Mohon tunggu...
Muhammad Farhan
Muhammad Farhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - IAIN LANGSA

Hobi Olaharga

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

etika berbicara dalam al quran penerapan di media sosial

24 Desember 2024   15:02 Diperbarui: 24 Desember 2024   15:02 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menghadirkan transformasi besar dalam cara manusia berinteraksi. Media sosial, sebagai produk dari revolusi digital, telah menjadi ruang publik baru yang memungkinkan setiap individu untuk berbagi pemikiran, pendapat, dan informasi secara instan dan masif. Namun, kemudahan berkomunikasi ini juga membawa tantangan baru dalam etika berbicara dan berinteraksi.

Di era media sosial yang sangat terbuka ini, banyak orang cenderung mengabaikan etika dalam berkomunikasi. Fenomena ujaran kebencian, bullying, fitnah, dan penyebaran berita bohong menjadi pemandangan yang jamak ditemui di berbagai platform media sosial. Kebebasan berekspresi seringkali disalahartikan sebagai kebebasan tanpa batas untuk menghina, mencela, atau menyebarkan informasi tanpa verifikasi. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan dan berpotensi merusak tatanan sosial serta nilai-nilai kemanusiaan.

Islam sebagai agama yang komprehensif telah memberikan tuntunan yang sangat jelas mengenai etika dalam berkomunikasi. Al-Qur'an sebagai pedoman hidup umat Islam memuat berbagai ayat yang mengatur tentang adab dan etika dalam berbicara. Salah satu surah yang secara khusus membahas tentang etika berkomunikasi adalah Surah Al-Hujurat, khususnya pada ayat 11-12. Ayat-ayat tersebut memberikan panduan yang sangat relevan tentang bagaimana seharusnya seorang muslim berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama.

Alquran hadir sebagai kompas moral yang memandu kehidupan manusia. Gagasan ini diperkuat oleh al-Jabiri yang memandang Alquran tidak sekadar kitab suci, melainkan sebuah "kitab akhlak" yang menjadi fondasi etika dan moralitas. Konsep ini terwujud secara sempurna melalui sosok Nabi Muhammad SAW, yang berhasil mengejawantahkan nilai-nilai akhlak Alquran dalam kehidupan sehari-hari, sehingga beliau dikenal memiliki akhlak yang agung (khuluq 'adhim).

Dalam perspektif yang lebih luas, fungsi Alquran sebagai petunjuk (hudan) mencerminkan perannya dalam membentuk karakter dan perilaku manusia. Kehadiran Nabi Muhammad SAW sebagai teladan utama menunjukkan bahwa ajaran-ajaran moral Alquran bukanlah sekadar teori abstrak, melainkan panduan praktis yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Melalui keteladanan beliau, nilai-nilai etika yang terkandung dalam Alquran menjadi lebih mudah dipahami dan diterapkan oleh umat manusia.

Mengenai etika bermedia sosial sudah disebutkan juga di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bagaimana seharusnya masyarakat menggunakan media sosial dalam kehidupannya dengan bijak[1], namun pada saat ini banyak sekali dari kalangan masyarakat yang telah mengabaikan perilaku akhlak atau etika yang baik dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam penggunaan media sosial, sebagian orang-orang menggunakan sosial media hanya untuk menyebarkan berita palsu, serta media sosial dijadikan sebagai ajang ghibah, namimah (mengadu domba) dan sejenisnya.

 

Artikel  ini mengkaji secara mendalam tentang konsep etika bermedia sosial yang terkandung dalam Alquran, khususnya yang termaktub dalam Surah al-Hujurat ayat  11-12. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan merumuskan model etika komunikasi yang digariskan oleh Alquran, dengan mengintegrasikan berbagai teori yang relevan dalam konteks etika bermedia sosial.

 

 

 

 

 

 

A. Etika Berbicara dalam Al-Qur'an 

 

Secaral etimologisl etikal berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos dan lethikos, ethos yangl berarti sifat, watak, ladat, kebiasaan, tempat  yang baik, ethikos berarti susila, keadaban atau  kelakuan dan perbuatan  yang  baik. Sedangkan secara terminologis etika berarti pengetahuan yang membahas baik  dan buruk  atau benar tidaknya tingkah laku dan  tindakan manusia  serta sekaligus menyoroti  kewajiban-kewajiban manusia[2].

 

Media sosial adalah alat baru komunikasi masa kini yang tidak terpaku pada satu teknik komunikasi melainkan dapat di kolaborasikan dengan banyak filtur lainnya. "social meia is a new set of communication and collaboration tools that enable many types og interactions that were previously not available to the common person". Medial sosiall adalahl salahl satul alat yangl dimana seseorang  dapat terhubung dengan segalal hal dan yang terpenting  adalah media  sosial sebagai alat berbagil informasi yang cepat. Medial sosial selain menjadi alat komunikasi, juga sebagai saranal untukl menyalurkan ekspresivitasl diri bisa juga untuk menjadi lahan pencarian  di masa kini[3].

 

Etika berbicara dalam Al-Qur'an lahir dalam konteks sosial masyarakat Arab yang terbiasa dengan perkataan kasar dan melukai perasaan. Kebiasaan ini sering memicu konflik dan permusuhan antar suku.Al-Qur'an hadir membawa perubahan dengan mengajarkan cara berbicara yang baik, sopan dan menghargai sesama. Karena dalam Islam, setiap ucapan membawa dampak dan akan dipertanggungjawabkan.

 

Ajaran ini bertujuan menciptakan masyarakat yang rukun dan damai. Kata-kata baik bisa menyembuhkan hati dan mempererat persaudaraan, sementara kata-kata buruk bisa melukai dan memutus silaturahmi.

 

 

 

 

 

B. Etika Berbicara dalam Al-Qur'an Surah Al-Hujurat Ayat 11-12 

 

Surah al-Hujurat merupakan salah satu surah yang ada di dalam Alquran, menempati urutan ke 49 dari 114 surah dan terdiri dari 18 ayat, 340 kalimat dan 1476 huruf. Surah ini tergolong ke dalam kategori surah madaniyah dan diturunkan pada tahun 9 Hijriah. Dari 114 surah yang ada di mushaf Alquran, surah alHujurat memiliki keutamaan dan keistimewaan tersendiri karena kandungannya mempelajari tentang akhlak dan etika bagi manusia. Tujuan utama diturunkan surah ini karena berhubungan dengan berbagai persoalan tata karma, baik terhadap Allah dan Rasul-Nya, maupun terhadap sesama muslim yang taat dan juga yang durhaka serta terhadap sesama manusia[4]

 

A. Menghormati dan Menghargai Orang Lain

 

Salah satu ayat Alquran yang mengandung etika bermedia sosial tentang menghormati dan menghargai orang lain terdapat dalam ayat 11 al-Hujurat yaitu:

 

 

" Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim[5].

 

Dalam surah al-Hujurat ayat 11, Allah SWT memberikan tuntunan kepada umat Islam tentang etika bergaul. Kita dilarang melakukan perbuatan yang merendahkan martabat orang lain seperti mengolok-olok, mencemooh, atau memberi julukan yang tidak baik. Perilaku demikian adalah perbuatan tercela yang tidak sesuai dengan akhlak seorang muslim[6].

 

Rasa hormat untuk diri sendiri dibutuhkan agar mampu menerima segala kekuatan dan kelemahan diri secara ikhlas, serta bagaimana dapat mengembangkan kekuatan-kekuatan diri untuk menjadi pribadi yang tidak mudah goyah. Menghormati diri juga dapat berarti bagaimana seseorang dapat memaknai kehidupannya agar selalu menerapkan nilai-nilai keluhuran pada seluruh perilakunya, dan tidak membiarkan dirinya melakukan hal-hal yang merusak, itu sebabnya perilaku merusak diri sendiri seperti minum minuman keras atau menggunakan narkoba, merupakan kekeliruan yang besar. Selain itu, hormat kepada orang lain juga dapat membantu terjadinya hubungan baik dalam bekerjasama dengan orang lain, yang akan saling mendukung serta menguatkan satu sama lain.

 

Menurutl Hamka dalam tafsirnya beliau  menekankan bahwa ayat ini merupakan pedoman penting tentang adab pergaulan bagi orang beriman. Ayat ini mengajarkan etika sosial yang mencakup larangan untuk merendahkan, mengejek, atau memberikan julukan buruk kepada orang lain.Hamka

 

mengingatkan bahwa seseorang yang sibuk mencari-cari keburukan orang lain seringkali lupa untuk introspeksi diri. Padahal, setiap manusia memiliki kekurangan dan kelemahan masing-masing. Tidak ada manusia yang sempurna.Oleh karena itu, Hamka menekankan pentingnya sikap tawadhu' (rendah hati) dalam kehidupan sehari-hari[7].

 

C. Larangan Buruk Sangka dan Ghibah

 

Salah satu ayat Alquran yang mengandung etika bermedia sosial tentang larangan buruk sangka dan ghibah terdapat dalam ayat 12 al-Hujurat yaitu:

 

 

"Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang"[8].

 

 

Ayat 12 surah al-Hujurat memiliki kaitan erat dengan ayat sebelumnya yang membahas tentang adab pergaulan dalam Islam. Kedua ayat ini saling melengkapi dalam memberikan tuntunan akhlak bagi orang beriman. Jika ayat 11 berbicara tentang larangan merendahkan dan mengejek sesama, ayat 12 melanjutkan dengan peringatan untuk tidak mencari-cari kesalahan orang lain. Perilaku ini mencerminkan sikap orang yang suka menyibukkan diri dengan aib orang lain, padahal dirinya sendiri tak luput dari kekurangan. orang-orang yang lupa dengan kesalahan dan kekhilafan yang berada dalam dirinya sendiri. Sebab itu sifat tawadhu, merendahkan diri, menginsafi kekurangannya harus ada pada setiap mukmin. Selain itu ayat ini juga melarang orang-orang beriman untuk tidak memanggil dengan gelar-gelar yang buruk[9].

 

Berburuk sangka dan ghibah merupakan perilaku yang tidak boleh dilakukan kepada siapapun itu, karena penyakit ini bisa menimbulkan rasa iri hati dan merupakan perilaku tercela. Karena itu surah al-Hujurat ayat 12 ini terkandung perintah untuk menjauhi kebanyakan prasangka buruk, karena ini tindakan dosa, dan dalam ayat ini juga terdapat larangan berbuat tajassus, yaitu mencari-cari kesalahan atau kejelekan-kejelekan orang lain.

 

Selain itu ghibah juga merupakan akhlak tercela karena membicarakan orang lain tanpa sepengetahuannya mengenai sifat atau kehidupannya. Sedangkan jika ia mendengarnya maka ia tidak menyukainya, dan terlebih jika yang dibicarakan tidak terdapat di dalam diri yang dibicarakan itu berarti dusta atau mengada-ada dan itu merupakan dosa yang lebih besar dari pada ghibah itu sendiri.

 

Keadaan sosial pada zaman sekarang sangat mudah untuk berprasangka, yang setiap hari bisa dilihat di media sosial dan berita-berita Nasional, tidak hanya itu bahkan media cetak dan elektronik pun juga. Media sosial menjadi tempat untuk masyarakat atau yang sering disebut netizen dalam mengiring opini atau berpendapat dan berasumsi.

 

Dalam surah al-Hujurat ayat 12 telah menjadi pedoman untuk orang muslim dalam beretika. Oleh karena itu prasangka yang tidak berdasar dapat membahayakan, karena dapat terjadi bulliying dan pembunuhan karakter. Untuk adanya suatu ketetapan data dan fakta, seorang muslim harusnya mengecek dan meneliti terlebih dahulu kebenaran fakta dengan informasi awal yang diperoleh agar tidak terjadi ghibah dan fitnah[10]. Allah melarang orang-orang mukmin untuk berprasangka, karena itu merupakan dosa besar, dan Allah juga melarang orang mukmin untuk mencari-cari kesalahan, kejelekan, noda, dan dosa orang lain[11].

C.Kesimpulan 

 

Berdasarkan dokumen tersebut, dapat disimpulkan bahwa Al-Qur'an Surah Al-Hujurat ayat 11-12 memberikan panduan komprehensif tentang etika berkomunikasi yang sangat relevan dengan era media sosial saat ini.

 

Kedua ayat ini mengajarkan pentingnya menjaga kehormatan sesama muslim dengan tidak mengolok-olok, merendahkan, atau memberi julukan buruk kepada orang lain. Sikap tawadhu' (rendah hati) menjadi kunci dalam berinteraksi dengan sesama, baik di dunia nyata maupun dunia maya.

 

Dalam konteks media sosial, larangan berburuk sangka (su'udzan), mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus), dan menggunjing (ghibah) menjadi sangat relevan untuk mengatasi masalah cyberbullying, hate speech, dan penyebaran hoaks. Setiap muslim dianjurkan untuk memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya untuk menghindari fitnah dan prasangka tanpa dasar yang dapat membahayakan.

 

Ajaran ini menjadi solusi untuk menciptakan komunikasi yang sehat dan bermartabat di media sosial, dengan tetap mengedepankan akhlak dalam kebebasan berekspresi. Implementasinya membutuhkan kesadaran untuk selalu menjaga etika berkomunikasi sesuai tuntunan Al-Qur'an, yang terbukti masih sangat relevan di era digital ini.

Mahmud Arif, Akhlak Islami & Pola Edukasinya (Jakarta: Kencana, 2021), hlm. 7-8.

Etika, https://www.academia.edu/33314112/pengertian_Etika_docx

Dhifa Nabila dkk., Peradaban Media Sosial di Era Industri 4.0 (Malang: PT. Cita Intrans Selaras, 2020), hlm. 7-8.

Jalaluddin As-Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat Al-Quran (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 523.

 https://www.merdeka.com/quran/al-hujurat/ayat-11

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun