Merdeka tidak hanya mendapakan hak kita dalam berdaulat, bersosial, beragama, mencari penghidupan, dan lain sebagainya yang berupa fisik. Merdeka juga berarti meleluasakan pikiran untuk mengenal, memilih, dan memperdalam ilmu pengetahuan.Â
Memerdekakan pemikiran dapat kita asah dari sekolah, namun apakah sekolah tempat kita belajar dahulu atau sekarang telah melakukan hal itu? Atau jangan-jangan para guru sendiri tidak memerdekakan pikirannya, sehingga banyak ketimpangan yang tumbuh pada diri pelajar bahwa yang baik adalah yang seperti A, dan yang buruk adalah yang seperti B?Â
Mewarisi pemikiran A baik, dan B buruk adalah sebuah ketimpangan dalam metode belajar. Pelajar hanya akan menghafal jika A itu hal yang baik, dan B adalah lawan dari A sehingga tidak boleh dilakukan. Demikian itu akan berpengaruh pada pola pikir anak yang mudah menghakimi, atau menilai sesuatu itu dipandang buruk atau baik.Â
Mengenalkan siswa pada konsep buruk dan baik tanpa adanya ajakan siswa untuk ikut berpikir adalah cara yang terlalu mudah, dan tanggung bahkan terdengar krusial.Â
Memberikan instruksi kepada murid tidak cukup dengan kata jangan, malainkan juga memerlukan penjelasan. Bahkan kalau bisa, instruksi-instruksi tersebut tidak menggunakan kata "jangan" karena kalimat-kalimat perintah dengan kata ini bisa mengajarkan murid untuk mudah melakukan tindakkan otoriter, sepihak, mudah menilaik buruk dan baik tanpa melakukan justifikasi, dan tindakan-tindakan yang bersifat kekerasan.
Namun kalimat dengan kata "jangan" tidak seratus persen mempengaruhi murid dalam memutuskan mana yang baik dan mana yang buruk, karena ada pula dari faktor lain. Bahkan faktor ini terbilang sangat intim, karena terdapat dalam program sebuah sekolah.
Menilai adalah tindakan seseorang untuk mencari mana yang baik atau lebih baik. Menilai juga dapat menciptakan sebuah peringkat atau rangking, sehingga dalam peringat itu sesuatu hal dapat terlihat menonjol dan dapat dibanding-bandingkan.Â
Selain digunakan untuk mengisi buku rapor, menilai adalah hal alamiah yang dilakukan oleh manusia dalam menentukan pilihan. Namun banyak sekali steriotipe tentang sebuah penilaian yang terdengar sangat ganjil, akan tetapi telah lama dikonsumsi dan menjadi penyakit masyarakat.Â
Penyakit ini tidak hanya menjangkit para pejabat kita, ia juga menjangkit orang dewasa secara luas, bahkan telah sampai kepada anak-anak kita, remaja, atau murid-murid kita, dan lebih parahnya lagi penyakit ini telah sampai menjangkit guru-guru kita yeng memiliki kewajiban dalam menyebarkan kebaikan.Â
Suatu kasus menimpa sekolah di daerah perkotaan. Kasus ini bukan hanya persoalan untuk menilai mana yang baik, dan mana yang buruk. Sekaligus juga, kasus ini menjauhkan pelajar dari kodratnya sebagai mahluk yang hidup di tanah perkotaan.Â
Begitu pula sebaliknya, ada banyak kasus dari program sekolah di daerah-daerah pedesaan yang tidak hanya mengajarkan pelajaranya untuk mudah menilai baik dan buruk, namun sekaligus pula menjauhkan mereka dari tanah kelahiran mereka sendiri, kodratnya sebagai mahluk yang terlahir pada lingkungan, kondisi alam, dan budaya tertentu.Â