Orang-orang terlambat menyadari bahwa, bertemu berarti sudi untuk berpisah, cinta berarti sudi untuk menangis, dekat berarti sudi untuk menjauh.Â
Tidak ada kesetiaan mutlak di dunia ini. Bahkan sinar rembulan perlahan padam layaknya matahari yang berangsur-angsur siap meledak.
Cinta datang terlambat. Manusia lebih mencintai hal-hal yang terlanjur pergi. Tidak ada yang sadar tentang seberapa berharganya seseorang hingga dia pergi tanpa melambaikan tangan atau secercah senyuman bercahaya dari bibirnya yang dingin.
Perpisahan tidak mengajarkan apa-apa selain arti sebuah kehilangan dan menghargai apa yang sempat. Di balik hati yang terluka, ada bisikan amarah yang meletup-letup dan terkadang hanya bisa dipendam.Â
Tetapi kobaran api sebesar apa pun tidak akan bisa membangkitkan yang mati.
Di sini Penulis berusaha untuk mengerti tentang arti penderitaan bersama. Penulis sendiri juga tidak terkecuali atas korban bencana ini. Perpisahan dengan beberapa orang yang dicintai turut pula pernah menghiasi.
Kendati demikian, Penulis datang sebagai pengimbau dan bukannya penghibur. Pertunjukan sirkus sudah sering dipertontonkan di banyak tempat, maka sekarang inilah Penulis datang sebagai pewarta sirene kematian.
Perlu disampaikan bahwa orang-orang hingga saat ini masih terpecah menjadi dua. Golongan pertama menganut heroisme, yaitu mereka yang melibatkan diri dalam penanggulangan bencana, mencoba berdiri menantang bencana, dan melantangkan keadilan serta kebenaran.
Sedangkan golongan kedua menganut fatalisme, yaitu mereka yang percaya bahwa segala sesuatunya sudah menjadi bagian dari takdir dan tidak ada yang bisa dilakukan untuk itu.Â
Mereka mengabaikan segala peraturan yang ada dengan keyakinan bahwa kematian akan terjadi jika sudah waktunya.
Pandemi ini diwarnai oleh pertentangan dua kubu tersebut yang pada akhirnya menyulitkan satu sama lain. Tidak ada pandangan yang satu, yang ada hanyalah perebutan yang satu.