Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sirene Kematian: Sebuah Imbauan Kedaruratan Pandemi

18 Juni 2021   10:22 Diperbarui: 18 Juni 2021   10:35 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenyataannya tidak demikian. Bahkan bukan epidemi, melainkan pandemi. Gema bencana global tidak disambut oleh kepatuhan. Sebab kejadiannya terlalu mendadak, orang-orang menyangkal kebenaran.

Kegaduhan kabar konspirasi terlampau lebih enak untuk diterima sebagai kebenaran. Kadang-kadang, manusia tidak ingin mendengar kebenaran karena mereka tidak ingin ilusi mereka hancur. 

Apa yang dikiranya benar adalah keyakinannya sendiri yang tidak patut dipertanyakan.

Kini kehidupan punya caranya sendiri untuk menghancurkan telinga-telinga mereka dan mengajarkan apa yang penting, yaitu mendengarkan kebenaran lewat mata-mata mereka. Penyangkalan terhadap realitas sudah tidak berarti apa-apa lagi.

Korban yang pada awalnya masih bisa dihitung jari mulai terlepas dari kendali. Statistik mencatat lonjakan korban. Gejolak amarah penduduk mulai berkobar ketika mereka yang pergi, katanya, tidak diperlakukan secara layak.

Keluarga yang bersangkutan tidak diperbolehkan hadir di peristirahatan terakhir. Perpisahan memang begitu menyakitkan saat mereka yang pergi belum sempat mengucapkan selamat tinggal. Tetapi seperti yang Penulis wartakan di awal: virus ini tidak pandai memilih korban.

Protes-protes mulai melayang dari setiap sudut negeri. Otoritas tidak becus, katanya. Hanya saja, mereka yang berkicau pun tidak tahu apa-apa tanpa disadarinya. Seramah apa pun es pada api, kobaran api tetap menjadi pemenangnya.

Orang-orang pergi memberontak. Segala peraturan dianggapnya remeh dan sepele. Kabar burung yang begitu gaduh dikiranya sebagai konspirasi para konglomerat. Ketiadaan kepercayaan masyarakat sekarang harus ditebus mahal oleh gelombang bencana yang tak usai.

Segala janji yang dulu diteriakkan tidak lagi relevan dengan kondisi, di samping pengkhianatan yang biasa terjadi. Keroncongan perut menjerit keras di tengah pemecatan massal. Protokol kesehatan disangkanya mesti diabaikan untuk bisa bertahan hidup.

Penduduk menawar aturan agar roda perekonomian tetap berjalan. Pendidikan turut berkeinginan, tetapi tidak berdaya hingga teknologi menjadi andalan. Hasilnya, perampokan ikut meningkat seiring tingginya kebutuhan akan ponsel.

Ironi di atas ironi, bahwa bencana sosial terjadi mendampingi bencana kesehatan. Orang-orang tidak bisa lagi duduk nyaman untuk menunggu waktu pembatasan selesai. Bagaimanapun juga, kehidupan tidak membiarkan penghuninya untuk diam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun