Dia sungguh-sungguh merasakan keabadian. Ketika dirinya tercerabut dari waktu, dia merasa menyatu dalam rajutan waktu itu, meskipun dalam wujud seekor kutu atau serigala.Â
Dia membayangkan dirinya yang terpecah-pecah menjadi atom, kemudian menyatu bersama atom-atom dalam belalai gajah. Keyakinan Democritus begitu lekat dalam pikirannya.
Akan tetapi, bagaimana dengan jiwanya sendiri? Apakah kehidupan setelah kematian itu benar-benar ada sebagai tempat tinggal jiwa-jiwa? Dan apakah semua itu abadi?
"Aneska ..."
Mata Aneska terbelalak tiba-tiba. Dia benar-benar tersadar bahwa tadi itu sekadar mimpi, meskipun mungkin juga itu benar-benar nyata.Â
Barangkali jiwanya telah kembali dari petualangan singkat di ruang hampa, menyatu lagi dengan raganya yang ditimpa kemalangan.
"Tidak biasanya kamu tertidur saat membaca," ujar ibunya yang membangunkan.
"Aku tidak terlelap," jawabnya, "aku yakin itu."
"Ah, Ibu jelas melihatmu sedang terpejam. Tapi jika mengantuk, lebih baik tidur di kamar."
"Tidak," tolak Aneska, "aku tidak tertidur. Jiwaku baru saja tercerabut sekejap melihat segala sesuatu dalam satu-kesatuan."
Ibunya memicingkan mata tanda keheranan. "Terkadang sebuah mimpi memang terasa sangat nyata, Aneska."