Setiap tanggal 17 Mei diperingati sebagai hari buku nasional. Tapi, saya tidak akan membahas tentang bagaimana motif seseorang pada masa lalu tiba-tiba berteriak, "Ahaa!! Kita adakan hari buku nasional!"
Tidak, apa yang saya ingin lakukan sekarang adalah menyediakan cermin untuk kita bersama, melihat seberapa jauh wujud kecintaan kita terhadap kebiasaan membaca buku. Jadi, tahan beberapa saat untuk tidak berkedip!
Bagi Anda yang suka membaca buku mungkin akan berpikir bahwa orang-orang pembenci buku itu sedang tersesat dan terisolasi di daerah terpencil Antartika, tetapi kenyataannya tidak; mereka tinggal di antara Anda.
Namun, saya juga merupakan seorang pembenci buku garis keras pada awalnya. Ketika saya melihat orang-orang membaca buku, saya merasakan sesuatu yang membuat darah saya mendidih, dan itu terasa perih.
"Internet menyediakan semua informasi, untuk apa orang-orang itu tetap membaca buku?" pikir saya saat itu.
Kisah besar saya dimulai pada masa kelas 11 SMA. Saya mengalami apa yang orang-orang kenal sebagai "krisis identitas". Saya hidup seperti daun-daun yang berserah pada angin. Apa yang ada terlalu membingungkan hingga satu-satunya cara yang saya tahu hanyalah mengalir bersama arus.
Datanglah suatu malam yang dingin, di mana saya hanya diam berselimut di ranjang sambil menatap ponsel tanpa tujuan. Sesuatu yang menggelisahkan tiba-tiba melintas, "Apa makna hidup ini?"
Seperti yang telah lumrah dilakukan orang-orang, saya berselancar di browser untuk menemukan jawaban atas pertanyaan tadi. Setelah beberapa menit mencari, saya tiba di sebuah situs luar negeri.
Artikel tersebut membahas tentang arti kehidupan yang unik bagi setiap individu. Pada bagian akhir, penulis artikel mengutip kalimat dari sebuah buku yang sekaligus mendorong saya untuk membaca buku tersebut secara utuh.
Dan itulah buku pertama yang berhasil saya baca sampai selesai sepanjang hidup saya. Buku tersebut adalah "Man's Search for Meaning" karya Victor Frankl. Saya yakin banyak dari Anda yang mengetahui buku tersebut. Atau jika belum, saya merekomendasikannya.
Buku itu menjadi katalisator saya dalam membangun kebiasaan membaca buku. Dan apa yang saya dapatkan sungguh indah, bahwa buku telah mengantarkan saya pada pemahaman kehidupan yang sama sekali berbeda dari apa yang selama ini bercokol di pikiran saya.
Saya mulai menceritakan apa yang saya ketahui dari buku-buku yang saya baca kepada beberapa teman. Mereka terheran-heran melihat kepribadian saya yang berbalik, dan akhirnya bertanya-tanya, "Ada apa?"
"Buku. Luar biasa," hemat saya. Dan lalu beberapa dari mereka mulai histeris, "Ya Tuhan, mengapa saya benci membaca buku?"
Nah, berdasarkan pengalaman "sweet karma" tersebut, saya akan coba menganalisis mengapa banyak dari kita yang benci membaca buku. Tidak hanya itu, saya juga menawarkan akar masalahnya kepada Anda, dan bahkan sedikit proposal yang tidak membosankan.
Jadi, mari kita mulai.
Dan oh, selamat hari buku sedunia, pembaca.
Mengapa kita benci membaca buku?
Saya tidak tahu jawaban pasti terkait persoalan ini. Saya dan Anda punya pengalaman hidup yang berbeda, bahkan (hampir) mustahil untuk bisa dibandingkan. Itu berarti, apa yang melatarbelakangi kita belum tentu sama. Tapi, berikut adalah beberapa faktor yang membuat kita benci membaca buku (versi saya).
Pengalaman dengan buku yang membosankan
Saya punya alasan kuat tentang mengapa para pelajar kita memiliki minat baca buku yang rendah. Karena mereka hanya berhadapan dengan buku-buku yang "kaku". Dan mayoritas adalah buku-buku rujukan pembelajaran.
Saya tidak bermaksud mencemooh buku-buku terkait, tapi untuk bisa membangun kebiasaan membaca buku yang efektif, kita tidak disarankan untuk langsung melompati 3 anak tangga. Seperti halnya menaiki tangga, melangkahi satu per satu anak tangga membuat kita lebih nyaman.
Begitu pun dalam membaca, pelajar kita yang kebanyakan tidak punya latar belakang kebiasaan membaca buku harus langsung dihadapkan pada buku-buku rujukan pembelajaran yang bahasanya formal. Hal tersebut menjadi "kaku" untuk dimengerti dan membosankan untuk mereka.
Pada akhirnya, pelajar kita lebih suka buku-buku novel yang menceritakan kisah cinta remaja, dan sering kali berakhir tragis. Buku-buku tersebut lebih ramah untuk dipahami, apalagi dirasa erat kaitannya dengan hidup mereka.
Jika Anda tidak suka membaca, Anda belum menemukan buku yang tepat. -- JK Rowling
Tidak punya alasan untuk membaca
Jika Anda benar-benar peduli, ada banyak orang di dunia ini yang menjalani kehidupannya bagaikan kelelawar yang tertidur panjang di gua. Maksud saya, beberapa dari kita menjalani kehidupan untuk sekadar makan, tidur, dan tertawa. Dan buang air.
Rasa keingintahuan mereka beku, atau bahkan benar-benar mati. Mereka beranggapan bahwa hidup memang sudah adanya begitu, jadi tidak ada lagi yang harus dicari. Apa yang mereka ketahui dirasanya sudah cukup untuk bertahan hidup.
Dan pada dasarnya, mereka tenggelam dari peradaban. Ya, ini berasal dari sesuatu yang sepele: rasa tidak ingin tahu. Jadi, coba bangkitkan rasa ingin tahu Anda untuk membangun alasan kuat dalam membaca buku. Motivasi adalah api penyulut obor dari jiwa.
Terlalu banyak hal yang mengalihkan perhatian
Saya menjadi saksi sebuah tragedi mengerikan di mana dunia maya (yang pada dasarnya penuh kepalsuan) berhasil menghipnotis banyak orang agar mengalihkan dunia nyatanya ke sana.
Kita melihat orang-orang di sekitar kita begitu rajin menatap ponsel, memeriksa notifikasi setiap menit, dan kemudian merasa disibukkan dengan hal tersebut. Atau mungkin Anda adalah salah satunya (?)
Mereka merasa tidak punya waktu untuk membaca buku. Pesan dari doi dirasanya lebih penting daripada pengetahuan baru.
Atau orang-orang dewasa yang begitu sibuk dengan karier. Apa yang terlintas di pikiran mereka hanyalah seputar uang. Dan apa itu buku? "Buku hanyalah tumpukan kertas yang mencuri waktu Anda dalam mencari uang." Begitu pikir mereka.
Tidak tahu cara membaca buku dengan nyaman
Saya bertanya kepada beberapa teman tentang alasan mereka tidak suka membaca buku. Jawabannya cukup serupa: membaca buku membuat mereka mengantuk.
Dan alasan itu juga pernah tertanam dalam kacamata saya. Namun setelah berhasil membangun kebiasaan membaca buku, apa yang saya sadari adalah saya berhasil menemukan cara agar nyaman dalam membaca buku.
Saya tidak tahu apakah ini cocok untuk Anda, tapi saya biasa membaca buku sembari makan camilan, atau minum kopi dan semacamnya. Dan saya tidak sering membaca buku di kamar, apalagi di atas ranjang yang empuk.
Saya lebih sering membaca buku di tempat terbuka, tempat di mana semesta menatap saya dengan manis. Meskipun sulit untuk menemukan tempat seperti itu yang sunyi, tapi itu ampuh bagi saya untuk tidak mengantuk. Dan lagi, posisi duduk tegak dan menikmati adalah kuncinya.
Tapi Anda bisa menemukan cara Anda sendiri.
Keterampilan membaca tidak memadai
Anda tidak akan menyukai A jika Anda sendiri tidak tahu apa-apa tentang A. Atau setidaknya, Anda tidak tertarik dengan A jika Anda sulit memahami A. Pepatah "tak kenal, maka tak sayang" bisa berlaku dalam poin ini.
Dalam hal membaca, kemampuan membaca kita bisa berpengaruh terhadap kecintaan kita terhadap membaca itu sendiri. Jelas. Orang-orang yang "miskin kosakata" akan lebih sukar memahami buku-buku yang dibacanya.
Butuh waktu yang lebih lama bagi mereka untuk membaca, dan kemudian mereka bosan. Anda bisa mendengar mereka berbisik, "Sialan, aku benci dengan buku!"
Lingkungan yang tidak mendukung
Lingkungan pertama yang berperan vital dalam membangun kebiasaan kita adalah keluarga. Jika keluarga Anda bukanlah orang-orang pecinta buku, besar kemungkinan Anda pun juga tidak suka untuk membaca buku.
Hal yang sama juga berlaku dalam lingkungan teman. Jika teman-teman Anda lebih suka bermain media sosial, tentu Anda akan merasa malu kalau tidak mengikuti kebiasaan mereka. Jawaban "tidak" berarti pengasingan yang menyakitkan.
Dan bahkan lebih ironisnya lagi, Anda bisa jadi dibesarkan oleh guru-guru yang "berhenti membaca".
Belum pernah merasakan manfaatnya
Alasan yang kuat tidaklah cukup untuk membangun kebiasaan membaca buku. Alasan tersebut dapat dipatahkan oleh kenyataan bahwa Anda tidak mendapatkan apa pun dari membaca buku. Semua yang Anda baca hanyalah omong kosong.
Besar kemungkinan, saya tidak akan suka membaca buku kalau buku pertama yang saya baca tidak memberikan dampak apa pun terhadap kehidupan saya. Tapi nyatanya, buku itu seperti debu ajaib dari negeri dongeng.
Saya pun coba mencari buku-buku lain yang juga menarik. Saat itu saya membeli dua buku karya Mark Manson, dan saya semakin tergoda untuk lebih sering membaca buku.
Keterbatasan akses
Poin ini mungkin banyak dialami orang-orang, dan penangkalnya pun ada di depan hidung mereka. Saya sendiri sempat berhenti membaca buku selama sebulan karena tidak punya uang untuk membeli buku baru. Belum lagi perpustakaan yang lebih banyak menyediakan buku-buku "kaku".
Bahkan beberapa teman saya yang tidak suka membaca buku hanya berdalih dengan mudahnya, bahwa harga buku-buku terlalu mahal. (Padahal kuota internet yang mereka beli juga membuka akses untuk membaca.)
Bukan kebiasaan
Sesuatu yang tidak dibiasakan akan sulit untuk disukai. Iya?
Akar masalah
Dari semua poin tadi, saya menemukan satu penyebab yang statis, pasti, dan merupakan biang kerok dari semuanya.
Paradigma kita terhadap buku; itulah akar masalahnya.
Paradigma adalah cara kita melihat sesuatu, tetapi bukan berkaitan dengan tindakan melihat secara visual, melainkan berkaitan dengan persepsi, anggapan, asumsi, opini.
Paradigma kita, benar atau keliru, adalah sumber dari sikap dan perilaku kita, akhirnya sumber dari kebiasaan kita dalam menjalani kehidupan.
Jika Anda ingin memastikan proposal saya valid atau tidak, silakan baca kembali poin-poin tadi. Jika Anda benar-benar memikirkannya, Anda akan sampai pada sebuah jawaban bahwa semua itu berasal dari paradigma kita yang bengkok terhadap buku.
(Terlalu banyak basa-basi jika saya menguraikannya kembali dari awal. Dan ya, sekarang paradigma Anda akan berkata bahwa saya adalah seorang pelajar yang angkuh. Itu dia kekuatan dari paradigma.)
Apa yang harus kita lakukan?
Seorang anak SMP kelas 8 datang dan bertanya kepada saya saat kunjungan. Dia bertanya dengan wajah masam, "Bagaimana cara agar suka membaca buku? Saya merasa terlalu bodoh akhir-akhir ini."
"Apa buku yang sering kamu baca selama ini?" tanya saya.
"Buku paket pelajaran," jawabnya, "hanya itu."
"Tapi seberapa sering kamu bermain media sosial dan mengapa?"
"Sangat sering, karena banyak konten yang membuat saya tertawa."
Saya coba mendiagnosis paradigmanya dan saya menyimpulkan bahwa dia suka sesuatu yang bisa membuatnya terhibur hingga tertawa. Kemudian saya pergi dan mengatakan bahwa saya akan menemuinya lagi esok hari.
Ketika saya kembali, saya sudah menyiapkan satu cerpen yang saya tulis tentang misteri alam raya. Dan tentu saja, saya menyelipkan beberapa dialog lucu untuk memancing dia tetap duduk membaca.
Singkat cerita, pengalaman itu berlalu sekitar dua minggu. Dan pada hari yang cerah, dia menghubungi saya dan mengatakan bahwa dia sekarang sedang memperdalam ilmu astronomi. Misteri alam raya yang saya ceritakan membuatnya begitu penasaran tentang apa yang ada di atas sana.
Benang merah yang dapat kita tarik di sini adalah membangun rasa keingintahuan. Ini adalah langkah pertama dan penting untuk bisa mencintai buku. Tidaklah rasional apabila seseorang membaca buku tanpa diiringi rasa keingintahuan.
Para kutu buku adalah mereka yang haus akan pengetahuan bagaikan singa yang rindu pada makanannya.
Hal-hal lain yang dapat kita lakukan adalah membaca buku dengan cara asyik. Bagaimana melakukannya? Kembali lagi kepada standar masing-masing individu.
Dan mengapa itu penting? Karena itulah yang kita lakukan pada media sosial. Beberapa dari kita candu media sosial karena mereka merasa terhibur. Banyak konten-konten yang memancing mereka untuk tertawa.
Apalagi di masa pandemi ini. Setiap orang merasa stres dengan masalahnya, dan tertawa menjadi obat yang dicari.
Tapi, perlu digarisbawahi bahwa buku tidak disajikan sama seperti media sosial. Tidak semua buku mengandung gambar dan ilustrasi sebagaimana yang mewarnai media sosial. Dan karenanya banyak yang menganggap membaca buku itu membosankan, membuat mata perih.
Sebagian besar dari kita memposisikan buku sebagai sesuatu yang harus menghibur, mengabaikan prinsip yang paling mendasar dari keaksaraan.
Buku adalah keajaiban sastra.
Memang, buku-buku humor dapat menghibur Anda, tapi jendela dunia tidak berpusat pada hal semacam itu.
Membaca buku bukanlah pertunjukan. Bagaimana pun juga, tidak pada awalnya. Hanya sedikit yang bisa membuat kita tertawa terpingkal-pingkal. Jadi, jangan sekadar membolak-balik halaman dengan harapan menemukan tawa.
Anda bisa tertawa kapan pun dan karena apa pun.
Kita harus mulai menegakkan tujuan membaca dalam rangka pendidikan, suatu upaya untuk memperoleh pengetahuan. Ini bukan sekadar cara menjadikan kita pintar. Lebih dari itu, ini merupakan sebuah jerih payah untuk menjadi beretika dan beradab.
Anda tahu mengapa? Karena itulah yang membedakan kita dengan hewan.
Ya, selamat hari buku sedunia, sekali lagi. Selamat hari buku sedunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H