Shira sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah. Sepanjang jalan yang ia telusuri, orang-orang begitu sibuk, kiranya. Sebagian orang berjalan sekian cepatnya sembari membawa koper dengan seragam kantorannya. Beberapa kali mereka mengangkat sebelah tangannya untuk melihat waktu, seakan sudah terlambat menghadiri sebuah pesta. Setidaknya begitulah kelihatannya. Dan itu aneh bagi Shira. Ini 'kan menjelang sore, mengapa mereka seperti terburu-buru? Mungkin terlambat untuk sebuah acara sirkus.
Di sudut lain, orang-orang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Suara-suara bising dari ketukan palu meramaikan suasana perkotaan. Puluhan kendaraan berlalu-lalang setiap menitnya.Â
Cerobong di pabrik-pabrik itu memuntahkan kotorannya. Tetapi itu tak mengganggu hidung Shira, malahan aroma roti baru diangkat yang menyengat. Shira sangat suka dengan aroma khas ini. Hanya dengan mencium baunya saja, ia bisa meramalkan jenis roti apa yang baru saja diangkat oleh seorang koki di dapur toko-toko roti itu. Dan yang ini adalah roti panggang dengan selai cokelat, tebak Shira.
Ini masih belum terlalu sore, jadi Shira menyempatkan diri ke taman untuk duduk manis menikmati suasana kedamaian. Beberapa puluh tahun yang lalu, suasana seperti ini sangat sulit ditemukan. Barangkali hanya ada kebisingan suara pistol dan granat saat itu. Maka Shira tak mau menyia-nyiakan (sedikit) kedamaian ini.
Ia duduk di sebuah kursi kayu yang panjangnya 2 kali lipat dari tinggi badannya. Burung-burung Dara mendekati Shira, berharap anak gadis ini memiliki beberapa potong kecil roti atau sekeping kacang. Namun Shira tak menghiraukan burung-burung itu. Ia hanya menatap langit biru sedikit oranye yang menaungi kota Alodie.
Ajaib, pikirnya. Tuhan menciptakan alam raya seperti seorang pelukis. Dan betapa mudahnya melukis alam raya bagi-Nya. Apakah Tuhan membutuhkan penghapus saat melukis alam raya ini? Shira ragu; sebuah penghapus hanya digunakan anak-anak saat pertama belajar melukis.Â
Dan apakah Tuhan pernah kehabisan cat warna untuk memberikan kesan indah pada alam raya ini? Shira juga ragu; hanya pelukis pemula yang kehabisan cat warnanya. Yang Maha Agung pasti sudah mempersiapkan segala-galanya dengan rinci.
Awan-awan itu tak kalah menawan; sebagian tebal dan yang lain tipis sehalus kapas. Shira berpikir, apakah awan-awan juga pandai melukis?
Beberapa kali Shira melihat awan-awan terbang membentuk sesuatu. Terkadang seekor unicorn, kura-kura, ikan, bahkan wajah manusia. Dan yang ini seekor kelinci. Jika memang awan-awan itu pandai melukis, maka mereka pun juga hidup?
Di tengah kenikmatannya memandang sekitar, seorang pria dewasa dengan mantel hitam menghampiri Shira.
"Permisi, Nak? Boleh saya duduk di sini?" pinta pria dewasa itu dengan suara lembut sembari duduk di samping Shira. Aneh, padahal Shira belum menjawab apa pun.
"Tentu, Tuan!"
"Apa yang dilakukan seorang gadis kecil di taman tanpa teman?" tanya pria dengan sedikit berewok itu.
"Menikmati lukisan Tuhan," jawab Shira dengan polos sedikit senyum.
"Ah, cukup masuk akal. Bukankah Dia sangat handal dalam melukis semua ini?"
Shira mengangguk dengan tatapan ke langit. "Sangat rugi jika orang-orang melewatkan keindahan ini. Di pikiran mereka, sesuatu yang indah selalu uang atau sebongkah emas."
Pria itu menatap kagum Shira dengan senyuman. Siapa yang mengajari anak gadis ini berkata demikian?
"Kelas berapa?"
"Tiga SMP."
"Peringkatmu?"
"Mengapa aku harus menjawabnya?"
"Aku harap kamu sedikit mengerti dengan orang-orang dewasa."
"Maksud Tuan?"
"Ya, kami orang-orang dewasa sangat suka dengan angka, kamu tahu."
"Lalu kenapa Tuan bertanya tentang angka juga?"
"Tidakkah kamu melihat berewokku?"
"Iya juga, Anda seorang pria dewasa."
"Cukup menyebalkan menjadi orang dewasa," keluh pria itu dengan pandangan kosong ke tengah taman.
"Aku pikir juga begitu."
"Ya, orang-orang dewasa sangat suka dengan angka."
"Anda mengatakannya dua kali. Dan kenapa begitu?"
"Jika kamu menceritakan sebuah rumah yang bagus dengan dinding dari batu bata merah hati, bunga bermekaran di jendela dan burung merpati yang hinggap di atapnya, kemudian ... dan seterusnya. Orang-orang dewasa tak akan bisa membayangkan rumah itu."
Shira menatap heran pria sedikit kekar itu.
"Kita harus berkata begini, 'Aku baru saja melihat sebuah rumah, barangkali harganya mencapai 17 miliar,' dan mereka akan spontan menjawab, 'Waw, betapa bagusnya rumah itu!'"
"Ah, Anda sedikit menakjubkan untuk berkata jujur," gurau Shira sejenak tertawa sebelum melanjutkan.
"Jadi, kalau aku melihat sebuah mobil berwarna abu yang mungkin hanya muat 4 orang saja dan sedikit pendek, aku hanya harus mengatakan mobil itu seharga 2 miliar pada orang-orang dewasa. Begitu?"
"Kamu pasti peringkat 1 di kelas. Kamu sangat cepat belajar, Nak."
"Sepele saja, kurasa. Aku tak mau menjadi orang dewasa!"
Pria itu mengangguk. "Aku pun. Tetapi semua orang akan tumbuh dewasa."
"Hanya tubuhku yang akan tumbuh dewasa."
Pria itu terdiam mendengar gerutu padat dari Shira. Seorang anak gadis juga bisa berperan sebagai guru bagi orang dewasa.
"Beberapa hari yang lalu, aku melihat seekor ulat di dedaunan. Dan sekarang aku melihat seekor kupu-kupu yang indah sedang hinggap di bunga-bunga itu. Aku yakin ia adalah ulat yang kulihat sebelumnya," ungkap Shira sedikit haru.
"Ya, sangat luar biasa melihat ulat berubah menjadi kupu-kupu. Manusia berusaha menjelaskan proses itu, tapi pasti jauh lebih mudah dalam pandangan Tuhan."
"Alam raya adalah teka-teki akbar, 'kan? Dan jika sesuatu adalah teka-teki, kita tentu boleh sesedikit menebak-nebak."
"Kamu lebih mirip filsuf cilik, Nak," kagum pria itu. Ia melanjutkan, "Tuhan menganugerahi manusia pikiran dan penglihatan. Tetapi kita lebih mampu menggunakannya untuk menikmati alam raya ketimbang memikirkannya."
"Anda jauh lebih bijak, Tuan."
"Kamu pandai memuji untuk ukuran anak SMP."
Pria itu menunduk, mengambil batu berukuran separuh kepalan tangannya.
"Batu ini adalah potongan super kecil dari bumi."
"Benar juga," kagum Shira.
"Sesuatu yang besar selalu terdiri dari bagian-bagian kecil. Dan itu yang membuat batu ini sangat berharga. Kita adalah bagian kecil dari alam raya. Jadi tak ada alasan untuk tak mencintai diri sendiri."
"Ah, aku mengerti."
Hari semakin sore. Awan-awan itu perlahan berpencar sedikit membiarkan langit senja menunjukkan keindahannya. Ibu pasti sudah menunggu Shira; apalagi ia belum makan siang.
"Saya permisi pulang, Tuan. Ibuku pasti sedang menunggu."
"Ya, kamu sedikit nakal."
Shira tertawa lembut merasa tersindir oleh pria itu. Wajahnya sedikit memerah. Ia sedikit menundukkan kepalanya sejenak sebagai tanda hormat dan segera berjalan pulang menuju rumah.
"Aku sering ke sini. Anda bisa menemuiku di kursi yang sama lain waktu," teriak Shira seiring kakinya melangkah.
Gema azan Asar menemani Shira dalam langkahnya menuju rumah. Jaraknya dari sekolah ke rumah hanya sekitar 1 kilometer. Teman-temannya biasa pulang-pergi dengan sepeda. Namun bagi Shira, itu sama saja melewatkan banyak keindahan alam raya sepanjang perjalanannya.
Betapa ajaibnya sesuatu bisa muncul dari ketiadaan, pikir Shira. Dan alam raya akan selamanya menjadi misteri selama Tuhan belum menjelaskannya secara gamblang pada kita. Tetapi itulah keunikannya; hidup adalah tentang tidak mengetahui.Â
Kita seperti aktor yang tiba-tiba muncul dalam sebuah pertunjukan teater. Seorang sutradara sudah mempunyai skenarionya. Dan seiring waktu, para aktor perlahan tahu tentang peranannya. Tetapi tidak bagi mereka yang memainkan perannya tanpa akal.
10 Januari 2021
Muhammad Andi Firmansyah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H