Diambilnya sebuah korek api dari tasnya dan disulutlah koran dan kayu itu lalu dimasukkan ke dalam perapian.
"Crek...crek...crek" setelah berusaha menyulut api dengan korek api tersebut kesekian kalinya, api pun menyala.
Segera dia masukan benda-benda dari rumah itu yang masih bisa dijadikan bahan bakar perapian. Setelah api menjadi cukup besar, segera dimasukkanlah salju dan es yang berhamburan di ruangan-ruangan sebelumnya ke dalam wadah hingga menjadi air hangat untuk mengompres luka lebam di kaki kirinya.Â
Sementara air masih belum mendidih, Si Gadis memakan persediaan makanan kalengnya untuk mengisi kembali tenaga sebelum memulai kembali perjalanannya. Dan di saat bersamaan, badai pun kembali turun menghujani kota tersebut.
Setelah airnya lumayan hangat, dia mengambil kain dan dicelupkan ke dalam wadah air hangat itu, lalu dia pun membalut lukanya sampai rasa sakitnya mereda. Terakhir, dia mengoleskan pereda rasa sakit ke luka lebamnya.
Setelah itu semua selesai, Si Gadis pun memutuskan untuk beristirahat dan tidur di sofa ruang tamu itu, lagi pula sedang ada badai lagi di luar sehingga dia tidak bisa melakukan apa-apa selain mengistirahatkan tubuhnya yang masih lemah.
Sebelum dia memejamkan matanya, sejenak Si Gadis menggenggam liontin pemberian ayahnya, memeluk erat syal rajutan dari ibunya, dan gelang hadiah dari kakaknya, mengingat masa-masa indah sebelum semua ini terjadi.
"Kenapa ini semua bisa terjadi ? Aku masih bisa mengingat alasannya dengan jelas. Semua ini berawal dari kurang lebih 4 tahun yang lalu. Aku masih seorang remaja yang baru beranjak 12 tahun. Pada saat itu dunia dilanda bencana kehancuran massal akibat pemanasan global yang semakin parah. Untuk itu negara-negara dari seluruh dunia bekerja sama membuat ratusan roket berisi bahan kimia yang diluncurkan ke atmosfer bumi untuk mendinginkan suhu bumi dan mencegah kepunahan umat manusia. Mengejutkannya, rencana mereka berhasil, semua orang bersorak gembira dan bumi sekali lagi selamat dari kehancuran...setidaknya itulah yang kami semua pikirkan. Tanpa sadar kami telah mendatangkan bencana yang jauh lebih besar bagi kelangsungan umat manusia. Haha...kurasa aku sudah mulai gila, berbicara seorang diri di dalam mimpiku sendiri..." tanpa sadar dia mencurahkan isi benak dan hatinya dalam kesendirian. Perlahan matanya mulai tertutup rapat, dan dia pun tertidur lelap.
Malam pun berlalu, fajar datang menggantikan malam yang suram, cahaya redup mentari bersinar di balik awan salju yang menutupi cakrawala berwarna kelabu. Si Gadis telah bersiap untuk melanjutkan perjalanannya setelah usainya badai salju semalam. Makanan, minuman, obat-obatan dan segala perlengkapan yang dia butuhkan telah dikemas.
"Haaa...baiklah, hari baru semangat baru...mungkin," gumam Si Gadis dengan pesimis.
Sebelum pergi, tidak lupa dia memberi rasa hormat kepada keluarga pemilik rumah yang dia tumpangi dengan berdoa di depan bingkai foto keluarga mereka, agar mereka diberikan perlindungan dan tetap aman di manapun mereka berada sekarang. Tidak lupa juga dia membawa sekop salju dari gudang untuk menyingkirkan tumpukan salju di depan pintu keluar.Â