"Lihat!" gertaknya sembari memukul lenganku.
Kilatan cahaya putih menukik tajam dari atas langit yang gelap menuju tanah yang jauh. Guratan cahaya itu meninggalkan jejak kontras di tengah-tengah gelimang bintang. Mungkin cahaya itu berwarna biru jika langit sedang cerah.Â
Tapi yang jelas, kami sama-sama terpukau dan mematung. Si Gadis Safir berseru, "Itu bintang jatuh! Buat permintaanmu!"
Tangan si Gadis Safir bersandar di atas lenganku. Dia memejamkan mata dan mulutnya berkomat-kamit tak jelas. Namun, aku segera mengikutinya. Aku memejamkan mata dan pura-pura mengucapkan mantra sepertinya.Â
Aku tidak membuat harapan apa pun. Aku rasa, tidak ada yang bisa diharapkan dari kehidupan. Bintang-bintang itu tidak bisa dipercaya, meskipun aku tidak bisa menyangkalnya bahwa mereka amatlah indah.
Ketika aku mulai membuka mata kembali, aku melihatnya sedang membuka mata juga dan merekahkan senyum yang amat manis padaku. Aku membalas senyumnya dengan gigi-gigi yang sedikit gemetar. Aku kedinginan.Â
Angin malam di musim penghujan memang biasanya lebih dingin. Beruntungnya tidak ada rintikan hujan yang turun malam ini. Atau belum.
Kami duduk menikmati malam. Aku masih tidak menyangka bahwa bintang jatuh akan bisa terlihat sebelum tengah malam. Aku membayangkan bintang itu jatuh di suatu tempat yang kering, menimbulkan kawah kecil yang hening; ia kesepian dan sendirian.Â
Nun di seberang sana, rinduku ikut bergelayut bersama sebongkah bintang yang telah meledak. Jiwaku mungkin terguncang, tapi seperti kata mereka, bintang jatuh selalu membawa makna.Â
Tadi itu seperti secercah cahaya malaikat yang terbang di langit gelap. Dan jika benar adanya, pastilah malaikat itu sedang memunguti remah-remah sayapnya yang berceceran.
"Antares, apakah suatu hari nanti kita akan mampu memahami alam raya sepenuhnya?"