Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sirene Kematian: Sebuah Imbauan Kedaruratan Pandemi

18 Juni 2021   10:22 Diperbarui: 18 Juni 2021   10:35 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sini Penulis tidak membela salah satu kubu dan tidak pula bergabung ke salah satunya. Kita tidak tahu mana yang lebih mulia, sebab kebanyakan yang kita tahu hanyalah kedoknya yang mengatasnamakan kemuliaan.

Dalam satu sudut, benar bahwa Tuhan turut ikut campur atas apa yang terjadi di dunia ini. Akan tetapi, haruskah kita menjadi gerombolan fatalis? Mestikah kita sepenuhnya hanya berserah?

Kematian adalah suatu kepastian di samping misteriusnya kapan itu terjadi. Tetapi kematian bukanlah sesuatu yang dikabarkan untuk menakuti, melainkan untuk dihadapi. Golongan kedua menjadikan kematian sebagai simbol kesia-siaan dan ketidakberdayaan.

Dan jika demikianlah kebenarannya, lantas untuk apa manusia diciptakan? Apakah kita eksis hanya ditakdirkan untuk mati? Penulis menolak paham tersebut. Meskipun mereka pun lantang menolaknya, namun dalam praktiknya, mereka menyetujui.

Di sini Penulis menganjurkan untuk memberontak pada takdir. Justru karena kematian pasti akan terjadi, kita semestinya mengisi kehidupan lewat perjuangan yang mengisi ruang antara kelahiran dan kematian dengan makna.

Makna kehidupan hanya didapatkan oleh mereka yang memberontak terhadap takdir. Dan itu tidak berarti mereka menyangkal adanya takdir, malahan karena mereka percaya adanya takdir, mereka mengisi kehidupan dengan perjuangan hingga takdir itu sendirilah yang menghentikan mereka.

Berbeda dengan paham para fatalis yang memberontak aturan dengan dalih bahwa kematian sudah ditakdirkan. Tidak demikian! Justru karena ketidaktahuan kita akan takdir, kita tidak sepatutnya menghakimi takdir itu.

Penulis tidak membela kaum heroisme. Sedikit-dikitnya, Penulis ingin mengingatkan bahwa penganut fatalisme telah mengacaukan bencana ini. Mereka yang ingin bencana ini cepat selesai, tetapi mereka juga yang membuat bencana ini sulit selesai.

Harus diakui, heroisme terkesan mulia di permukaan. Tetapi, samudra yang tenang bukan berarti tidak menyimpan keganasan di dalamnya. Kita tidak begitu tahu apa kepentingan pribadi mereka selain kedoknya yang menyuarakan kepahlawanan.

Lebih baiknya Penulis mengimbau lebih cepat bahwa tidak ada satu pahlawan dalam penjara bersama ini. Tidak akan ada satu pahlawan yang patut disembah! Yang kita butuhkan bukanlah kelompok kepahlawanan, sebab tidak setiap orang mampu melakukannya.

Memaksa seekor lalat untuk menjadi elang tidaklah mungkin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun