Mohon tunggu...
Muhammad Bar
Muhammad Bar Mohon Tunggu... Administrasi - Pelajar

Tulisan di sini semuanya fiktif belaka. Kalau ada yang benar mungkin kebetulan atau mungkin kebenaran yang kebetulan difiktifkan. Budayakan beri nilai dan komentar Mari bersama-sama kita belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hartaku Kembali dalam Bentuk Lain

1 Oktober 2016   00:08 Diperbarui: 1 Oktober 2016   00:32 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Air yang membasahi tanganku baru beberapa detik saja mengering. Badanku sakit. Entah namanya meriang, demam, atau ... apalah aku tidak tahu. Terkadang malah penyakit tipes, atau demam berdarah terlintas dipikiranku. Mungkin akibat lembur tadi malam, mengerjakan tugas kuliah. Namun, bagaimana pun juga aku harus ke Masjid, melaksanakan kewajiban.

Untung aku tinggal di asrama Pondok. Masjid hanya beberapa langkah saja. Aku melangkah gontai. Sampai masjid, yang pertama kucari adalah kotak infak. Untuk melakukan rutinitas hari Jumatku, yang selalu kuusahakan tidak alpa, tidak putus-putus. “Ya Allah, ijinkan aku mendapatkan kesehatanku kembali, dan lancarkan rezeki orang tuaku. Tunjukkan kebesaran-Mu itu dihadapanku lagi, Ya Allah.” Ucapku dalam hati dengan penuh keyakinan sambil memasukkan uang ke kotak infak. Rutinitas ini kerapkali membikin hidupku kian berwarna penuh pengalaman unik. Entah kenapa rezekiku begitu saja mengalir dengan perantara yang ‘ada-ada saja’, tak terduga.

Lemas, pusing, lelah, ngantuk jadi satu. Aku tak bisa mendengarkan khotbah dengan baik. Mungkin hanya kedengaran. Parahnya, beberapa kali aku terlelap, terhempas--ke kanan,kiri,depan,belakang, pernah semua, lalu tersentak, menyempurnakan posisi duduk. Membelalakan mata, mencoba tetap terjaga. Ngantuk itu memang obatnya cuma satu. Tidur. Kalau tidak tidur ya tetap ngantuk.

Setelah sholat Jumat, aku lekas pulang. Keluar dari masjid rasanya seperti bangun tidur di kamar gelap, lantas disiram sinar lampu. Mataku kunang-kunang sesaat. Aku tetap paksakan berjalan. Aku tak sabar untuk tidur. Badan ini amat butuh istirahat.

Di kamar aku buru-buru tidur. Malas menggelar kasur, sajadah pun jadi. Aku menggelatakkan diri di atas sajadah. Lewat bingkai pintu kamar yang terbuka kulihat teman-teman sedang asyiknya berkumpul di depan tivi, sambil makan siang. Makan siang?! Aku jadi ingat. Aku bangun, terduduk. Kupikir-pikir dan kurasa-rasakan, rasanya aku tidak lapar, sepertinya hanya tidur yang kulaparkan. Aku tahu yang kubutuhkan. Lantas aku kembali ke posisi tidur. Baru beberapa saat tergeletak, banyak pikiran-pikiran yang terlintas. Aku ingat sesuatu. Kucomot hp di lemari. Aku harus ijin tidak bisa masuk kuliah. Aku sms ketua kelas. Diijinkan atau tidak, itu urusan lain, yang penting sudah usaha. Itu juga bukan kuasaku. Tidak usah dibikin pusing, meski aturan kampus mengharuskan ada surat dokter kalau ijin sakit.

Kelanjutannya kegelapan yang kualami. Kegelapan merem alias tidur terus. Tidur pulas tanpa mimpi. Suara merdu yang dibunyikan lima kali sehari itu membangunkanku untuk sholat Ashar, yang sebelumnya aku mandi. Karena masih kurang sehat, habis sholat aku tidur lagi hingga Maghrib.

Ketika bangun setengah kesal, ternyata kondisiku masih tetap.  Lemas dan berat digerakkan. Mungkin sakitku parah. Aku kian pesimis. Habis sholat Maghrib, aku ambil makanan di dapur, lalu duduk di depan tivi, menyalakan tivi. Mengambil remot memilih saluran tivi. Mas Andi datang, duduk di sebelahku.

“Gimana, Bar? Sudah sehat?” Tanya Mas Andi. Kiranya hanya Mas Andi peduli denganku. Tadi sebelum berangkat Jumatan, Mas Andi yang membangunkan tidurku dan hanya Mas Andi yang bertanya penasaran tentang kondisiku.

“Masih panas, pusing, mual, Mas.” Jawabku jujur dan total.

“Mau diperiksain?” Tanya Mas Andi, “Ayo-ayo aku antarin.”

“Tidak usah, Mas,tidak usah,” ujarku melambaikan tangan. Aku merasa tak enak jika harus diantarin. Hanya akan merepotkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun