Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Surat untuk Adikku: Ibu Kita Seorang Filsuf

22 Desember 2021   16:17 Diperbarui: 31 Desember 2021   19:48 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu ketika, Ibu menghampiriku dan berbisik, "Ambil waktumu dan tidurlah." Kala itu sekitar pukul 10 malam dan aku masih berputar-putar dengan lembaran kertas di sekelilingku yang berantakan.

Mulanya aku berpikir bahwa ucapan semacam itu hanyalah petuah biasa. Maksudku, semua ibu di dunia ini pernah mengucapkan perihal itu sebagai bentuk perhatian terhadap kesehatan anaknya.

Itulah mengapa aku jarang sekali menuruti nasihat tersebut. Alih-alih menikmati ranjang yang empuk, aku lebih suka berlarut-larut dengan tugas kuliahku dan membaca beberapa buku yang kiranya menarik perhatianku.

Malam berikutnya, Ibu kembali berbisik dengan petuah yang sama, "Ambil waktumu dan tidurlah." Aku sama sekali tidak marah, tetapi aku balik berpesan, "Mohon berhenti untuk memberitahuku tentang sesuatu yang sudah kuketahui dengan benar."

Dia tersenyum lembut dan hanya membelai rambutku yang panjang sembari berdiri tegak di belakangku.

"Orang bilang, buah apel jatuh tidak jauh dari pohonnya," ucapnya, "Ibu juga mengalami masa muda sepertimu, dan karenanya Ibu ingin kamu belajar lebih cepat dari penyesalan yang Ibu alami."

"Ibu bisa bercerita padaku besok pagi ketika sarapan," kataku. "Sekarang aku benar-benar sibuk dan membutuhkan konsentrasi. Aku janji akan segera pergi tidur setelah menyelesaikan tugas kuliahku."

Tanpa sepatah kata pun, dia pergi menuju pintu kamar tepat setelah mencium ubun-ubunku. Tidak ada rasa bersalah dalam diriku; begitu pun Ibu yang sangat kuyakini memahamiku, toh dia pun mengatakannya padaku bahwa dia pernah mengalami masa muda sepertiku.

(Dan ngomong-ngomong, Ibu tidak bercerita apa pun ketika tiba waktunya sarapan. Aku hanya mengira bahwa Ibu tidak mengingat perkataanku, atau memang sengaja tidak diceritakan setelah dipertimbangkan secara matang.)

Tetapi berhari-hari kemudian, Ibu datang kembali di waktu yang persis dan petuah yang sama. Terus terang, saat itu aku mulai merasa kesal pada Ibu karena selalu mengganggu dengan membisikkan sesuatu yang kuketahui dengan benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun