Biarkan Mereka Belajar dengan Lingkungannya Sendiri
Apa yang dipikirkan oleh orang tentang sebuah desa?
Kenapa masih banyak orang yang menilai desa lebih baik dari kota, atau kota lebih baik dari desa?
Bagaimana kita melihat yang buruk, dan baik pada pedesaan atau perkotaan?
Pendidikan kita saat ini membutuhkan perubahan yang besar. Kemendikbut dan Bapak Menteri kita telah mengupayakannya dengan istilah paradigma baru, dan dengan pemikiran KI Hajar Dewantara sebagai salah satu dasarnya.Â
Kenapa pemikiran Bapak Pendidikan ini yang diambil? Jawabannya mudah saja, yaitu karena buah pemikiran beliau tentang pendidikan masih sangat relevan hingga saat ini. Kenapa disebut relevan? Ya, karena pandangan beliau akan pendidikan melampaui masanya.
Pada teks Undand-undang Dasar 1945, cita-cita pendidikan berbunyi "mencerdaskan kehidupan bangsa." Lalu cerdas yang seperti apa yang dimaksud? Ialah kecerdasan yang dapat mengantarkan kita menuju merdeka.Â
Lalu apakah kita sudah memastikan, bahwa hari ini kita benar-benar merdeka? Bisaja jadi iya, bisa jadi tidak atau belum sama sekali.
Belajar memahami arti merdeka tidak cukup hanya dengan devinisi dari KBBI saja. Namun merdeka, juga bisa diartikan dalam arti yang berbeda. Bisa saja dalam arti yang umum dan meluas, atau malah sebaliknya.Â
Mungkin saja hari ini, kita masih terjebak dengan salah satu arti merdeka menurut kita sendiri, dan dari apa yang kita lihat bukan dari apa yang kita alami.Â
Merdeka tidak hanya mendapakan hak kita dalam berdaulat, bersosial, beragama, mencari penghidupan, dan lain sebagainya yang berupa fisik. Merdeka juga berarti meleluasakan pikiran untuk mengenal, memilih, dan memperdalam ilmu pengetahuan.Â
Memerdekakan pemikiran dapat kita asah dari sekolah, namun apakah sekolah tempat kita belajar dahulu atau sekarang telah melakukan hal itu? Atau jangan-jangan para guru sendiri tidak memerdekakan pikirannya, sehingga banyak ketimpangan yang tumbuh pada diri pelajar bahwa yang baik adalah yang seperti A, dan yang buruk adalah yang seperti B?Â
Mewarisi pemikiran A baik, dan B buruk adalah sebuah ketimpangan dalam metode belajar. Pelajar hanya akan menghafal jika A itu hal yang baik, dan B adalah lawan dari A sehingga tidak boleh dilakukan. Demikian itu akan berpengaruh pada pola pikir anak yang mudah menghakimi, atau menilai sesuatu itu dipandang buruk atau baik.Â
Mengenalkan siswa pada konsep buruk dan baik tanpa adanya ajakan siswa untuk ikut berpikir adalah cara yang terlalu mudah, dan tanggung bahkan terdengar krusial.Â
Memberikan instruksi kepada murid tidak cukup dengan kata jangan, malainkan juga memerlukan penjelasan. Bahkan kalau bisa, instruksi-instruksi tersebut tidak menggunakan kata "jangan" karena kalimat-kalimat perintah dengan kata ini bisa mengajarkan murid untuk mudah melakukan tindakkan otoriter, sepihak, mudah menilaik buruk dan baik tanpa melakukan justifikasi, dan tindakan-tindakan yang bersifat kekerasan.
Namun kalimat dengan kata "jangan" tidak seratus persen mempengaruhi murid dalam memutuskan mana yang baik dan mana yang buruk, karena ada pula dari faktor lain. Bahkan faktor ini terbilang sangat intim, karena terdapat dalam program sebuah sekolah.
Menilai adalah tindakan seseorang untuk mencari mana yang baik atau lebih baik. Menilai juga dapat menciptakan sebuah peringkat atau rangking, sehingga dalam peringat itu sesuatu hal dapat terlihat menonjol dan dapat dibanding-bandingkan.Â
Selain digunakan untuk mengisi buku rapor, menilai adalah hal alamiah yang dilakukan oleh manusia dalam menentukan pilihan. Namun banyak sekali steriotipe tentang sebuah penilaian yang terdengar sangat ganjil, akan tetapi telah lama dikonsumsi dan menjadi penyakit masyarakat.Â
Penyakit ini tidak hanya menjangkit para pejabat kita, ia juga menjangkit orang dewasa secara luas, bahkan telah sampai kepada anak-anak kita, remaja, atau murid-murid kita, dan lebih parahnya lagi penyakit ini telah sampai menjangkit guru-guru kita yeng memiliki kewajiban dalam menyebarkan kebaikan.Â
Suatu kasus menimpa sekolah di daerah perkotaan. Kasus ini bukan hanya persoalan untuk menilai mana yang baik, dan mana yang buruk. Sekaligus juga, kasus ini menjauhkan pelajar dari kodratnya sebagai mahluk yang hidup di tanah perkotaan.Â
Begitu pula sebaliknya, ada banyak kasus dari program sekolah di daerah-daerah pedesaan yang tidak hanya mengajarkan pelajaranya untuk mudah menilai baik dan buruk, namun sekaligus pula menjauhkan mereka dari tanah kelahiran mereka sendiri, kodratnya sebagai mahluk yang terlahir pada lingkungan, kondisi alam, dan budaya tertentu.Â
Salah satu contoh kasus yang terdapat pada sekolah-sekolah di perkotaan sampai saat ini masih marak kita jumpai. Program sekolah yang membawa siswa untuk melihat daerah lain dengan kondisi lingkungan, aktivitas, dan budaya yang lain pula justru sebenarnya menjauhkan anak dari kodratnya sendiri. Program sekolah semacam ini sering sekali kita temukan di daerah perkotaan.Â
Dengan membawa siswa-siswi mereka untuk mengenal daerah pedesaan dan ruang lingkup di dalamnya seperti pertanian, perternakan, dan aktivitas lain yang terdapat di dalamnya merupakan bentuk dari adanya sebuah keyakinan lama.Â
Keyakinan ini menyimpan steriotipe bahwa kehidupan di desa jauh lebih baik dari pada kehidupan di kota. Padahal mereka yang menggunakan teori ini tidak melakukan pengumpulan data atau justifikasi.Â
Steriotipe bahwa desa berisi orang-orang baik, dan kota berisi orang-orang jahat seolah-olah terus melekat pada diri kita untuk melakukan pilihan. Dan pilihan tersebut telah mengantarkan guru-guru kita di daerah perkotaan untuk memilih desa sebagai media belajar siswa dalam memahami hal yang baik, dan menjauhkan hal yang buruk. Padahal dalam kenyataannya murid-murid kita telah dijauhkan dari lingkungannya sendiri.Â
Keyakinan akan adanya perbedaan antara kota dan desa pada program sekolah yang menjauhkan kodrat anak dari lingkungan perkotaan ini menuntut siswa untuk mempelajari hal-hal yang dianggap baik di desa, padahal di kota juga banya hal-hal baik yang dapat dipelajari.Â
Dengan adanya program semacam ini daerah perkotaan tempat siswa tinggal tersebut di pandang satu sisi. Pernak-pernik hiburan, dan kemewahan adalah sisi yang paling terlihat.Â
Sementara sisi yang lain menjadi tidak tersentuh oleh para guru untuk dijadikan nilai edukasi. Masjid yang menggemakan suara adzan di setiap waktu, keberagaman, orang-orang kantor yang dengan rajin dan disiplin mengatur waktu, pedagang yang dengan ramah senyum melayani pelanggannya, dan para sopir taksi yang tabah menunggu penumpang di pelataran mall adalah orang-orang dari sisi lain yang tidak terjamak oleh pendidikan untuk diambil nilai edukasi.Â
Efek hal ini terjadi berkepanjangan, mungkin diantaranya telah kita rasakan dari dahulu hingga saat ini misalnya seperti gorong-gorong mampet dan hilang fungsinya, malah masih banyak jalanan yang tidak dilengkapi dengan gorong-gorong, daerah resapan air berkurang, tanah perkotaan semakin dekat dengan air laut, bencana banjir mengancam warga setiap tahun, dan masih banyak masalah lain yang terjadi di perkotaan akibat para pelajar kita dijauhkan dari kodrat alamnya.Â
Tidak ada pemuda kita yang bercita-cita kalau suatu saat nanti kali Ciliwung bakalan menjadi bersih dan dapat dimanfaatkan sebagai sarana transportasi, tidak ada pemuda kita yang bermimpi jika suatu saat nanti sepanjang jalan Cinere dan Sawangan tidak ada kemacetan lagi, bahkan tidak ada pemuda kita yang bercita-cita jika suatu saat nanti kota Bekasi kembali menjadi hijau, dan ketiadaan ini bermula akibat kita dijauhkan dari kodrat alam kita sendiri.
Serupa akan tetapi tidak sama, beginilah nasib pelajar dan masa depannya, warga kota dengan warga desa. Kebalikan dari nasib pelajar di kota, di desa program yang menjauhkan pelajar dari kodrat alamnya tentunya ada bahkan masih banyak, namun dengan sebab akibat yang berbeda bentuk.Â
Jika program studi wilayah dari kota ke desa berdapak kepada sikap warga kota yang apatis dan tidak mengenal masalah di lingkungannya sendiri. Maka yang terjadi di desa adalah sebaliknya. Banyak pemuda yang setelah lulus SMA lebih memilih untuk bekerja di kota. Meskipun ada juga yang mencari pendidikan lebih lanjut di kota, namun ujung-ujungnya mereka tetapi jauh dari desanya sendiri.Â
Setelah bergelar sarjana, mereka akan sibuk mencari penghidupan di kota dari pada pulang ke kampung halamannya sendiri dan menggunakan pengetahuannya untuk memecahkan masalah kemanusiaan di sana.Â
Semua ini terjadi oleh karena adanya narasi bahwa kehidupan di kota jauh lebih menjanjikan dari pada tetap tinggal di desa. Mungkin saja narasi tersebut tersampaikan dari mulut guru-guru kita yang dengan semangat menceritakan pengalamannya menuntut ilmu.Â
Bermaksud memberikan motivasi kepada kaula muda generasi bangsa, justru setiap cerita dari kota memberikan daya tarik bagi siapa saja yang mendengarnya untuk hijrah dan menjadi salah satu saksi peradaban kaum urban.Â
Mungkin saja kita sebagi guru kerap sadar atau lupa, bahwa setiap penjelaskan kita memberika penegasan tentang bidang keilmuan di barat. Mungkin saja kita dengan sengaja mengajarkan kepada murid-murid, bahwa kemajuan adalah milik mereka yang tinggal di kota bukan di desa. Atau mungkin saja, sebagai orang tua mungkin kita pernah memberikan nasihat yang kejam kepada mereka, seperti berkata "jika kau malas belajar nasibmu akan sama seperti tukang sapu itu."Â
Padahal alangkah lebih baiknya jika kita pernah mengatakan "tukang sapu itu sangat mulia, di bekerja membersihkan jalanan, kita harus menghormatinya" kepada anak-anak kita sehingga tertanam sebuah pilihan untuk menganggap semua hal bernilai positif dari pada negatif.Â
Jangan sampai kita menjadi salah satu orang yang mengatakan "kalau kau tidak punya ijazah, kau mau jadi apa?" atau "belajarlah yang rajin jika tidak ingin menjadi penerus keluarga tukang bakso" karena kedua kalimat ini sangat tidak menghormati bagi beberapa jenis pekerjaan, dan menjauhkan murid kita dari segala kemungkinan yang baik.Â
Sebab saat ini orang belajar hanya untuk mendapatkan ijazah yang padahal tanpa ijazah kita bisa menjadi pengusaha bukan karyawan perusahaan. Dan mungkin saja dengan kita pandai membuat bakso kemudian menjualnya suatu saat berkat usah dan kerja keras yang matang, bakso yang kita buat telah bercabang-cabang. Jika kita sepakat dengan arti kata merdeka, maka biarkanlah pelajar kita merdeka untuk berpikir!
Selanjutnya, siapa yang akan mengaku salah? Tidak ada. Siapa yang bilang semua yang telah terjadi salah? pasti pula tidak ada, atau lebih tepatnya tidak mau mengaku salah, dan pamali menyalah-nyalahkan orang lain. Karena steriotipe telah muncul begitu saja di tengah-tengah masyarakat kita, bukan hanya di kota, bahkan ia juga menjamur di desa.Â
Menghasilkan pemuda-pemudi yang siap hijrah ke tanah rantauan meninggalkan kampung halaman, atau orang-orang kota yang membiarkan tanah perkotaan setiap tahunnya bergelimpangan air laut. Kita boleh menilai segala sesuatu untuk mudah memberikan keputusan, akan tetapi berilah keputusan karena kita memiliki pertimbangan yang falid berdasarkan bukti dan fakta bukan penilaian yang serampangan.Â
Bukan hanya guru di sekolah yang bertugas untuk mengembalikan ke adaan ini, akan tetapi juga kita semua. Karena kita pasti sudah mulai bermimpi jalanan di kota kembali lancar, gelandangan berkurang, dan perumahan kumuh mulai menjadi perumahan layak huni bagi mereka yang membutuhkan.Â
Kita yang hidup di desa juga pastinya mulai bermimpi, lapangan pekerjaan semakin memadahi, tidak ada lagi pemuda yang merantau, desa semakin maju dengan pemudanya yang berinovasi tinggi. Entah di bidang pertanian, perternakan, dan hal-hal lain yang mendukung SDM di desa menciptkan produk dari hasil bumi mereka.
Jika semua mimpi ini benar, maka janganlah jauhkan mereka dari kodrat alamnya agar mereka semakin dekat dengan dirinya sendiri dan untuk sesama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H