Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Cerpen: Gelang Sakti

26 Maret 2022   10:00 Diperbarui: 9 Maret 2023   07:56 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahukah kau ibuku, aku ingin sekali mengutuk diriku yang tak pernah dapat memberikanmu waktu. Minggu demi minggu uang darimu mulai habis, dan satu bulan telah berlalu. Tidak ada kabar apa-apa dari kampung halaman dan dari engkau. Akupun tak bisa memberikan kabar apa-apa sebab tak mungkin aku katakan keadaanku yang sulit. Tidak ada pekerjaan yang datang kepadaku lantas aku sempatkan diri berkeluh kesah kepada salah seorang kawan untuk mencari pinjaman. Kepada kawan itu aku justru mendapatkan sebuah tanggung jawab yang aku sendiri tak mau mendapatkannya. Demi engkau ibu, aku tak mau mengeluh sekalipun aku tak mengerti rencana apa yang Tuhan berikan kepadaku. 

Besoknya kawanku yang bernama Darno itu kembali datang kepadaku memberikan selembar naskah untuk aku jadikan pertunjukan. Lalu dengan mudahnya aku terima. Aku teringat kalimat halus mu "Ilmu hadir dalam tubuhmu menjadi sebuah tanggung jawab, maka kerjakanlah". Pikirku, tidak ada lagi yang dapat aku kerjakan maka aku terima posisi sutradara itu. 

Terhitung tiga bulan yang telah lewat, sewa kontrakan semakin menumpuk dan terpaksa harus aku tinggalkan. Lantas aku hidup menumpang dari satu kos menuju kos seorang kawan yang lain. Dari pagi sampai siang aku tak berhenti mencari harapan untuk segera mendapat pekerjaan. Lalu aku ajak para aktor berlatih di sore hari sampai menjelang tengah malam. Sampai akhirnya aku dapatkan posisi guru pada bulan Januari. Di tengah-tengah proses pementasan aku telah mempunyai banyak murid dan aku belajar melatih kesabaranku sendiri, sama seperti sabarnya kau terhadapku ibu. Memang tak seberapa upah menjadi seorang guru, dan memang tak bernilai uang menjadi seorang sutradara pertunjukan. Tapi inilah tanggung jawabku yang baru, yang menyita waktuku, yang tentu saja semakin membuatku jauh darimu. Aku tak tahu apa rasanya menahan rasa sakit pada tubuhmu itu, aku sibuk sendiri dengan pekerjaanku. Sementara engkau jauh di sana menahan rasa sakit yang entah apa obatnya. 

Pada pukul siang selepas selesai mengajar, ponselku berdering menerima panggilan dari kampung halaman. Barita berisi keadaanmu membawaku tak tahan diri menahan jarak dan kesabaran. Lantas aku beranikan menyusulmu lalu membatalkan rencana latihan dan meminta izin sekolah untuk tidak mengajar. Sesampainya diranjangmu aku jumpai tubuhmu kurus kerontang tak segar lagi seperti terakhir bertemu. Keriput bagai kain membalut ranting kayu. Aku tak tahan lagi menahan banjir pada kelopak mataku, jatungku teriris pisau tumpul yang tak selesai memotong-motong dan mencincang daging penuh dosa ini. Dalam tubuh yang tak berdaya itu kau sempatkan diri membelai wajahku dengan penuh kelembutan. Engkau berusaha membuatku kembali tegar. Padahal kau sendiri tak berdaya dengan tubuh itu. 

"Jangan khawatirkan ibu, pergilah! Banyak tanggung jawab yang telah kau tinggalkan. Pergilah!". Engkau lebih mementingkan apa yang menjadi urusanku diluarsana tanpa kau melihat keadaan dirimu sendiri. Kalimatmu begitu merintih dan lemas, pertanda sakitmu kian ganas namun kau menyuruhku pergi.

Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan, pun aku juga tak tahu lagi apa yang harus direncanakan. Aku terima pengusiran itu entah apa dan kenapa aku melakukannya. Pikiranku semakin bingung melihat keadaan yang semakin sulit dan kacau. Aku taiki bus dengan perasaan mengganjal, sampai kembali aku jejaki tanah ibu kota. Aku sempat berjalan kaki berkilo-kilo meter hingga hampir jatuh pingsan karena tidak ada lagi angkutan umum yang liwat juga karena bus sampai ke ibu kota dalam keadaan terlambat. Belum lagi berjam-jam aku menunggu kawan membukakan pintu kosnya untuk menampung tubuhku. Hampir saja aku terkena deman karena semalaman di luar. Lantas aku mengklaim bahwa kejadian ini adalah ganjaran bagi anak yang tak tahu budi sepertiku. Meninggalkan dirimu dalam keadaan sakit di sana. Kala itu aku merasa sangat berdosa ibu.

Baru tiga hari aku memulai kembali bergulat dengan murid-muridku di sekolah tetapi kabar buruk kembali membawaku untuk bergegas menujumu dan tahukah kau ibu, aku tak ingin lagi dengar kalimat lemah mengusir dari mulutmu. Aku akan tetap menjagamu meskipun kau suruh aku pergi, meskipun sekolah menggantikanku dengan guru baru, meskipun pementasan harus aku undur lain waktu atau digantikan pula posisiku, aku akan tetap bersamamu. Di dalam bus menuju perjumpaanku denganmu, aku ingat bagaimana tubuh lemasmu menyentuh ranjang itu, sekarat dan tak berdaya. Bahkan untuk merubah posisi tidurmu saja engkau tak bisa. Kelenjar getah bening pada pingganmu terlihat begitu besar dari kepalamu sendiri, siapa yang tak menangis melihat keadaamu. Kenapa mudahnya kau katakan kepadaku untuk tetap bertabah. Ketabahan tak pernah datang dengan kata-kata. Apalagi kedua mataku ini telah telanjur melihat pahit perjuanganmu. Aku rindu pelukmu dengan tubuh segar dan hangat seperti dahulu. 

Selama perjalanan menuju kehadapanmu, aku kembali mendapatkan hukuman. Entah sudah berapa jam aku menahan kencing akibat perjalanan tanpa henti ini. Supir sialan itu tak membawa bus menuju rest area. Ia mungkin mendapat bisikan dari Tuhan untuk memberikan pelajaran kepadaku. Rasanya sakit sekali menahan kemaluan yang hampir meledak itu, lantas aku memberanikan diri untuk nekat melakukan sesuatu. Aku menyudahinya dengan memanfaatkan botol untuk penampungan. Sebelum melakukannya aku sempatkan diri memastikan keadaan sekitar dan ku dapatkan posisi aman di belakang. Didekat pintu belakang bus persis di anak tangga masuk bus. Aku membuang kencing itu di sana pada sebuah lubang botol dan menikmati rasa linunya. Setelah selesai dan lega aku kembali duduk di kursi pesananku. Tak sampai aku lupa dengan perbuatanku barusan, pada tanggal sebelas februari pukul sebelas malam bibi dari rumah sakit mengirim pesan singkat yang berisi "mamahmu sudah dijemput Tuhan".

Hari demi hari hidupku semakin sulit ditinggal kepergian. Upah dari mengajar sedikit-demi sedikit aku sisihkan untuk membayar hutang sewa kontrakan, juga hutangku kepada kawan. Cukup panjang aku berpuasa sampai diriku selesai menunaikan tanggung jawabku. Pernah suatu hari aku tak sanggup berdiri kembali, ingin rasanya aku sudahi hidupku di ibu kota, berhenti menjadi guru dan gugur sebagai sutradara. Tapi nasehatmu selalu kembali dalam ruangan kamarku yang menggemakan hening. "Ilmu hadir dalam tubuhmu menjadi sebuah tanggung jawab, maka kerjakanlah"  menyurhku kembali tegak berjalan. 

Lembaran kertas di atas meja kerja, menghabiskan lelah pada setiap kata, menyusun alur demi alur cerita fantasi, di mana sebuah masa merindukan waktu yang telah lalu. Dengan perasaan luka dan rindu, aku panjatkan doa disetiap pertemuan waktu. Kesedihan selalu membekas kepada yang ditinggalkan, dan yang pergi tak selamanya menangis dalam perjalanan. Dua ibuku lenyap tertelan liang kubur, menghukum semua memori yang terekam dalam kata-kata perpisahan. Kedua mataku menyaksikan kejadian itu, saat engkau merintih dalam lupanya harapan oleh rasa sakit, lantas ku panjatkan doa agar segera yang maha memberikan hidup menyudahi penderitaan itu. Tak ku sangka Ia mengabulkan permohonanku untuk segera mengambil nyawamu sebelum aku tiba di sana. Maafkan aku ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun