederhana yang terdiri dari nasi dan sayur kangkung, Andik memberanikan diri untuk berbicara kepada ayahnya tentang lomba sains tersebut. Pak Samin, yang saat itu sedang beristirahat di kursi tua di ruang tamu, mendengarkan dengan seksama ketika Andik menjelaskan tentang lomba dan hadiah yang ditawarkan. Di wajahnya terlihat campuran antara kebanggaan dan kekhawatiran. Pak Samin bangga bahwa anaknya memiliki ambisi yang besar, tetapi ia juga tahu bahwa keluarganya tidak memiliki cukup uang untuk membiayai pendaftaran lomba tersebut.
"Andik, Ayah bangga padamu," kata Pak Samin setelah mendengar penjelasan Andik. "Kalau Ayah bisa, Ayah pasti akan melakukan apa saja untuk impianmu. Tapi biaya lomba itu..." Suaranya terdengar berat. Pak Samin tidak ingin mengecewakan anaknya, tetapi ia juga tidak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa kondisi keuangan mereka sangat terbatas.
Andik mengangguk pelan. Ia sudah menduga jawaban itu, tetapi tetap saja hatinya terasa hancur mendengarnya. Ia tahu bahwa meminta uang kepada ayahnya sama saja dengan menambah beban yang sudah berat. Namun, di dalam hatinya, Andik merasa bahwa ia tidak bisa menyerah begitu saja. Lomba sains ini adalah kesempatan besar yang mungkin tidak akan datang lagi. Meskipun hatinya dipenuhi dengan rasa bimbang, Andik memutuskan bahwa ia akan mencari cara untuk mengumpulkan uang sendiri.