Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Surat untuk Adikku: Ibu Kita Seorang Filsuf

22 Desember 2021   16:17 Diperbarui: 31 Desember 2021   19:48 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang anak adalah peniru yang ulung, dan aku yakin Ibu sangat mengerti itu. Sebagaimana kamu melihat Ibu sangat tekun mengaji buku, aku pun melihatnya demikian sejak kesadaranku mulai matang.

Dengan kebiasaannya tersebut, Ibu seolah menampilkan dirinya sebagai cermin teladan dan betapa kita memerhatikannya tanpa disadari. Dalam jangka waktu tertentu, kita semakin bertanya-tanya tentang apa menariknya membaca buku, dan kita pun coba menirunya.

Aku ingat di usia 5 tahun, Ibu menceritakanku novel-novel tipis setiap malam dan selalu bertanya padaku tentang apa yang kupelajari dari cerita itu. Aku tidak pernah takut menghadapi pertanyaan itu, sebab Ibu tidak pernah menekanku.

Ibu tampaknya berhasil menyampaikan pesan itu padaku. Sejak awal remaja, aku sangat suka membaca buku dan menceritakannya kembali pada Ibu dengan imajinasiku sendiri. Di sanalah aku mengerti bahwa belajar itu, mestilah membahagiakan.

Sekali lagi, setiap anak adalah peniru yang ulung. Sama seperti seorang ayah yang sering merokok di hadapan anaknya, dia akan penasaran tentang bagaimana rasanya merokok, dan mungkin kemudian sama kecanduannya seperti ayahnya.

Kusadari dengan penuh kelegaan dan kekaguman: Ibu mendidik kita dengan manusiawi. Ibu seolah amatlah mengerti tentang kedalaman manusia dan menerapkannya pada kita.

Mengapa aku menyebutnya manusiawi? Karena hanya hewan sirkus yang dididik dengan paksaan dan lecutan tali yang menyakitkan.

Ibu tidak mendidik kita dengan harapan, melainkan dengan cinta yang benar-benar murni sejernih sungai yang mengalir di kedalaman surga. Ketahuilah Adikku, ada perbedaan kontras di antara keduanya, dan karena itulah aku menulis surat ini untukmu.

Jika Ibu mendidik kita dengan harapan, Ibu akan sama seperti kebanyakan ibu lainnya yang menaruh ekspektasi tertentu terhadap anaknya.

Dengan cara ini, cinta seorang ibu tidaklah murni karena masih dinodai motif "dagang" bahwa dirinya sudah sangat sakit melahirkan anaknya, maka anaknya harus sukses sebagai timbal balik dari rasa sakit tersebut.

Ironisnya, ada banyak sosok ibu yang masih melakukan semacam transaksi dengan anaknya. Dan seperti yang kita tahu, manusia manapun tidak suka dibebani oleh sesuatu yang tidak disukainya, dan itu benar-benar cerita yang menyedihkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun