"Kamu lebih mirip filsuf cilik, Nak," kagum pria itu. Ia melanjutkan, "Tuhan menganugerahi manusia pikiran dan penglihatan. Tetapi kita lebih mampu menggunakannya untuk menikmati alam raya ketimbang memikirkannya."
"Anda jauh lebih bijak, Tuan."
"Kamu pandai memuji untuk ukuran anak SMP."
Pria itu menunduk, mengambil batu berukuran separuh kepalan tangannya.
"Batu ini adalah potongan super kecil dari bumi."
"Benar juga," kagum Shira.
"Sesuatu yang besar selalu terdiri dari bagian-bagian kecil. Dan itu yang membuat batu ini sangat berharga. Kita adalah bagian kecil dari alam raya. Jadi tak ada alasan untuk tak mencintai diri sendiri."
"Ah, aku mengerti."
Hari semakin sore. Awan-awan itu perlahan berpencar sedikit membiarkan langit senja menunjukkan keindahannya. Ibu pasti sudah menunggu Shira; apalagi ia belum makan siang.
"Saya permisi pulang, Tuan. Ibuku pasti sedang menunggu."
"Ya, kamu sedikit nakal."