Desa tempat Andik tinggal adalah sebuah desa yang damai dan tenang di pinggiran kota. Terletak jauh dari hiruk-pikuk perkotaan, desa itu dikelilingi oleh alam yang indah---sawah yang membentang luas sejauh mata memandang, hutan lebat di kejauhan, serta gunung yang menjulang kokoh di ufuk barat. Udara desa yang sejuk, dengan semilir angin yang membawa harum padi yang siap dipanen, adalah bagian dari kehidupan sehari-hari Andik dan keluarganya. Di desa ini, penduduk hidup sederhana, sebagian besar bekerja sebagai petani atau buruh tani seperti ayah Andik, Pak Samin.
Pak Samin adalah pria paruh baya yang tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan akibat bekerja di ladang sejak masa mudanya. Setiap hari, dari subuh hingga matahari tenggelam, ia mencangkul tanah, menanam padi, atau membantu tetangganya memanen. Penghasilannya tidak seberapa, cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya. Istri Pak Samin, Bu Ratna, sehari-harinya membantu ekonomi keluarga dengan menjual kue di pasar desa yang tidak jauh dari rumah mereka.
Rumah Andik terletak di ujung desa, dekat dengan sawah yang luas. Rumah itu kecil, terbuat dari kayu dengan atap seng yang sudah mulai berkarat. Meskipun sederhana, rumah ini selalu penuh dengan kehangatan. Bu Ratna selalu menjaga rumahnya bersih dan rapi. Dapurnya yang mungil adalah tempat ia membuat kue-kue sederhana yang dijualnya di pasar, seperti klepon, onde-onde, dan apem. Setiap pagi, Andik sering membantu ibunya menyiapkan kue sebelum berangkat ke sekolah.
Andik adalah anak tunggal, dan seperti kebanyakan anak-anak di desanya, ia tumbuh dalam kesederhanaan. Tidak ada mainan mewah, tidak ada pakaian baru setiap tahunnya, tetapi Andik tidak pernah mengeluh. Setiap sore, setelah pulang sekolah, ia akan bermain di sawah atau memanjat pohon bersama teman-temannya. Meski hidup dengan keterbatasan, keluarga Andik selalu merasa cukup. Mereka hidup dengan saling mendukung satu sama lain dan merawat apa yang mereka miliki dengan penuh cinta.
Namun, meskipun kehidupan di desa tampak damai, Andik memiliki sesuatu yang berbeda dari teman-temannya. Di dalam hatinya, ia menyimpan sebuah impian yang sangat besar---impian untuk bisa melihat bintang-bintang lebih dekat dan memahami rahasia alam semesta. Keinginannya untuk mengetahui lebih banyak tentang luar angkasa dimulai dari sebuah buku tua yang ditemukannya di perpustakaan desa, sebuah tempat kecil yang jarang dikunjungi orang.
Pada suatu sore yang cerah, Andik pergi ke perpustakaan desa yang terletak di balai desa. Tempat itu sepi, hanya ada beberapa rak buku yang tertata dengan rapi, sebagian besar buku-buku tentang pertanian dan sejarah lokal. Namun, di sudut perpustakaan, ia menemukan sebuah buku usang dengan sampul yang menarik perhatiannya. Judul buku itu adalah "Misteri Alam Semesta: Tata Surya dan Bintang-Bintang". Buku tersebut begitu usang hingga beberapa halamannya mulai rapuh. Tapi begitu Andik membukanya, ia terpesona. Setiap halaman buku itu dipenuhi dengan gambar planet-planet, bintang-bintang, dan galaksi yang jauh di luar jangkauan pandang mata manusia.
Sore itu, Andik duduk di pojok perpustakaan, tenggelam dalam buku itu. Ia membacanya dengan penuh perhatian, meskipun ada beberapa istilah yang sulit dipahaminya. Gambar-gambar planet dan penjelasan tentang tata surya membuat imajinasinya melambung tinggi. "Apakah mungkin aku bisa melihat ini semua suatu hari nanti?" pikirnya. Sejak saat itu, Andik sering datang ke perpustakaan untuk meminjam buku-buku lain yang berkaitan dengan astronomi. Ia menjadi lebih tertarik pada langit malam yang setiap hari ia lihat dari atap rumahnya.
Malam-malam yang biasa ia habiskan dengan bermain di luar bersama teman-temannya, kini sering ia habiskan di atas atap rumahnya yang kecil. Di sana, ia akan berbaring sambil menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Setiap kali melihat bintang yang bersinar terang, Andik merasa seperti mereka memanggilnya, seolah-olah ada rahasia besar di luar sana yang menunggunya untuk ditemukan. Dalam kesunyian malam, di bawah sinar bintang, Andik berjanji pada dirinya sendiri: suatu hari nanti, ia akan menjadi seorang astronom.
Namun, Andik tahu bahwa impiannya itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dicapai. Keluarganya hidup dalam keterbatasan. Pak Samin dan Bu Ratna bekerja keras hanya untuk mencukupi kebutuhan dasar mereka. Pendidikan adalah sesuatu yang dianggap mahal dan mewah. Sekolah tempat Andik belajar adalah sekolah desa yang sederhana, dengan fasilitas yang sangat terbatas. Tidak ada laboratorium sains, dan buku-buku pelajaran sering kali harus dipakai bergantian dengan siswa lain. Meski begitu, Andik tidak pernah menyerah. Ia tahu bahwa dengan belajar keras, ia mungkin bisa menemukan jalan untuk mencapai impiannya.
Setiap pagi, Andik berangkat ke sekolah dengan seragam yang sudah mulai usang dan sepatu yang sudah berlubang di bagian ujungnya. Tas sekolahnya, yang diwariskan dari kakaknya yang sudah lulus, hampir robek dan penuh tambalan. Namun, Andik tidak pernah mengeluh. Meskipun teman-temannya sering mengejeknya karena penampilannya, Andik selalu menanggapi mereka dengan senyuman. Baginya, pakaian dan sepatu bukanlah yang terpenting. Yang lebih penting adalah apa yang ada di dalam kepalanya---pengetahuan dan cita-cita yang ia impikan.
Di sekolah, Andik dikenal sebagai siswa yang rajin dan pandai. Meskipun ia tidak memiliki buku-buku tambahan untuk belajar, ia selalu mencari cara untuk mempelajari hal-hal baru. Ia sering meminjam buku dari perpustakaan sekolah, meskipun buku-buku di sana sangat terbatas. Jika ada pelajaran yang ia tidak mengerti, Andik tidak segan-segan bertanya kepada gurunya. Bu Ani, guru kelas Andik, sangat mengagumi semangat belajarnya. Ia sering memberikan Andik tugas tambahan untuk mengasah kemampuannya, terutama dalam mata pelajaran sains yang sangat disukai Andik.