Aneska melepaskan pandangannya dari kertas itu. Dia menatap langit, merasakan jiwanya tercerabut dari tubuh dan terbang tinggi menembus batas horizon.Â
Dia melayang-layang di ruang hampa, terjebak dalam kegelapan yang amat suram, dan hanya satu yang dilihatnya: batu marmer biru raksasa yang kedinginan di tengah kesunyian yang gelap.Â
Ia kesepian dan berputar pada porosnya untuk menghibur diri. Ia adalah Bumi, planet dari raganya yang tertinggal di suatu pekarangan rumah.
Siapa yang akan menjadi pacar Bumi? Ia begitu malang, terpisah dari planet terdekatnya, Mars, sejauh 62 juta kilometer.Â
Bahkan jarak Bumi dengan bintang terdekatnya, Alpha Centaury, adalah sekitar 4,3 tahun cahaya. Empat puluh triliun kilometer!
Dan tiba-tiba Aneska merasakan kekuatan misterius. Dia bisa melihat raganya sendiri jauh di bawah sana sedang bersandar pada pohon palem putri yang teduh.Â
Dia melihat setiap sisi dunia, milyaran orang tengah sibuk bekerja hingga melewatkan banyak kebahagiaan. Berbagai jenis kendaraan berlalu-lalang, seakan-akan seluruh dunia saling terhubung oleh satu jalan.Â
Aneska melihat Bumi sebagai satu rumah; rumah dari berbagai macam eksistensi. Akan tetapi, apakah Bumi hanya satu-satunya rumah yang ada?
Aneska semakin kehilangan kendali diri, seolah-olah menyatu dengan segala lanskap di sekitarnya. Seketika terbetik ide bahwa dia itu jauh lebih dari sekadar ego yang malang.Â
Dia bukanlah sekadar dirinya. Dia juga adalah seluruh dataran yang dilihatnya dari atas, juga seluruh samudera, malah juga segala hal yang ada, dari seekor kutu terkecil hingga galaksi-galaksi di alam raya.Â
Segalanya adalah dia, pikirnya, dan dia adalah segalanya.