Eh, tunggu dulu. OJEK? batin Rangga.
“Eh, tunggu dulu, Cin. Lo, bilang ojek?!”
“Iya, Rangga. Ojek. Engga lebih. Dan sekarang, gue mau kita engga berhubungan kayak dulu lagi. Titik.”
“Tunggu, Cin. Emang gue salah apa?!”
Rangga masih bingung dengan apa yang dimaksud oleh Cinta. Ekspektasi yang sudah dibangun selama 2 tahun perlahan mulai hancur. Perempuan yang ia taksir di kampus ternyata hanya menganggapnya sebagai tukang ojek. Sungguh pria yang menyedihkan.
“Gue udah nemu yang lebih baik dari lo, Rang. Motornya dia aerox pake knalpot racing. Lo, cuman supra jadul.”
“Si-siapa orangnya, Cin?”
“bukan urusan, lo,” ketus Cinta.
Rangga tertegun dengan perkataan Cinta. Perempuan yang selalu lembut kepadanya, kini telah berubah. Dari awal pertemuan mereka, Rangga menyangka bahwa takdirlah yang mempertemukan keduanya. Namun, ternyata ia salah. Dia hanya terkena she’s the one syndrome. Sebuah sindrom yang sangat mematikan bagi para kaum adam di dunia ini.
Dengan sisa-sisa keberanian dan kebodohannya, Rangga berbicara dengan percaya diri. Alias ngarep.
“Cin. Padahal kita itu udah cocok banget. Nama gue Rangga dan nama lo Cinta. Kita itu mirip banget film AADC, Cin ….”