Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Surat untuk Adikku: Ibu Kita Seorang Filsuf

22 Desember 2021   16:17 Diperbarui: 31 Desember 2021   19:48 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kini aku duduk di tepi makam tanpa bunga dan menangis. Apa yang paling kusesali sejauh ini adalah, aku baru merenungkan bisikan Ibu setelah kutatap dalam-dalam batu nisannya. 

Bahkan lebih menyedihkannya lagi, aku baru terdorong untuk memahaminya karena sekarang adalah hari ibu.

Mengapa aku harus menunggu setahun penuh untuk menyadari cinta Ibu? Apakah aku sudah kehilangan diriku sendiri dengan melupakan sumber darah-dagingku? Padahal dalam setiap aliran darahku telah mengalir cinta seorang perempuan yang kusebut "Ibu".

Adikku, kuberitahu padamu sesuatu yang penting sebelum kau mengalami penyesalan yang sama sepertiku dan juga Ibu. Jika kau tiba-tiba teringat dengan beberapa nasihat Ibu, kumohon segera untuk mencatatnya supaya di lain waktu, kita bisa merenungkannya bersama.

Petuah "Ambil waktumu dan tidurlah" bukan sekadar perhatian Ibu untuk mengingatkanku betapa pentingnya menjaga kebugaran tubuh. Di balik frasa membosankan itu, Ibu ingin aku mengerti tentang sesuatu yang lebih mendalam; sesuatu yang kini kusadari sebagai cermin kehidupan.

Aku tidak melebih-lebihkan. Pertama, aku melihat kembali bagaimana pola Ibu mengucapkan petuah itu. Dia selalu membisikkannya pukul 10 malam (yang mana itu adalah waktu tidur keluarga kecil kita) dan hanya ketika aku sibuk dengan tugas kuliahku.

Ibu tampaknya mengerti bahwa keterlambatan waktu tidurku selalu berhubungan dengan tugas kuliah atau kehendakku sendiri untuk membaca buku. Di luar itu, aku tidak pernah terlambat untuk pergi tidur, apalagi hanya sekadar menggeser layar beranda Instagram.

Sekilas aku sering berpikir bahwa itu bagus; Ibu pasti bangga padaku betapa putri sulungnya amatlah rajin dan lebih-lebihnya berprestasi.

Aku mendengar teman-temanku sering dipaksa belajar hingga larut malam oleh ibunya, dan karenanya aku mengira Ibu akan sangat bangga bila aku melakukan itu dengan sukarela. Toh aku pun memang suka membaca buku; Ibu tidak perlu repot-repot memaksaku.

Tetapi sesungguhnya, di mata Ibu, semua itu hanyalah satu kisah kecil dari untaian panjang alur kehidupan. Ibu tidak ingin aku kehilangan waktu untuk menikmati kisah besar lainnya dari kehidupan yang singkat ini.

Pemahaman semacam itu sama sekali bukan bermaksud untuk meremehkan perjalanan akademikku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun