Mohon tunggu...
M Arfah
M Arfah Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai

Selanjutnya

Tutup

Politik

Usulan Penting untuk RUU Perpajakan Indonesia Baru

19 Desember 2015   12:03 Diperbarui: 10 Agustus 2016   23:00 868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia telah dihadapkan dengan tantangan yang sangat berat, selain tingkat persaingan ekonomi yang semakin ketat di kawasan ASEAN  yang akan diwujudkan dengan diterapkannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), harapan bangsa indonesia sendiri untuk melihat negara tercintanya ini melepas status “negara berkembangnya”-yang sudah disandangnya selama puluhan tahun hingga sekarang-bersaing dengan “negara maju” mengemuka dengan sangat kencangnya.

Siapkah Indonesia? mau tidak mau harus siap dan harus didukung oleh segenap lapisan masyarakat. Sekali saja kita lengah dalam mempersiapkan diri maka negara kita akan semakin tertinggal dan terpuruk dari tetangga negara kita. Tentu saja hal ini membutuhkan kesiapan anggaran negara yang sangat besar pula. Bagaimana posisi pembiayaan anggaran kita saat ini? sekitar 70% dibiayai pajak, 20% dibiayai bukan pajak (PNBP) dan 10% dibiayai oleh utang. Sekarang, terserah kepada kita mau memperbesar persentase yang mana.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai salah satu Institusi yang ditugaskan untuk mengumpulkan penerimaan negara melalui sektor pajak mau tidak mau harus turut bekerja keras menjawab tantangan berat ini mengingat porsinya yang besar sekitar 70% dari anggaran negara. Walaupun pada kenyataannya DJP cukup terseok-seok memenuhi peran ini mengingat keterbatasan wewenangnya dengan bentuknya  yang sebatas eselon I.

Untungnya, para pemangku kepentingan dalam hal ini pemerintah dan DPR cukup menyadari hal ini sehingga RUU perubahan perpajakan Indonesia saat ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) untuk dibahas dan ditetapkan menjadi UU segera. Ide utamanya adalah perubahan besar di tubuh DJP dari tingkat eselon I menjadi Badan Penerimaan Pajak (BPP) yang otonom dalam rangka mewujudkan  penerimaan negara yang kuat dan mandiri dari sektor perpajakan dan menjawab tantangan yang berat ke depan nantinya.

Melihat momentum ini, penulis ingin memberikan beberapa usulan untuk dimasukkan sebagai pasal-pasal dalam RUU perpajakan ini berdasarkan beberapa masalah utama yang dihadapi DJP saat ini.

1.Pasal Penyebarluasan Hasil Pajak

Tak bisa dipungkiri bahwa salah satu masalah utama DJP sejak dulu sampai sekarang adalah terkait dengan kepatuhan pajak yang masih rendah. Pentingnya manfaat pajak belum sepenuhnya sampai ke seluruh lapisan masyarakat. Pada umumnya mereka masih bertanya kemana saja uang pajak mereka, padahal wujud dari hasilnya sudah dinikmati juga dari dulu sampai sekarang.

Oleh karena itu, kalau saja mereka belum tahu maka wajib diberitahu, kalaupun mereka sudah tahu maka perlu untuk selalu diingatkan. Caranya bagaimana? Dan efektifkah bila hal ini dilakukan oleh otorita pajak semata?

Penjelasannya sebagai berikut. Pajak yang telah dibayar, selanjutnya akan dibagi-bagi menjadi anggaran penerimaan bagi masing-masing Kementerian dan lembaga negara untuk diwujudkan menjadi berbagai program-program oleh instansi tersebut. Bagi TNI dan Polri akan digunakan untuk pembelian alutsista memujudkan pertahanan negara, ketertiban dan penegakan hukum, bagi Kementerian Pendidikan akan digunakan untuk pembangunan sekolah dan universitas negeri. Bagi Kementerian Kesehatan akan digunakan membangun rumah sakit pemerintah, Bagi Kementerian Pekerjaan Umum akan digunakan membangun jalan dan jembatan nasional, bagi KPK akan digunakan untuk memberantas korupsi, dan masih banyak lagi pemanfaatan pajak melalui anggaran kementerian dan lembaga pemerintah sesuai dengan fungsinya masing-masing.

Nah, caranya adalah dengan memberitahukan kepada seluruh masyarakat bahwa setiap program-program pemerintah tersebut dibiayai dengan pajak yang sudah mereka bayar. Jadi, setiap pembangunan sekolah dan universitas negeri, rumah sakit pemerintah, jalan dan jembatan nasional akan dipasang pemberitahuan berbentuk poster besar atau bisa juga berbentuk billboard bahwa pembangunan tersebut dibiayai oleh pajak dari masyarakat. Terlihat sepele memang, tapi untuk mewujudkannya susahnya minta ampun, mungkin karena saking dianggap sepelenya.

Ada cerita tersendiri dibalik susahnya mewujudkannya hal ini. DJP sendiri sudah lama menggulirkan ide ini melalui instansi induknya Kementerian Keuangan untuk dibahas bersama Kementerian dan lembaga negara lainnya, tapi nyatanya hal ini tidak pernah terealisasi sama sekali sampai sekarang. Padahal, menurut penulis hal ini bisa cukup efektif untuk menaikkan tingkat kesadaran dan kepedulian pajak karena sangat informatif dan langsung menyentuh publik atau masyarakat luas. 

Harapannya adalah dengan dimasukkannya pasal ini ke dalam UU perpajakan baru, maka kepedulian kita akan pajak bisa meningkat bukan hanya dari sisi masyarakat tetapi juga dari sisi internal pemerintahan itu sendiri melalui berbagai kementerian dan lembaga negara lainnya karena akan menjadi amanat UU.

UU perpajakan baru ini mungkin akan “sedikit memaksa” kementerian dan lembaga negara lainnya untuk bekerja sama menyebarluaskan manfaat dan hasil pajak agar masyarakat merasa “sedikit tidak terpaksa” untuk membayar pajaknya. “Pajak dari kita dan akan kembali ke kita sendiri bukan!!!”.

 Agar lebih jelas berikut contoh pasalnya:

 

Pasal X

PENYEBARLUASAN HASIL PAJAK

 

Setiap belanja negara yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah Pusat, Daerah dan Lembaga Negara yang berkaitan langsung dengan kepentingan publik harus disertai dengan pengumuman yang menyatakan bahwa belanja tersebut merupakan hasil pajak dan dibiayai dari pajak.

 

Pasal XI

Jenis-jenis  belanja negara yang berkaitan langsung dengan kepentingan publik sebagaimana dimaksud dalam pasal X diatur selanjutnya dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal XII

Bentuk pengumuman dan tata cara pembuatannya diatur dengan Peraturan Badan Penerimaan Pajak.

 

 2.Pasal Fleksibilitas Bentuk Otonomi Badan Penerimaan Pajak (BPP)

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah  terkait dengan kewenangan dan bentuk Badan Penerimaan Pajak (BPP) nantinya. Selama ini DJP hanya berbentuk eselon I yang terbatas wewenang dan ruang geraknya. UU yang baru harus menentukan bentuk yang pas bagi DJP nantinya sebagai BPP. Jangan sampai UU salah menentukan bentuknya sehingga tidak terjadi perubahan yang signifikan yang hanya membuang-buang waktu, tenaga dan biaya semata. Pada dasarnya BPP nantinya harus memiliki fleksibilitas atau otonomi dari sisi organisasi dan manajemen pegawai. 

Mengenai fleksibilitas dari sisi struktur oganisasi, DJP punya cerita sendiri. Pada suatu ketika berdasarkan analisis potensi penerimaan pajak dari suatu kota di satu propinsi di Indonesia diputuskan bahwa di kota tersebut akan ditambahkan satu lagi Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Katakanlah dari sisi kalkulasi, kota tersebut memiliki potensi 100 Trilyun, akan tetapi KPP yang sudah ada di kota tersebut dari sisi jumlah pegawai dan kapasitasnya hanya mampu mewujudkan 50 Trilyun sehingga diputuskan untuk membentuk satu KPP lagi agar potensi tersebut bisa terealisasi seluruhnya.

Kenyataannya adalah, untuk membentuk satu KPP baru tersebut dibutuhkan waktu lama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun prosesnya karena harus melalui kementerian induk DJP-Kementerian Keuangan-lalu berkoordinasi  dan dikaji terlebih dahulu dengan Kementerian di bidang Organisasi Birokrasi. Katakanlah jadi dalam waktu 1 tahun, bayangkan potensi yang menguap begitu saja 50 Trilyun x 12 bulan. Dengan adanya otonomi di bidang Organisasi untuk BPP, diharapkan bahwa hal tersebut bisa diminimalisir. BPP  bisa dengan mudah menambah dan mengurangi struktur organisasinya sesuai dengan perkembangan dan dinamika ekonomi dan perpajakan di suatu daerah.

Fleksibilitas dari sisi manajemen pegawai, masih berhubungan juga dengan hal diatas. Untuk penambahan pegawai DJP karena terkait pembentukan suatu kantor baru seperti disebutkan diatas juga harus berkoordinasi dengan berbagai kementerian untuk membicarakan masalah formasi pegawai CPNS, sehingga pengadaan pegawai baru pun juga harus menunggu bertahun-tahun lamanya.

Itu bila berbicara terkait pengadaan pegawai, belum berbicara terkait dengan pemberhentian pegawai yang beritanya pun cukup diminati pula oleh publik. Publik mungkin tidak akan lupa nama-nama oknum pegawai pajak yang melanggar hukum yang menciderai nama institusi, kenyataannya adalah untuk membuat status “mantan pegawai pajak” pada oknum-oknum tersebut atau dengan kata lain untuk memberhentikannya dibutuhkan waktu yang cukup lama karena harus memenuhi ketentuan UU PNS. Fleksibilitas atas pengadaan, manajemen dan pemberhentian pegawai sangat dibutuhkan untuk memudahkan kerja dari BPP nantinya, bahkan dengan mudahnya skema keluar masuk pegawai bisa menimbulkan sikap awareness pegawai agar tidak berbuat macam-macam dan bekerja profesional karena bukan tidak mungkin besok mereka bisa saja langsung diberhentikan apabila melakukan perbuatan yang bertentangan dengan aturan dan hukum yang berlaku.

Harapannya dengan adanya fleksibilitas ini maka BPP pada nantinya bisa bekerja dengan maksimal untuk bisa membawa perubahan signifikan bagi anggaran negara.

3. Pasal Standardisasi dan Transparansi Penentuan Target Pajak

Ide ini muncul akibat sedang hangatnya pemberitaan mengenai target pajak. Apalagi kinerja DJP selama ini disorot karena ketidakmampuannya memenuhi target pajak selama 5 tahun terakhir. Untungnya DJP tetap mampu menjaga pertumbuhan penerimaan pajak selama 5 tahun tersebut, artinya walaupun gagal mencapai target tapi terjadi pertambahan atau kenaikan realisasi penerimaan pajak dari tahun ke tahun.

Dari sisi penentuan target pajak, juga disoroti terkait dengan prosesnya yang tertutup atau jarang diketahui publik, apalagi target pajak pada tahun 2015 yang mencapai angka 1000 Trilyun lebih dinilai jauh dari kata realistis.

Ke depan pada nantinya hal ini harus bisa dihindari, jangan sampai waktu kita hanya habis membicarakan mengenai target pajak yang tidak realistis. Oleh karena itu diperlukan standardisasi dan transparansi dalam proses penentuan pajak pada nantinya untuk memudahkan kita semua.

Agar lebih jelasnya, berikut contoh pasalnya

 

Pasal 1

  1. Target pajak adalah potensi pajak yang akan direalisasikan dalam suatu tahun pajak yang  dihitung secara realistis berdasarkan besaran tertentu.

                                                                                                                                        Pasal X

TARGET PAJAK

  1. Target pajak dihitung berdasarkan persentase tertentu dikalikan dengan realisasi penerimaan pajak tahun sebelumnya.
  2. Persentase tertentu sebagaimana dimaksud pada huruf (a) ditentukan dengan memperhatikan besaran Nilai Produk Domestik Bruto tahun sebelumnya, tingkat pertumbuhan ekonomi, risiko krisis ekonomi global, dan besaran lainnya yang diatur selanjutnya dengan Peraturan Pemerintah dan dihitung dengan memperhatikan tingkat kerealisitisannya.
  3. Persentase tertentu sebagaimana dimaksud pada huruf (a) dibahas dan ditentukan oleh BPP, Kementerian Keuangan, dan DPR yang dilangsungkan secara terbuka dan dituangkan dalam suatu bentuk kertas kerja.

Harapan terakhirnya adalah mari kita menyongsong perubahan yang besar dengan lahirnya BPP atas dasar amanat UU untuk menjawab tantangan besar yang akan dihadapi Indonesia dan mewujudkan penerimaan negara yang kuat dan mandiri demi bangsa dan negara. Semoga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun