Salah satu contoh kasus yang terdapat pada sekolah-sekolah di perkotaan sampai saat ini masih marak kita jumpai. Program sekolah yang membawa siswa untuk melihat daerah lain dengan kondisi lingkungan, aktivitas, dan budaya yang lain pula justru sebenarnya menjauhkan anak dari kodratnya sendiri. Program sekolah semacam ini sering sekali kita temukan di daerah perkotaan.Â
Dengan membawa siswa-siswi mereka untuk mengenal daerah pedesaan dan ruang lingkup di dalamnya seperti pertanian, perternakan, dan aktivitas lain yang terdapat di dalamnya merupakan bentuk dari adanya sebuah keyakinan lama.Â
Keyakinan ini menyimpan steriotipe bahwa kehidupan di desa jauh lebih baik dari pada kehidupan di kota. Padahal mereka yang menggunakan teori ini tidak melakukan pengumpulan data atau justifikasi.Â
Steriotipe bahwa desa berisi orang-orang baik, dan kota berisi orang-orang jahat seolah-olah terus melekat pada diri kita untuk melakukan pilihan. Dan pilihan tersebut telah mengantarkan guru-guru kita di daerah perkotaan untuk memilih desa sebagai media belajar siswa dalam memahami hal yang baik, dan menjauhkan hal yang buruk. Padahal dalam kenyataannya murid-murid kita telah dijauhkan dari lingkungannya sendiri.Â
Keyakinan akan adanya perbedaan antara kota dan desa pada program sekolah yang menjauhkan kodrat anak dari lingkungan perkotaan ini menuntut siswa untuk mempelajari hal-hal yang dianggap baik di desa, padahal di kota juga banya hal-hal baik yang dapat dipelajari.Â
Dengan adanya program semacam ini daerah perkotaan tempat siswa tinggal tersebut di pandang satu sisi. Pernak-pernik hiburan, dan kemewahan adalah sisi yang paling terlihat.Â
Sementara sisi yang lain menjadi tidak tersentuh oleh para guru untuk dijadikan nilai edukasi. Masjid yang menggemakan suara adzan di setiap waktu, keberagaman, orang-orang kantor yang dengan rajin dan disiplin mengatur waktu, pedagang yang dengan ramah senyum melayani pelanggannya, dan para sopir taksi yang tabah menunggu penumpang di pelataran mall adalah orang-orang dari sisi lain yang tidak terjamak oleh pendidikan untuk diambil nilai edukasi.Â
Efek hal ini terjadi berkepanjangan, mungkin diantaranya telah kita rasakan dari dahulu hingga saat ini misalnya seperti gorong-gorong mampet dan hilang fungsinya, malah masih banyak jalanan yang tidak dilengkapi dengan gorong-gorong, daerah resapan air berkurang, tanah perkotaan semakin dekat dengan air laut, bencana banjir mengancam warga setiap tahun, dan masih banyak masalah lain yang terjadi di perkotaan akibat para pelajar kita dijauhkan dari kodrat alamnya.Â
Tidak ada pemuda kita yang bercita-cita kalau suatu saat nanti kali Ciliwung bakalan menjadi bersih dan dapat dimanfaatkan sebagai sarana transportasi, tidak ada pemuda kita yang bermimpi jika suatu saat nanti sepanjang jalan Cinere dan Sawangan tidak ada kemacetan lagi, bahkan tidak ada pemuda kita yang bercita-cita jika suatu saat nanti kota Bekasi kembali menjadi hijau, dan ketiadaan ini bermula akibat kita dijauhkan dari kodrat alam kita sendiri.
Serupa akan tetapi tidak sama, beginilah nasib pelajar dan masa depannya, warga kota dengan warga desa. Kebalikan dari nasib pelajar di kota, di desa program yang menjauhkan pelajar dari kodrat alamnya tentunya ada bahkan masih banyak, namun dengan sebab akibat yang berbeda bentuk.Â
Jika program studi wilayah dari kota ke desa berdapak kepada sikap warga kota yang apatis dan tidak mengenal masalah di lingkungannya sendiri. Maka yang terjadi di desa adalah sebaliknya. Banyak pemuda yang setelah lulus SMA lebih memilih untuk bekerja di kota. Meskipun ada juga yang mencari pendidikan lebih lanjut di kota, namun ujung-ujungnya mereka tetapi jauh dari desanya sendiri.Â