Dalam kata-kata Voltaire, "Keraguan adalah kondisi yang tidak nyaman, tetapi kepastian adalah hal yang konyol." Bisa dibilang bahwa keraguan merupakan tempat tinggal yang buruk, tapi sekaligus juga indah.
Realitas yang selalu berubah membuat hampir tidak mungkin untuk memutlakkan banyak hal. Karenanya sikap meragukan sesuatu menjadi salah satu hal terbaik dan paling cerdas yang dapat dilakukan oleh pikiran manusia.
Perlu digarisbawahi bahwa saya di sini tidak sedang membicarakan tentang keraguan diri (self-doubt). Itu persoalan lain dan saya setuju dengan Anda bahwa ketidakpercayaan terhadap diri sendiri memang mengganggu.
Akan tetapi, saya berbicara tentang sikap meragukan sesuatu yang akhir-akhir ini jarang dilestarikan.Â
Kita melihat banyak orang terjebak dalam dogmatisme, bahkan segelintir orang terperosok ke dalam terorisme, fanatisme dan radikalisme. Akar penyebabnya bisa jadi satu: tidak mau dan tidak mampu meragukan sesuatu.
Harus diakui bahwa abad ke-21 menjadi masa di mana ketidakpastian semakin merajalela. Kita memiliki lebih banyak informasi ketimbang sebelumnya, tetapi sebesar itu pula kemungkinannya untuk terjebak dalam disinformasi.
Dan ironisnya, pada peradaban ini pula kita tidak diberdayakan untuk meragukan sesuatu. Kekuatan dan institusi di luar sana tidak tertarik untuk mendengarkan keraguan dan pertanyaan Anda. "Keraguan" tidak dihormati secara universal.
Namun seperti dalam kata-kata Bertrand Russel, "Penyebab mendasar dari masalah ini adalah bahwa di dunia modern orang bodoh bersikap sombong, sedangkan orang cerdas penuh keraguan."
Keraguan tidak sama dengan ketakutan
Keraguan, biasanya, adalah sensasi tidak nyaman yang Anda dapatkan ketika Anda merasa akan kecewa.Â
Barangkali pernah suatu waktu, Anda ragu apakah teman Anda akan datang tepat waktu untuk nongkrong di kafe. Anda mungkin ragu apakah wawancara kerja akan lancar.
Kenyataannya, itu bukanlah keraguan, melainkan rasa takut. Dalam tingkat wajar, ketakutan dapat berguna karena memperingatkan Anda tentang hal-hal yang penting dan yang sebaiknya Anda perbaiki. Tetapi sekali lagi, ini berbeda dengan keraguan.
Ketakutan dapat menjadi keraguan ketika Anda mendapatkan perasaan itu karena suatu alasan. Karenanya jika takut, Anda sebaiknya meragukan itu.
Katakanlah bahwa Anda takut seorang teman berbohong kepada Anda. Jika Anda berhenti pada perasaan itu, Anda hanya sedang ketakutan. Tetapi jika Anda menindaklanjuti perasaan itu, Anda sampai pada tahap keraguan.
"Mengapa saya berpikir demikian? Apakah hanya karena saya tidak terlalu menyukai wajahnya? Atau apakah dia pernah mengacaukan saya sebelumnya?" Inilah tahap keraguan yang paling dasar, dan kabar baiknya, ini menjadi solusi atas ketakutan Anda.
Jadi di lain waktu, iringi rasa takut dengan keraguan; dengarkan logika di baliknya. Acapkali ketakutan kita hanyalah suatu ketidakamanan yang irasional.
Sikap "meragukan" yang keliru
Terkadang sedikit keraguan adalah tangan yang sangat keren. -- Paul Newman
Keraguan itu seperti pistol: tidak bisa digunakan dengan sembarangan, dan jika salah, ia bisa membunuh Anda alih-alih menjadi senjata.
Karenanya dibutuhkan keterampilan khusus untuk bisa menggunakan senjata itu. Tapi sebelum mempelajari manfaatnya, Anda harus tahu terlebih dahulu bahwa senjata itu juga bisa membunuh Anda sendiri.
Jadi, bagaimana keraguan dapat menjadi bumerang?
Dijadikan sebagai "produk"
Keraguan menjadi berbahaya ketika Anda menganggapnya sebagai "produk" atau hasil akhir. Dengan kata lain, keraguan yang tidak ditindaklanjuti akan menjadi bumerang bagi pertahanan diri sendiri.
Sebagai contoh, saya meragukan materi yang disampaikan oleh guru di depan kelas. Jika saya menjadikan keraguan sebagai "produk", maka saya tidak akan menindaklanjuti keraguan saya karena berasumsi bahwa itu merupakan garis finish atau hasil akhir.
Akibatnya, saya kehilangan kepercayaan terhadap guru tersebut tanpa alasan apa pun. Saya terombang-ambing dalam keraguan yang tidak terjawab bagaikan sekoci yang terapung di hamparan samudera.
Ini jelas tidak berguna; keraguan semacam ini tidaklah bermanfaat dan malah merugikan. Keraguan itu penting, tetapi jika kita berhenti di sana, kita sedang melemparkan bumerang.
Keraguan adalah "modal" dan bukannya "produk". Karenanya keraguan itu harus ditindaklanjuti melalui pencarian akan kebenaran.Â
Ketika Anda memiliki modal untuk membuka usaha, Anda tidak berhenti pada saat memiliki modal, tetapi menjadi katalisator untuk tindakan.
Dalam kasus tadi, jika saya menjadikan keraguan sebagai "modal", maka saya akan pergi memeriksa buku referensi, atau mendengarkan materi dari guru lain untuk memastikan bahwa materi yang disampaikan di depan kelas tadi adalah benar.
Sekarang Anda dapat mengerti bahwa keraguan adalah awal dari keingintahuan; sebuah pengakuan akan ketidaktahuan. Maka ini menjadi penting sebagai modal pelajar dalam pendidikan.
Melampaui "akar"
Bayangkan Anda ingin mencari tahu letak akar dari sebuah pohon. Pertama-tama Anda memeriksa dari atas menuju ke bawah; dari pucuk daun hingga ke tanah.
Setelah proses pencarian yang detail, Anda pun menemukan akar pohon tersebut pada akhirnya. Katakanlah bahwa akar tersebut adalah kebenaran. Dengan kata lain, Anda telah sampai pada kebenaran.
Tetapi apa yang terjadi jika Anda sendiri masih meragukan akar tersebut? Dengan berdalih bahwa keraguan itu amatlah penting, maka Anda pun tetap meragukan akar tersebut. Apa yang akan terjadi?
Anda akan terperosok ke dalam jurang yang tiada ujung. Anda terjebak ke dalam pencarian yang tiada akhir. Dan ini melenceng dari tujuan sikap meragukan itu sendiri.
Logika sederhananya, jika Anda ingin mencari akar dan Anda telah menemukannya, untuk apa tetap mencari? Kecuali jika Anda ingin mencari lebih banyak, Anda dapat meneruskan pencarian.
Inilah yang saya sebut sebagai "melampaui akar". Tidak ada yang salah dengan keraguan. Tetapi ingat kembali mengapa kita meragukan sesuatu: untuk mencari kebenaran.Â
Jika kebenaran itu telah kita capai, untuk apa meneruskan perjalanan yang melelahkan itu?
Di sinilah kita tahu bahwa sikap meragukan itu terdapat garis batasan, yaitu kebenaran itu sendiri. Pasti akan ada satu yang tidak bisa disangkal lagi sebagai kebenaran, dan di sanalah kita dapat berhenti dan memuaskan diri.
Meskipun terdengar naif, tapi "melanjutkan pencarian melampaui akar" malah membuat kita tersesat dalam keraguan yang tidak terbatas. Dan itu menakutkan.
Seperti kata Rene Descartes, tidaklah masuk akal jika kita meragukan semuanya, tetapi secara prinsip kita bisa meragukan segala sesuatu.
Mengapa keraguan itu penting?
Langkah terbesar yang pernah saya ambil dalam kehidupan adalah keberanian untuk meragukan segala sesuatu yang telah lama bercokol dalam pikiran dan keyakinan saya sendiri.
Saya harus bersombong sedikit bahwa saya merasakan perkembangan pesat dalam diri saya, entah secara intelektual maupun tindakan.Â
Dengan mengawali langkah bersama keraguan, saya membersihkan puing-puing reruntuhan untuk membangun rumah baru yang lebih kokoh.
Dan segala keraguan itu telah membantu saya untuk membangun fondasi rumah di atas beton ketimbang di atas pasir yang tersapu ombak.
Tapi, abaikan kisah tersebut. Anda telah mengetahui bagaimana "pistol" ini dapat membunuh Anda, tetapi sekarang adalah waktunya untuk Anda mengetahui manfaatnya. Jadi, apa manfaat dari sikap meragukan sesuatu?
Awal dari berpikir kritis
Mustahil untuk berpikir kritis jika Anda tidak mempertanyakan sesuatu. Dan menariknya, pertanyaan-pertanyaan yang Anda butuhkan (selalu) datang dari keraguan.
Jadi, abaikan saja jika seorang teman mengatakan bahwa Anda bodoh hanya karena meragukan sesuatu. Kabar baiknya, Anda mengakui ketidaktahuan Anda sendiri untuk menuju pengetahuan yang hakiki.
Menunda kesimpulan
Jangan salah kaprah dengan sikap meragukan sesuatu. Keraguan bukan berarti menyalahkan kesimpulan, melainkan menunda kesimpulan. Ini membuat kita tidak terburu-buru dalam menyimpulkan dan memberi ruang serta waktu untuk menyelidiki lebih dalam lagi.
Menangkal berita hoaks
Di era ketidakpastian ini, berita hoaks banyak berhamburan seperti daun-daun yang berguguran di musim gugur. Karenanya kemampuan untuk menangkal berita hoaks amatlah penting, bahkan darurat.
Dan bagaimana pun cara kita mengatasinya, langkah pertamanya selalu sama: keraguan. Jadi lain kali, ragukanlah informasi yang Anda terima untuk ditindaklanjuti validitasnya.
Memberi akses pada yang "tidak disangka"
Keajaiban dari keraguan adalah ia membuka gerbang pengetahuan yang tidak disangka-sangka. Dengan keraguan, Anda mungkin akan menemukan sesuatu yang selama ini tidak pernah terpikirkan atau bahkan terbesit dalam logika Anda. Ya ... hidup punya banyak kejutan.
Peran keraguan dalam beragama
Keraguan jarang merupakan kondisi yang nyaman dalam agama. Pada umumnya, mempertanyakan tidak disambut baik. Harus diakui bahwa keraguan dalam agama acapkali diasumsikan sebagai ketiadaan iman.
Namun, itu adalah kebohongan. Itu juga dusta yang dibuat setan agar Anda percaya. Kenyataannya justru sebaliknya: keraguan adalah jembatan emas menuju keimanan yang kokoh.
Fakta bahwa Anda ragu berarti ada keimanan dalam hidup Anda. Pikirkan tentang itu. Jika iman Anda tidak ada, mengapa ada keraguan?Â
Keraguan dan keimanan tidak selalu bertentangan. Terkadang mereka bermain bersama, seperti teman baik yang bisa bermain di tim yang sama.
(Dan jangan lupa bahwa terorisme yang mengatasnamakan agama sering disebabkan oleh fanatisme buta terhadap agama sehingga peran keraguan juga penting dalam beragama).
Bayangkan saya adalah ayah Anda dan memerintahkan Anda untuk diam di rumah dan tidak pergi ke klub malam.Â
Jika Anda patuh begitu saja, Anda duduk dalam rasa kesal dan penuh tanda tanya sekalipun Anda mencintai saya. Anda menyiksa diri sendiri dalam kebingungan yang membara.
Tapi seandainya Anda berani bertanya "mengapa", saya dengan senang hati memberitahu Anda bahwa klub malam yang Anda maksud sedang diincar oleh polisi karena banyak pengedar narkoba berkeliaran di sana. Saya peduli pada Anda, Nak!
Itulah perumpamaan saya jika kita punya keimanan yang buta.
Keimanan buta adalah tempat tinggal yang rapuh. Untuk menjadikannya kokoh, Anda perlu meragukannya dan menemukan kebenaran. Tuhan akan dengan senang hati menuntun kita. Dan bukankah Dia ingin kita berpikir?
Tentu saja Anda membutuhkan "fasilitas" untuk bisa meragukan keimanan Anda, entah itu pemuka agama, kitab suci, buku-buku referensi, dan semacamnya. Anda bisa memikirkannya sendiri, tetapi untuk memastikannya benar, Anda perlu fasilitas-fasilitas tersebut.
Perlu digarisbawahi bahwa ada hal-hal tertentu yang memang sepenuhnya hanya harus diimani karena sains tidak bisa membuktikannya atau rasio kita tidak bisa mencapainya, seperti keyakinan akan adanya kehidupan setelah kematian.
Tapi dalam kasus itu pun, kita masih bisa mencapainya dengan logika: jika surga dan neraka tidak ada, bagaimana mengadili perbuatan manusia di dunia.
Contohnya Hitler yang membunuh jutaan umat Yahudi, hukuman maksimal di dunia adalah hukuman mati yang setimpal dengan satu nyawa. Bagaimana dengan sisanya? Maka di neraka, Hitler bisa dihukum sebanyak jutaan kali yang setimpal dengan korban pembunuhannya.
Jadi ketiadaan neraka adalah ketidakadilan yang menyeramkan. Itu masuk akal, bukan? Dan karenanya keyakinan saya akan keberadaan akhirat semakin kokoh. Nah, itulah gunanya keraguan dalam beragama.
Tetapi dalam kasus "ekstrem", seperti akan turunnya Imam Mahdi (dalam kepercayaan Islam), itu hanya dapat diimani sepenuhnya. Karenanya keraguan dalam beragama juga terdapat batasannya.
Panggil saya sesat jika Anda mau, tapi saya mengalami keimanan dengan pertama-tama meragukannya. Saya harus tahu mengapa saya harus beribadah dan mengapa itu penting bagi saya; saya harus tahu mengapa ini dilarang dan bagaimana itu menjadi benar.
Saya melihat keimanan sebagai sesuatu yang membutuhkan keraguan dan kerendahan hati.
Jika seseorang meragukan kepastian mereka sendiri, maka mereka mengizinkan potensi Tuhan untuk menunjukkan kepada mereka sesuatu yang berbeda.
Perbedaannya adalah antara menjadikan diri sendiri sebagai tuhan yang mutlak atau, dalam kerendahan hati, membiarkan kemungkinan adanya Tuhan dalam hidup kita.
Ini tidak apa-apa sejauh kita mengakui bahwa kita mungkin memiliki sesuatu yang belum dipelajari.
Keraguan bukanlah lawan dari iman; itu adalah elemen dari iman. -- Paul Tillich
Peran keraguan dalam sains dan filsafat
Satu-satunya yang aku ketahui adalah bahwa aku tidak tahu apa-apa. -- Socrates
Bapak filsafat modern, Rene Descartes, membangun filsafatnya sendiri dengan fondasi keraguan. Dia meragukan segala sesuatu, dan hanya itulah yang dia yakini.
Namun, kemudian dia menyadari sesuatu: satu hal pasti benar, dan itu adalah bahwa dia yang sedang ragu. Ketika dia ragu, dia pasti sedang berpikir, dan karena dia berpikir, pastilah bahwa dia seorang makhluk yang berpikir.
Maka terkenallah ungkapannya yang khas: Cogito, ergo sum (Aku berpikir, maka aku ada).
Dalam pepatah Persia, "Keraguan adalah kunci ilmu." Inilah yang membuat keraguan begitu "sakral" di ranah sains (atau ilmu pengetahuan) dan filsafat.
Peradaban manusia akan runtuh tanpa sains, dan sains akan runtuh tanpa keraguan. "Pikiran yang tidak tahu dan ingin tahu" akan mengungkapkan cahaya dari gelap.
Dalam ranah sains dan filsafat, kita menanyakan tidak hanya di mana ada celah dalam pengetahuan kita, tetapi juga di mana kepercayaan saat ini mungkin salah.
Pikiran yang sehat akan terus menyelidiki dan bertanya-tanya. Meragukan. Bersikap skeptis. Tidak ada yang suci.
Dan menakjubkannya, sains dan filsafat menyambut baik hal tersebut. Setiap keyakinan dan teori yang ada saat ini sama baiknya dengan tantangan selanjutnya.
Jika ternyata fakta baru memecahkan keyakinan lama, maka ranah ini tidak akan ragu untuk membuangnya ke tumpukan sampah ide dan keyakinan yang gagal.
Itulah inti dari sains dan filsafat. Itu berarti mengoreksi diri sendiri, berkembang pada tantangan, dan terbuka pada sesuatu yang tidak diketahui.
Maka dalam sains dan filsafat, keraguan bukanlah kerentanan, melainkan kekuatan. Pendekatan saintifik sering kali menemui jalan buntu, namun terkadang mengarah pada penemuan-penemuan mendasar yang belum pernah dicapai oleh pendekatan yang lain.
Dan kegiatan berfilsafat, seseorang sering terpuaskan oleh satu paradigma, namun keraguan dapat membuka akses pada yang tersembunyi. Karenanya keraguan adalah upaya untuk mengungkapkan cahaya dari kegelapan.
Pada akhirnya, keraguan merupakan pengingat internal bahwa kita sempurna dan terkadang membuat kesalahan. Maksud sempurna di sini adalah adanya kemampuan kita untuk mencapai kebenaran. Tetapi acapkali kesempurnaan itu ternodai oleh kepuasan yang kosong.
Meskipun secara universal tidak menyenangkan, keraguan adalah kunci untuk mengkritik hal-hal yang kita anggap remeh. Karenanya, jadikan keraguan sebagai teman dan bukannya musuh.
Dan ngomong-ngomong, karena artikel ini membicarakan tentang kekuatan dari keraguan, maka sebaiknya Anda pun meragukan kebenaran artikel ini. Paradoks!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H