Kabarnya, virus itu sudah merenggut lebih dari 600 nyawa anak-anak di negeri ini. Kini spekulasi orang-orang telah digugah, sebab statistik telah mencatat bahwa penyakit yang dimaksud tidak pandai memilih korban.
Separuh dari jumlah tersebut merupakan para balita yang belum tertimpa dosa sama sekali. Mereka adalah penduduk baru yang melakukan kunjungan singkat ke sebuah drama akbar. Mereka seperti para aktor yang dinarasikan sebagai kupu-kupu penggaris luka!
Mendadak sayap itu patah seiring jeritan yang amat pedih. Tetapi jeritan itu tidak datang dari mereka yang pergi, melainkan dari mereka yang bertahan. Justru rasa sakit tak terperi malah menggerogoti mereka yang ditinggal dan bukannya mereka yang meninggal.
Tidak begitu penting bagaimana raut wajah mereka saat tercerabut dari waktu. Tidak seorang pun yang bisa mengerti bagaimana rasa sakitnya. Satu-satunya yang menarik bagi Penulis adalah, apa makna kunjungan mereka?
Grafik kembali melonjak, tetapi data-data itu seperti bola mutiara yang kehilangan kilauannya. Mayoritas orang tidak lagi peduli. Mata dan telinga cepat-cepat dialihkan, sekonyong-konyong membuang muka dari apa yang dipedulikannya kala itu.
Karena alasan yang jelas, grafik dan statistik tersebut tidak memberikan kebahagiaan sedikit pun. Tetapi demikianlah adanya, bahwa hal-hal semacam itu tidak diciptakan untuk membawa kabar gembira, melainkan bentuk sederhana dari imbauan yang semu.
Angka-angka itu tidak mengobati apa pun. Mereka sering menipu dan berbohong! Sekali-dua kali mengabarkan fakta, orang-orang terlanjur kecewa padanya. Mereka lebih mirip seperti burung gagak yang kedatangannya (hanya) mewartakan kabar duka.
Siapa yang bisa memastikan kebenaran angka-angka itu? Tidak seorang pun, karena bukan perkara demikian yang mesti kita pedulikan. Apa yang jelas tersingkap di depan kita adalah, kedaruratan pandemi yang belum usai.
Pandemi datang seperti seruan perang yang tidak dipersiapkan. Dia berdiri di depan pintu sebagai tamu tak dikenal. Justru karena dia hanya berdiri, kita menjadi lengah. Tetapi hal yang terlambat disadari adalah, dia menyebarkan paku tak kasat mata di sepanjang lantai.
Tamu itu datang untuk menggeser posisi kita sebagai majikan; suatu kenyataan yang teramat pelik di mana manusia begitu kewalahan oleh tamu kecil setelah sekian kalinya. Bahkan segala peralatan modern tidak begitu berdaya, dan tidak ada yang tahu sejauh mana semua itu akan membantu.
Tidak ada yang mengira bahwa kasus virus di satu wilayah akan menjadi bencana global. Ketika wabah terjadi di sana, orang-orang hanya menganggapnya sebagai balutan permen kapas yang akan segera larut bersama samudra kehidupan.
Kenyataannya tidak demikian. Bahkan bukan epidemi, melainkan pandemi. Gema bencana global tidak disambut oleh kepatuhan. Sebab kejadiannya terlalu mendadak, orang-orang menyangkal kebenaran.
Kegaduhan kabar konspirasi terlampau lebih enak untuk diterima sebagai kebenaran. Kadang-kadang, manusia tidak ingin mendengar kebenaran karena mereka tidak ingin ilusi mereka hancur.Â
Apa yang dikiranya benar adalah keyakinannya sendiri yang tidak patut dipertanyakan.
Kini kehidupan punya caranya sendiri untuk menghancurkan telinga-telinga mereka dan mengajarkan apa yang penting, yaitu mendengarkan kebenaran lewat mata-mata mereka. Penyangkalan terhadap realitas sudah tidak berarti apa-apa lagi.
Korban yang pada awalnya masih bisa dihitung jari mulai terlepas dari kendali. Statistik mencatat lonjakan korban. Gejolak amarah penduduk mulai berkobar ketika mereka yang pergi, katanya, tidak diperlakukan secara layak.
Keluarga yang bersangkutan tidak diperbolehkan hadir di peristirahatan terakhir. Perpisahan memang begitu menyakitkan saat mereka yang pergi belum sempat mengucapkan selamat tinggal. Tetapi seperti yang Penulis wartakan di awal: virus ini tidak pandai memilih korban.
Protes-protes mulai melayang dari setiap sudut negeri. Otoritas tidak becus, katanya. Hanya saja, mereka yang berkicau pun tidak tahu apa-apa tanpa disadarinya. Seramah apa pun es pada api, kobaran api tetap menjadi pemenangnya.
Orang-orang pergi memberontak. Segala peraturan dianggapnya remeh dan sepele. Kabar burung yang begitu gaduh dikiranya sebagai konspirasi para konglomerat. Ketiadaan kepercayaan masyarakat sekarang harus ditebus mahal oleh gelombang bencana yang tak usai.
Segala janji yang dulu diteriakkan tidak lagi relevan dengan kondisi, di samping pengkhianatan yang biasa terjadi. Keroncongan perut menjerit keras di tengah pemecatan massal. Protokol kesehatan disangkanya mesti diabaikan untuk bisa bertahan hidup.
Penduduk menawar aturan agar roda perekonomian tetap berjalan. Pendidikan turut berkeinginan, tetapi tidak berdaya hingga teknologi menjadi andalan. Hasilnya, perampokan ikut meningkat seiring tingginya kebutuhan akan ponsel.
Ironi di atas ironi, bahwa bencana sosial terjadi mendampingi bencana kesehatan. Orang-orang tidak bisa lagi duduk nyaman untuk menunggu waktu pembatasan selesai. Bagaimanapun juga, kehidupan tidak membiarkan penghuninya untuk diam.
Manusia seperti roda yang digerakkan oleh nasib.
Tentu semua pihak ingin fokus menyelesaikan masalah yang satu, tetapi mengabaikan masalah lain sama seperti mengembangbiakkan telur iblis. Ketika masalah yang satu bisa teratasi, maka masalah yang lain sudah terlampau darurat hingga masalah lama berpotensi muncul kembali.
Dilematik semacam ini bukanlah sesuatu yang baru, sebab kehidupan memang diciptakan untuk membuat penghuninya berpikir keras. Alih-alih kesenangan mutlak, nestapa dan bahagia senantiasa berjalan beriringan.
Orang-orang mulai dihantam oleh kebenaran bahwa bencana ini nyata. Dengan demikianlah, bencana psikologis juga turut muncul ke permukaan. Tali-tali yang membentuk lingkaran seukuran kepala banyak ditemukan tergantung.
Penjualan benda-benda tajam pun ikut meroket yang entah digunakan untuk apa. Yang jelas, angka kriminalisasi juga meningkat seiring itu. Justru bencana psikologis inilah yang kemudian lebih banyak menimbulkan kekacauan dan sulit dikendalikan.
Kini sudah saatnya kita memahami bahwa, pandemi adalah penjara yang cukup adil bagi semua orang. Tidak satu atau seratus atau ribuan orang yang terpenjara, melainkan ratusan juta orang yang terkurung.
Bukanlah suatu hal baru dalam sejarah di mana orang-orang terpenjara atas ketidaksalahan mereka. Tetapi kita tidak mempelajari itu, sebab perhatian kita tidak diarahkan ke sana. Penjara ini seperti badai hujan yang turun di musim panas yang tenang.
Orang-orang tidak bertanya, "Apa yang patut kita pelajari dari peristiwa Black Death?" Tidak, mereka lebih senang bertanya, "Berapa harga saham sekarang? Kartu siapa yang muncul di meja itu? Berapa penghasilan bulan ini?"
Lambat laun, bencana mulai diterima dengan lapang dada. Tidak terdengar lagi bisikan "kutukan Tuhan" atau "konspirasi konglomerat". Kita mengira bahwa sudah sepatutnya sisa kehidupan dihabiskan bersama virus itu.
Tetapi, obat belum ditemukan! Vaksin tidak berarti garis akhir, maka pandemi pun belum usai! Kita terlanjur terlena oleh "terbiasa" hingga gelombang berikutnya datang menghujam! Korban-korban masih berjatuhan, bahkan grafik kembali melonjak.
Ratapan kesedihan kembali menyelimuti sudut-sudut negeri. Sumpah serapah menanggalkan semua. Mereka terpejam dalam tanah meninggalkan bekas luka yang mendalam, bahkan tanah-tanah itu tertiup angin yang menyesakkan napas sekitar.
Orang-orang terlambat menyadari bahwa, bertemu berarti sudi untuk berpisah, cinta berarti sudi untuk menangis, dekat berarti sudi untuk menjauh.Â
Tidak ada kesetiaan mutlak di dunia ini. Bahkan sinar rembulan perlahan padam layaknya matahari yang berangsur-angsur siap meledak.
Cinta datang terlambat. Manusia lebih mencintai hal-hal yang terlanjur pergi. Tidak ada yang sadar tentang seberapa berharganya seseorang hingga dia pergi tanpa melambaikan tangan atau secercah senyuman bercahaya dari bibirnya yang dingin.
Perpisahan tidak mengajarkan apa-apa selain arti sebuah kehilangan dan menghargai apa yang sempat. Di balik hati yang terluka, ada bisikan amarah yang meletup-letup dan terkadang hanya bisa dipendam.Â
Tetapi kobaran api sebesar apa pun tidak akan bisa membangkitkan yang mati.
Di sini Penulis berusaha untuk mengerti tentang arti penderitaan bersama. Penulis sendiri juga tidak terkecuali atas korban bencana ini. Perpisahan dengan beberapa orang yang dicintai turut pula pernah menghiasi.
Kendati demikian, Penulis datang sebagai pengimbau dan bukannya penghibur. Pertunjukan sirkus sudah sering dipertontonkan di banyak tempat, maka sekarang inilah Penulis datang sebagai pewarta sirene kematian.
Perlu disampaikan bahwa orang-orang hingga saat ini masih terpecah menjadi dua. Golongan pertama menganut heroisme, yaitu mereka yang melibatkan diri dalam penanggulangan bencana, mencoba berdiri menantang bencana, dan melantangkan keadilan serta kebenaran.
Sedangkan golongan kedua menganut fatalisme, yaitu mereka yang percaya bahwa segala sesuatunya sudah menjadi bagian dari takdir dan tidak ada yang bisa dilakukan untuk itu.Â
Mereka mengabaikan segala peraturan yang ada dengan keyakinan bahwa kematian akan terjadi jika sudah waktunya.
Pandemi ini diwarnai oleh pertentangan dua kubu tersebut yang pada akhirnya menyulitkan satu sama lain. Tidak ada pandangan yang satu, yang ada hanyalah perebutan yang satu.
Di sini Penulis tidak membela salah satu kubu dan tidak pula bergabung ke salah satunya. Kita tidak tahu mana yang lebih mulia, sebab kebanyakan yang kita tahu hanyalah kedoknya yang mengatasnamakan kemuliaan.
Dalam satu sudut, benar bahwa Tuhan turut ikut campur atas apa yang terjadi di dunia ini. Akan tetapi, haruskah kita menjadi gerombolan fatalis? Mestikah kita sepenuhnya hanya berserah?
Kematian adalah suatu kepastian di samping misteriusnya kapan itu terjadi. Tetapi kematian bukanlah sesuatu yang dikabarkan untuk menakuti, melainkan untuk dihadapi. Golongan kedua menjadikan kematian sebagai simbol kesia-siaan dan ketidakberdayaan.
Dan jika demikianlah kebenarannya, lantas untuk apa manusia diciptakan? Apakah kita eksis hanya ditakdirkan untuk mati? Penulis menolak paham tersebut. Meskipun mereka pun lantang menolaknya, namun dalam praktiknya, mereka menyetujui.
Di sini Penulis menganjurkan untuk memberontak pada takdir. Justru karena kematian pasti akan terjadi, kita semestinya mengisi kehidupan lewat perjuangan yang mengisi ruang antara kelahiran dan kematian dengan makna.
Makna kehidupan hanya didapatkan oleh mereka yang memberontak terhadap takdir. Dan itu tidak berarti mereka menyangkal adanya takdir, malahan karena mereka percaya adanya takdir, mereka mengisi kehidupan dengan perjuangan hingga takdir itu sendirilah yang menghentikan mereka.
Berbeda dengan paham para fatalis yang memberontak aturan dengan dalih bahwa kematian sudah ditakdirkan. Tidak demikian! Justru karena ketidaktahuan kita akan takdir, kita tidak sepatutnya menghakimi takdir itu.
Penulis tidak membela kaum heroisme. Sedikit-dikitnya, Penulis ingin mengingatkan bahwa penganut fatalisme telah mengacaukan bencana ini. Mereka yang ingin bencana ini cepat selesai, tetapi mereka juga yang membuat bencana ini sulit selesai.
Harus diakui, heroisme terkesan mulia di permukaan. Tetapi, samudra yang tenang bukan berarti tidak menyimpan keganasan di dalamnya. Kita tidak begitu tahu apa kepentingan pribadi mereka selain kedoknya yang menyuarakan kepahlawanan.
Lebih baiknya Penulis mengimbau lebih cepat bahwa tidak ada satu pahlawan dalam penjara bersama ini. Tidak akan ada satu pahlawan yang patut disembah! Yang kita butuhkan bukanlah kelompok kepahlawanan, sebab tidak setiap orang mampu melakukannya.
Memaksa seekor lalat untuk menjadi elang tidaklah mungkin.
Karena itulah Penulis tidak berdiri di pihak fatalisme maupun heroisme. Penulis menyarankan dalam sirene kematian ini, bahwa kejujuranlah sebagai satu-satunya nilai yang patut diperjuangkan.
Hanya kejujuranlah yang mungkin dapat menyingkapkan sebongkah bintang bercahaya di gelapnya kehidupan sekarang ini.
Jujurlah sebagai manusia! Karena sebagai manusia, kita dilimpahi oleh berbagai tanggung jawab yang sesungguhnya selalu mengarah pada kemuliaan. Ini bukan lagi soal siapa yang menjadi pahlawan, melainkan soal kewajiban yang selama ini melekat dalam diri kita.
Dengan menjadi jujur sebagai manusia, setiap orang dapat menjadi pahlawan bagi dirinya sendiri. Dan kepahlawanan bagi dirinya sendiri berarti kemenangan bersama yang pada hakikatnya terdiri dari kemenangan-kemenangan individu.
Pihak otoritas harus jujur dalam menjalankan kewajibannya melindungi masyarakat. Itu berarti tidak melipatkan selembar uang pun ke dalam kantong sakunya sendiri. Itu berarti tidak menyembunyikan kebenaran sedikit pun yang sepantasnya diterima orang-orang.
Tenaga kesehatan harus jujur dalam melaksanakan tugasnya untuk melayani masyarakat. Itu berarti tidak menggunakan antigen bekas. Itu berarti tidak mengabaikan korban darurat. Itu berarti tidak memilih-milih dalam hal pelayanan.
Para pelajar mesti jujur terhadap tanggung jawabnya dalam menuntut ilmu. Itu berarti tidak menghabiskan seluruh waktu untuk menatap layar ponsel. Itu berarti tidak banyak nongkrong di sana-sini. Itu berarti mulai membuka buku untuk membaca.
Setiap pihak punya kewajibannya masing-masing, meskipun sejatinya tetaplah satu suara: jujurlah sebagai manusia! Setiap orang punya aturan yang mengarahkannya pada kemuliaan, maka jujurlah terhadap aturan itu untuk mencapai kemenangan bersama!
Kini kita dihadapkan pada peraturan baru yang mengarahkan kita pada penyelesaian masa pandemi. Jadi, jujurlah terhadapnya! Mereka yang melanggar peraturan itu, bagi Penulis, tidak bisa dibedakan dengan gerombolan hewan di alam liar.
Para binatang suka melanggar aturan, sebab mereka digerakkan oleh naluri. Tetapi manusia tidak sekadar berdaya hewani apalagi nabati. Kita adalah manusia! Yang menjadikan kita unik dari semua makhluk adalah, kesadaran diri yang kita miliki.
Penulis sadar betul bahwa masyarakat awam tidak tahu banyak soal bencana ini. Justru karena ketidaktahuan itulah, setidaknya untuk sementara, kita berserah pada arahan mereka yang lebih ahli. Kesadaran kita mesti mengarah pada ketidaktahuan itu!
Pembaca yang budiman, heroisme berjalan sia-sia sebab ini penderitaan bersama. Tidak akan ada satu atau beberapa pahlawan. Setiap orang harus menjadi pahlawan atas dirinya sendiri.
Bukan berarti harus mementingkan diri sendiri, tapi jujurlah pada diri sendiri sebagai manusia yang punya tanggung jawab. Dan kemenangan setiap individu itulah yang pada akhirnya akan meledakkan kembang api kemenangan bersama.
Fatalisme juga bukan suatu paham yang baik untuk mengisi kehidupan. Meskipun fakta bahwa setiap orang diawasi oleh takdirnya, tetapi tidak sepatutnya juga kita menyerah padanya. Adalah pemberontakanlah yang pada akhirnya melahirkan makna kehidupan.
Katanya tidak ada masa lalu ataupun masa depan, yang ada hanyalah saat ini. Tetapi Penulis beranggapan, masa lalu ada dalam kenangan sebagai pembelajaran dan masa depan ada dalam harapan sebagai bara semangat.
Saat ini hanyalah bentuk dari perjuangan untuk jujur pada diri sendiri sebagai manusia.
Di tengah situasi suram yang belum usai ini, kesadaran amatlah penting untuk menjaga kewarasan diri. Kita tidak sepatutnya ketergantungan pada hal-hal di luar diri kita sendiri. Adalah sangat penting untuk bersikap kritis terhadap nilai-nilai yang ada saat ini.
Harapan yang biasanya mendatangkan kekecewaan ternyata bisa berperan penting dalam situasi pelik seperti sekarang. Lewat harapanlah, kita semua bisa menyatukan kekuatan bersama kejujuran demi tercerabutnya batang-batang besi yang tak kasat mata ini.
Ingat baik-baik, bahwa pandemi adalah penjara kita bersama! Kita ingin cepat-cepat bebas dari kurungan yang memuakan ini! Hal terpentingnya adalah, kita mesti jujur pada tanggung jawab kita sendiri, dan melaksanakan yang satu tidak seharusnya mengabaikan yang lain.
Keseimbangan memang tidak mudah, tetapi dapat diperjuangkan. Meskipun hasilnya tidak bisa sempurna, tetapi selalu ada ruang untuk mendekati kesempurnaan.
Satu-satunya yang kita tahu sekarang adalah adanya harapan yang menyatukan kita. Tapi apalah arti harapan jika setiap orang tidak bisa jujur sebagai manusia. Arti eksistensi kita sebagai manusia sedang dipertaruhkan oleh kejujuran! Tidakkah itu begitu jelas?
Masa depan selalu ada di hadapan kita. Mendung atau cerah, bergantung dari seberapa jujurnya kita sebagai manusia dan memedulikan nilai-nilai kita sebagai manusia.
Hidupkanlah tradisi belajar di tengah situasi yang mendesak ini. Apa pun profesi Anda, hidupkanlah tradisi itu! Masa depan butuh dipelajari dan dipersiapkan.
Meskipun tidak ada jaminan bahwa hasilnya dapat kita rasakan, setidaknya kita sudah menunjukkan kecintaan kita pada generasi mendatang.
Rumah sakit sudah mulai penuh sesak. Angka-angka semakin tidak terkendali. Bencana mulai merambah pada segala dimensi. Sekolah belum kunjung terisi, dan mungkin akan segera terisi sebagai tempat penampungan darurat.
Barangkali tidak akan ada sekolah lagi, jadi belajarlah dengan segala fasilitas yang dimiliki. Penulis amat menyarankan kejujuran Anda sekalian sebagai makhluk yang disebut manusia, sebab kebijaksanaan tak akan pernah lahir tanpa didahului oleh kejujuran.
Penulis memposisikan diri sebagai pengimbau meskipun fakta bahwa Penulis juga merupakan bagian dari bencana ini. Tetapi, demikianlah adanya bahwa Penulis telah berusaha mewartakan kedatangan sirene kematian yang selama ini tidak (ingin) didengarkan.
Jika tidak ada yang kita lakukan, sirene kematian itu akan terus berdesing di telinga kita dan mengganggu kehidupan yang pada dasarnya mengandung banyak keindahan.
Karenanya tidak ada lagi waktu untuk menunggu, waktu kita sudah terjepit oleh masalah-masalah lain yang sedang menanti di depan kita. Terlambat sedikit saja, kita akan kalah cepat oleh mutasi virus itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H