Aku merasa suatu petuah turun dari surga, "Sewajarnya saja, Putri Kecilku; tidak ada yang memaksamu selain dirimu sendiri. Tidak ada yang membebanimu selain tekanan dari pikiranmu sendiri."
Meskipun aku tidak tahu angin macam apa yang membawa bisikan itu padaku, namun tentulah Ibu yang menyampaikannya padaku dari dunia sana.
Jika aku berlakon sebagai peramal, kiranya Ibu amatlah mengerti tentang kedalaman hatiku yang rapuh dan karenanya berusaha untuk meyakinkanku dengan petuah membosankan, "Ambil waktumu dan tidurlah."
Perlahan aku mulai mengerti apa penyesalan yang Ibu maksud di malam itu. Aku pikir Ibu sama terjebaknya sepertiku sekarang: termakan ambisi untuk meraih pujian orang dengan jalan mengorbankan keindahan yang pada dasarnya melingkupi kita setiap waktu.
Ketika Ibu pada akhirnya menyadari kelalaiannya itu, Ibu kehilangan waktu untuk mencatat ulang kisah hidupnya dan hanya pasrah menerima panggilan Tuhan untuk pulang menuju kesejatiannya.
Tentu sangat menyakitkan setiap kali teringat bahwa kita (artinya aku dan kamu) harus menikmati masa muda di tengah kepahitan hidup tanpa Ayah dan Ibu. Kendatipun begitu, aku selalu mengerti bahwa pada saatnya, semua ini memang akan menimpaku.
Sesungguhnya mereka tidak menghilang dari kehidupan kita, Adik Kecilku. Justru mereka hadir lebih dekat dalam diri kita, dan hanya kitalah yang harus memilih untuk menghadirkannya alih-alih dimabukkan oleh kesedihan.
Kuulangi sekali lagi: mereka membutuhkan kita untuk bisa hadir dalam diri kita, sebab situasinya memang bergantung pada pilihan kita.
Ibu mengajarkanku banyak hal tentang kehidupan, meskipun dengan cara-cara yang sulit kupahami. Tetapi bukankah cara demikian pula yang kemudian melatihku untuk berpikir serta bernalar secara mendalam, dan yang lebih pentingnya lagi, senantiasa mengingat Ibu?
Belakangan kusadari bahwa kecintaanku terhadap buku adalah sesuatu yang diajarkan Ibu semenjak aku kecil. Mungkin karena itulah aku terlambat untuk membaca sejarah diriku sendiri.
Ibu adalah seseorang yang membukakan gerbang cintaku untuk ilmu pengetahuan. Dan menakjubkannya, Ibu melakukan itu bukan dengan paksaan, melainkan lewat kepercayaannya padaku untuk memahami pesan-pesannya.