"Tapi seberapa sering kamu bermain media sosial dan mengapa?"
"Sangat sering, karena banyak konten yang membuat saya tertawa."
Saya coba mendiagnosis paradigmanya dan saya menyimpulkan bahwa dia suka sesuatu yang bisa membuatnya terhibur hingga tertawa. Kemudian saya pergi dan mengatakan bahwa saya akan menemuinya lagi esok hari.
Ketika saya kembali, saya sudah menyiapkan satu cerpen yang saya tulis tentang misteri alam raya. Dan tentu saja, saya menyelipkan beberapa dialog lucu untuk memancing dia tetap duduk membaca.
Singkat cerita, pengalaman itu berlalu sekitar dua minggu. Dan pada hari yang cerah, dia menghubungi saya dan mengatakan bahwa dia sekarang sedang memperdalam ilmu astronomi. Misteri alam raya yang saya ceritakan membuatnya begitu penasaran tentang apa yang ada di atas sana.
Benang merah yang dapat kita tarik di sini adalah membangun rasa keingintahuan. Ini adalah langkah pertama dan penting untuk bisa mencintai buku. Tidaklah rasional apabila seseorang membaca buku tanpa diiringi rasa keingintahuan.
Para kutu buku adalah mereka yang haus akan pengetahuan bagaikan singa yang rindu pada makanannya.
Hal-hal lain yang dapat kita lakukan adalah membaca buku dengan cara asyik. Bagaimana melakukannya? Kembali lagi kepada standar masing-masing individu.
Dan mengapa itu penting? Karena itulah yang kita lakukan pada media sosial. Beberapa dari kita candu media sosial karena mereka merasa terhibur. Banyak konten-konten yang memancing mereka untuk tertawa.
Apalagi di masa pandemi ini. Setiap orang merasa stres dengan masalahnya, dan tertawa menjadi obat yang dicari.
Tapi, perlu digarisbawahi bahwa buku tidak disajikan sama seperti media sosial. Tidak semua buku mengandung gambar dan ilustrasi sebagaimana yang mewarnai media sosial. Dan karenanya banyak yang menganggap membaca buku itu membosankan, membuat mata perih.