Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Bagaimana Saya Mempersiapkan Diri Menghadapi Ujian

23 November 2022   17:40 Diperbarui: 24 November 2022   04:12 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jika kita punya kebiasaan belajar yang tepat, kita dengan sendirinya tengah mempersiapkan diri menghadapi ujian | Ilustrasi oleh StockSnap via Pixabay

Saya tak bisa berpura-pura mengetahui bagaimana mempersiapkan ujian itu seharusnya dilakukan, atau apa yang oleh seorang tutor bijak akan disarankan kepada saya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran saya.

Hal terbaik yang bisa saya lakukan adalah menceritakan beberapa hal tentang upaya-upaya saya sendiri. Apa pun yang mungkin berlaku bagi orang lain, saya punya metode yang saya kira tepat bagi saya sendiri.

Dengan perlahan-lahan, saya menemukan berbagai cara untuk belajar, khususnya dalam menghadapi ujian, dengan kekhawatiran dan kecemasan paling minimum. 

Sebagai mahasiswa Ilmu Politik, saya terus dihadapkan pada beragam teori yang rumit dan kompleks. Berbeda dengan ilmu-ilmu alam yang (sering) punya jawaban pasti terhadap suatu pertanyaan, kami acapkali bermain di wilayah abu-abu.

Terkadang jawaban yang satu tak lebih benar daripada yang lain, tapi ia dikemukakan dengan lebih baik ketimbang yang lain. Kadang pula jawaban-jawaban itu belum pernah ada; kami diminta untuk mengembangkan jawaban kami sendiri atas persoalan tertentu.


Sebagai gambaran, agar metode saya nanti diperlakukan sesuai, kami diberi pertanyaan seperti berikut saat ujian: Apakah teori politik modern normatif (seperti soal liberty dan justice) dapat dijadikan teori universal dalam memandang realitas politik sekarang ini?

Pertanyaan itu begitu singkat, namun menuntut jawaban dengan tanggung jawab yang besar. Saya katakan begitu karena setiap jawaban, yang biasanya berupa esai, menuntut kami untuk berargumen secara kritis dan sistematis.

Berargumen berarti menyampaikan poin dan mempertahankannya, menunjukkan bukti dari pemikiran kritis kami. Lebih jauhnya, kami diminta untuk menimbang pemikiran para tokoh, berpikir logis, dan mengemukakan maksud kami dengan cara yang jelas dan teratur.

Atas dasar itu pula, kebanyakan ujian yang kami terima, baik tengah maupun akhir semester, adalah Take Home Exam. Jadi, sementara ilmu-ilmu eksak acapkali menuntut mahasiswa untuk tutup buku, kami justru dituntut untuk banyak membuka (dan membaca) buku.

Berikut adalah beberapa hal yang saya lakukan dalam mempersiapkan diri menghadapi ujian.

Membuat jadwal (dengan tetap fleksibel)

Sebelum tidur, saya biasanya mengatur jadwal tentang apa yang perlu saya lakukan esok hari. Sekali lagi, ini adalah soal "apa yang mesti saya lakukan", bukan "apa yang ingin saya hasilkan". Keduanya berbeda, dan karenanya membuat perbedaan (signifikan).

Kendati begitu, saya tak serta-merta jadi kaku dalam menjalankan rutinitas. Ada pepatah begini: "Saat kita berhenti membuat rencana, saat itulah kita mulai belajar." Maksudnya, gagasan berharga jarang datang kepada mereka yang kaku dan keras kepala.

Dalam hal ini, saya memang perlu petunjuk tentang apa-apa yang perlu saya lakukan sesuai beberapa kewajiban yang saya miliki. Ini semacam pengingat. Di sisi lain, saya juga sering menemui hambatan atau kendala yang mengharuskan saya mengubah rencana.

Jadi, saya tak ragu untuk mengubah jadwal. Semisal, saya berencana untuk mengerjakan tugas kuliah sepanjang malam. Jika tenggat waktu pengumpulan belum mepet, dan ternyata saya lebih tertarik untuk menulis hal lain, saya mengubah rencana dengan tetap produktif.

Terlebih, jika saya menginginkan sesuatu, itu memerlukan lebih banyak waktu. Hal yang benar-benar mengganggu saya adalah kurangnya waktu. Saya tak suka dibuat tergesa-gesa karena itu sangat menyakiti pikiran saya.

Makanya, saya adalah tipe yang mengerjakan tugas lebih awal, tapi mengumpulkannya di detik-detik terakhir. Jarak antara pemberian dan pengumpulan tugas, dengan kata lain, tak hanya saya gunakan untuk menyelesaikan tugas itu, tapi juga melibatkan proses inkubasi.

Saya akan menjelaskan lebih lanjut tentang inkubasi di poin terakhir.

Mencurahkan perhatian penuh pada setiap tugas

Hari ini, kita dikelilingi oleh lebih banyak sumber gangguan dan lebih sedikit kesempatan untuk melatih rentang perhatian kita. Alhasil, kita punya godaan besar untuk melihat lebih dari satu hal pada saat yang sama.

Dan memang, banyak orang mengaku cukup pandai multitasking.

Bagi sebagian orang, itu adalah salah satu keterampilan terpenting untuk mengatasi informasi yang berlebihan saat ini. Namun, multitasking bukanlah seperti yang kita kira. Itu tak berarti memusatkan perhatian pada lebih dari satu hal sekaligus. Tak ada yang bisa melakukan itu.

Saat kita mengira kita melakukan banyak tugas, yang sebenarnya kita lakukan adalah mengalihkan perhatian kita dengan cepat di antara dua (atau lebih) hal. Dan setiap perpindahan itu menguras kemampuan kita untuk fokus secara mendalam.

Karenanya, kecuali untuk hal-hal kecil seperti menonton sambil mengirim pesan WA, saya menghindari multitasking. Saya selalu berusaha mencurahkan perhatian penuh pada setiap tugas, dan jika saya hendak mengerjakan hal lain, saya berhenti dan berpindah fokus.

Membaca untuk paham

Sebagian orang acapkali mengalami action bias ketika membaca: mereka mengira telah paham akan suatu hal dengan membaca, padahal itu tak lebih dari perasaan belaka. Terlebih jika mereka membaca hanya untuk buru-buru menjawab suatu pertanyaan.

Pada kasus tertentu, utamanya jika memang darurat, itu boleh-boleh saja. Tapi, untuk perkembangan intelektual dan mengerjakan ujian, itu buruk. Dalam hal ini, membaca dapat dengan mudah membodohi kita sehingga percaya bahwa kita memahami sebuah teks.

"Prinsipnya adalah Anda tak boleh membodohi diri sendiri, dan Anda adalah orang yang paling mudah dibodohi," ujar fisikawan dan pemenang Nobel Richard Feynman dalam pidatonya kepada para ilmuwan muda.

Saat kita merasa familier dengan sesuatu, kita mulai percaya bahwa kita juga memahaminya. Meskipun jelas bahwa keakraban bukanlah pemahaman, kita tak punya kesempatan untuk mengetahui apakah kita memahami sesuatu sampai kita menguji diri kita sendiri.

Kalau kita tak mencoba memverifikasi pemahaman kita selama belajar, kita akan hanyut dalam keyakinan palsu tentang betapa pintarnya kita, sementara pada kenyataannya kita tetap sebodoh sebelumnya.

Saya biasa menguji pemahaman saya dengan mencoba menjelaskan apa yang saya baca dengan kata-kata sendiri secara tertulis. Seperti yang dikatakan John Searle, "Jika Anda tak bisa mengatakannya dengan jelas, Anda belum memahaminya."

Itulah mengapa saya sering membuat dan mengarsipkan catatan.

Buat dan arsipkan catatan

Membuat dan mengarsipkan catatan selama pembelajaran, entah saat membaca buku atau menyimak dosen, bukanlah metode yang unik; banyak orang sudah melakukannya, dan mungkin jauh lebih baik daripada cara saya.

Tapi, setidaknya menurut pengamatan saya terhadap sejumlah teman, saya agak lain. Jika konteksnya membaca buku, saya hanya akan mencatat poin-poin penting dan menarik di buku kecil, dan lalu mencantumkan referensi yang saya rujuk.

Saya berusaha mencatatnya sesingkat mungkin untuk memastikan bahwa saya mengerti inti gagasannya, dan di lain waktu saya mengembangkannya sendiri sesuai konteks yang saya hadapi. Kreativitas saya, oleh sebabnya, sering bermula dari koneksi catatan-catatan ini.

Perbedaan mencolok terletak saat konteksnya menyimak dosen. Saya tak pernah sibuk mencatat materi. Saya hanya akan fokus memahami perkataan dosen, masuk ke dalam dialog yang disuguhkan.

Saya hanya mencatat dua muatan: pertanyaan yang tiba-tiba terlintas, dan kata kunci yang entah bagaimana memikat saya untuk diperdalam lebih lanjut. Satu-satunya hal yang dekat di hati saya adalah hasrat untuk membawa pemahaman pulang ke rumah.

Menulis (dan berdiskusi) untuk berpikir

"Seseorang tak bisa berpikir tanpa menulis," kata Niklas Luhmann. Saya suka gagasan itu, sebab saya merasakannya. Jika saya ingin menghabiskan waktu untuk berpikir serius tentang suatu persoalan, saya akan menulis.

Menulis membantu saya untuk memperjelas pikiran, termasuk tentang apa yang sedang saya pikirkan. Kendati sering juga saya tak berdaya untuk mengubah abstraksi pikiran jadi kata-kata, tapi itu masih berguna untuk mengklarifikasi pemahaman saya.

Di samping itu, bagaimanapun, menulis adalah kegiatan terisolasi. Dialog yang terjadi hanyalah antara saya dan aku. Dalam hal ini, meski tak sesering menulis, saya juga merasa perlu untuk berdikusi dengan orang lain, berpikir bersama dan saling berbagi gagasan.

Kerjakan ujian sebaik mungkin

Hal-hal di atas sebenarnya tak secara spesifik saya tujukan untuk menghadapi ujian. Lebih tepatnya, semua itu saya lakukan untuk pertumbuhan intelektual saya.

Justru, karena saya menghasilkan cukup banyak catatan dan gagasan berkat semua itu, saya dapat mengerjakan ujian dengan lebih efektif dan efisien. Dalam arti tertentu, saya "mengerjakan" ujian jauh sebelum soal ujian itu diberikan.

Dulu saya seorang pragmatis: saya mengerjakan ujian hanya untuk memeroleh nilai yang bagus. Itu tak salah, tapi tak baik pula.

Jika ujian berarti mengevaluasi apa yang dipelajari selama proses pembelajaran, maka itu bukan sebatas mesin angka semata, tapi terutama sarana mencurahkan ide dan gagasan yang kita pelajari dengan susah payah.

Jadi, penting bagi saya untuk mengerjakan ujian sebaik mungkin. Terlebih, jika cukup beruntung, kalaulah sewaktu-waktu ada tugas atau ujian lain yang soalnya kurang-lebih sama atau bersinggungan, saya tak akan repot-repot bekerja dua kali.

Mungkin satu-dua gagasan perlu direvisi, tapi tetap saja, saya hemat waktu dan tenaga.

Ambil jeda, abaikan, dan periksa ulang

Semua hal yang saya uraikan, sekali lagi, adalah aktivitas intelektual, sebentuk kegiatan yang berkaitan erat dengan ide/gagasan. Beberapa hal perlu diakui: ini membosankan, rentan terhadap mood, dan sering kali membuat saya ingin menggigit jari orang.

Saya tak akan berpura-pura menyukai semua itu. Hanya saja dalam momen-momen tertentu, dan ini cukup sering, saya justru terberi kepuasan oleh semua itu. 

Jika saya enggan, saya akan berhenti dan mengambil jeda selama beberapa waktu. Inilah yang saya maksud dengan "inkubasi" di poin pertama. 

Jeda ini penting terutama untuk menjaga kesehatan mental saya, atau boleh saya katakan "kita". Kita memikirkan banyak hal, dan agaknya terlalu banyak. Jika semua itu tak diperiksa dan dijernihkan, kita akan dipenuhi oleh apa yang saya sebut "polusi pikiran".

Alhasil, kita jadi sulit berkonsentrasi, hal yang sangat dibutuhkan dalam dunia akademik.

Setelah merasa cukup, saya kembali melanjutkan apa-apa yang sebelumnya saya tinggalkan. Memang biasanya menyita cukup banyak waktu untuk kembali berkonsentrasi, tapi kabar baiknya adalah saya kembali dengan mata baru.

Dan faktanya, hidup saya (cukup) bergantung pada semua itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun