GELANG SAKTI
Sore itu menjadi waktu yang suram bagi bocah kecil bernama Fauzan. Ia duduk di pinggir lapangan melihat teman sebayanya bermain bola. Bocah ingusan berusia lima tahun itu diteman balita bernama Fitri yang sedang bermain dengan imajinasinya.
Fitri baru berusia tiga tahun dan ia sedang menikmati sore itu bersama saudaranya yang bernama Faizal. Bagi Fauzan dan Faizal bermain sepak bola adalah hal yang menyenangkan. Namun mereka berdua kali ini hanya menjadi penonton biasa saja.
Di tengah keseruan menonton bola Fauzan dan Faizal sempat bergurau. Tiba-tiba si gadis kecil bernama Fitri tersebut menangis kencang lantas Faizal bergegas memburunya dibantu Fauzi dan membawa Fitri pada ibunya.Â
Beberapa menit kemudian Fauzan dan Faizal kembali duduk di pinggir lapangan menikmati keseruan anak-anak bermain sepak bola dengan harapan akan ada salah seorang dari mereka yang menginginkan kedua bocah ingusan itu untuk turun ke lapangan.Â
Tiba-tiba tendangan tanpa arah menuju tempat mereka duduk, bola itu melayang dengan cepat menghantam wajah Fauzan sampai terjungkal. Fauzan yang marah lantas naik pitam berniat menendang kembali bola tersebut ke tengah lapangan. Namun tendangan tidak akurat dan tanpa perhitungan itu mengenai wajah Fauzi yang tengah memintanya.Â
Seluruh anak-anak menyaksikan kejadian itu lalu mereka melepaskan tawa sampai terbahak-bahak. Anak yang berusia dua belas tahun itu tidak menggubris dan tidak pula ia ikut marah, karena ia menganggap bocah ingusan itu bukanlah lawannya. Kemudian dengan wajah sedikit malu Fauzi melanjutkan kembali permainan sepak bolanya.
Ketika Fauzan dan Faizal sedang asik dalam penantiannya dari kejauhan terdengar ibunya Fitri memanggil-manggil Faizal sambil setengah berlari.Â
"Kamu lihat gelang milik Fitri tidak? kan tadi kamu main sama dia," ucapnya sambil tersengal-sengal.
"Oh iya, aku lihat Fitri memakai gelang. Tapi... " jawab Faizal sambil mengingat-ingat.
"Tapi apa?" tanya ibu muda itu kepadanya setengah ragu. Dalam ingatannya itu Faizal pernah melihat Fitri memakai gelang berwarna emas saat baru tiba di tepi lapangan.Â
Namun ketika ia mengembalikan gadis kecil itu kepada ibundanya bocah ingusan itu tidak lagi melihat Fitri mengenakan gelang yang sama. Lebih tepatnya Faizal tidak melihat apa-apa pada pergelangan tangan Fitri. Perempuan muda beranak satu itu memang tengah mencurigai Faizal yang sedari tadi menjaga buah hatinya. Namun ia tak melihat Faizal menyimpan kebohongan dari wajah lugunya.Â
Lantas ia memutuskan untuk mencari gelang tersebut di antara rumput. Faizal pun ikut membantu mencarikannya. Sementara Fauzan terbengong-bengong melihat peristiwa di depannya itu.
Gelang berwarna emas tak kunjung juga dapat ditemukan. Lambat menit demi menit keadaan menjadi berubah, anak-anak memutuskan untuk berhenti bermain sepak bola. Melihat ibunya Fitri sibuk mengais-ngais rumput mengundang tanya pada kepala orang-orang dewasa yang berlalu lalang di sana.Â
"Kamu tidak melihatnya?" Tanya seorang laki-laki dewasa berusia dua puluh lima tahun kepada salah seorang bocah.
"Dia tadi sudah bilang tidak melihatnya," jawab perempuan muda beranak satu itu sambil melihat ke arah Faizal.
"Maksudku bocah yang ini," Laki-laki itu menunjuk Fauzan.
Fauzan yang sempat terbengong-bengong akhirnya coba ikut campur mencari keberadaan gelang tersebut. Ia lantas memberikan alibi bahwa memang benar bocah ingusan itu sempat melihat Fitri mengenakan gelang berwarna emas.Â
Tapi bagi Fauzan sendiri ingatannya akan gelang tersebut seperti samar-samar. Entah si gadis kecil memakainya atau tidak ia pun masih ragu. Namun seklias samar-samar itu nampak nyata bahwa benar Fitri memang mengenakannya.Â
Fauzan kembali mengingat peristiwa sebelum gadis kecil itu menangis dan ia mendapatkan ingatan kalau si gadis sempat bercanda dengannya. Alibinya sontak membuat perhatian orang-orang termasuk ibunya sendiri. Entah mengapa orang-orang berharap lebih kepada bocah ingusan itu. Bahkan ibunya pun turut menekan Fauzan agar segera mengatakan sesuatu.Â
"Aku tahu!" teriak salah seorang bocah dari tengah lapangan. Sahut Fauzi mencoba memberikan bantuan. Kata tahun yang ia maksud bukan bermakna benar-benar tahu.Â
Ia hanya memberikan alibi saja kalau benar si gadis kecil memakai gelang tersebut. Ia sendiri sempat menolong Fitri saat ia terjatuh dan kemudian menangis. Fauzi mengeklaim melihat benda itu di tangannya saat si gadis menangis. Tentunya alibi itu memberikan tuduhkan kepada Faizal yang mengajaknya pulang. Keadaan menjadi semakin runyam ditambah kehadiran ibunda Faizal yang datang menangkis tudingan.Â
"Jangan tuduh anak sekecil ini. Ia selalu mengatakan sesuatu dengan jujur," pungkas ibunda Faizal membela.
"Tunggu dulu," teriak Fauzan di tengah keganjilan. Tubuh bocah ingusan itu gemetar melihat keramaian yang menangkap tubuhnya. Fauzan kemudian menarik tubuh Faizal dan mengajaknya berbicara. Orang-orang yang melihat tingkah laku Fauzan mendadak terdiam.Â
Sementara ibunda Fitri kembali melayangkan kalimat berisi pertanyaan yang sama kepada Fauzi untuk meminta kepastian, apakah benar kalau buah hatinya itu masih memakai gelang yang sama sampai ia pulang ke rumah.Â
Di tengah-tengah percakapan antara ibundanya Fitri dan Fauzi untuk meyakinkan keadaan Fauzan berterikan sambil mendorong tubuh Faizal sampai terjatuh. Mereka berdua saling bertengkar satu sama lain menjadikan keadaan semakin runyam. Lantas Fauzan dan Faizal menangis kencang sejadi-jadinya. Mereka berdua pun ditarik ibundanya masing-masing untuk menyudahi pergulatan sengit itu.
Semua orang terpaksa membubarkan diri karena waktu hampir menuju magrib. Tinggal ibundanya Fitri seorang diri menahan Fauzi di lapangan untuk kembali mengorek keterangan. Namun jawaban bocah belasan tahun itu masih saja sama tidak berubah dan itu artinya tidak ada pencerahan.Â
Adzan magrib menggema seantero desa. Orang tua, pemuda, dan anak-anak berlalu lalang menuju musala. Mereka bersujud dengan hikmat mengagungkan keberadaan Tuhan seolah kejadian sore tadi sesaat lenyap begitu saja. Namun tidak pada bibir ibu-ibu sepulang sembahyang. Mereka membicarakan kejadian tadi sore tentang gelang berwarna emas yang hilang itu.Â
Beberapa di antaranya menyudutkan ibundanya Fitri yang gegabah. Sementara ibu-ibu yang lainnya berspekulasi kalau salah satu dari anak-anak itu telah mengambilnya.Â
Di tengah malam selepas isya ibunda Fitri berencana untuk mengumpulkan ketiga bocah ingusan itu. Adalah Fauzan, Fauzi dan Faizal yang tengah gemetar menghadapi wajah ibu muda itu. Pertemuan itu terjadi di aula desa, dihadiri para saksi dan para orang tua anak-anak. Tak luput juga Pak Rt. hadir sebagai pemimpin. Mereka kembali dimintai keterangan dengan pertanyaan yang sama.Â
Tentu saja anak-anak menjawabnya dengan jawaban yang hampir persis sama tapi tak berubah makna. Ibunda Fitri yang hampir putus asa mengungkit perkelahian antara Fauzan dan Faizal. Ia curiga kedua bocah itu menyimpan sesuatu. Lantas ibunda dari anak-anak tersebut menanyakan apa yang terjadi kepada keduanya dengan nada halus. Fauzan pun memberikan reka ulang adegan.Â
"Aku tadi duduk di tepi lapangan melihat anak-anak bermain sepak bola. Kemudian datang Fauzi membawa Fitri. Aku tidak tahu benar apakah Fitri memakai gelang atau tidak. Aku tidak bisa mengingatnya." Jawab Fauzan pelan.
"Ia aku melihatnya memakai gelang itu. Tapi aku tidak melihat lagi saat Fitri menangis". Faizal menambahi.
"Lalu kenapa kalian bertengkar," tanya Pak RT kepada kedua bocah malang itu. Mereka pun menceritakan kalau tadi sore itu banyak yang telah terjadi. Sebenarnya Fauzan tengah menyelesaikan urusannya dengan Faizal sebelum gelang itu hilang dan orang-orang datang menggrubunginya.Â
Mereka bertiga Fauzan, Faizal dan Fitri bermain dengan imajinasinya. Layaknya pahlawan super yang kepalang sakti, mereka meragakan adegan culik-menculik. Targetnya tentu saja si gadis kecil bernama Fitri. Fauzan yang berlaku sebagai Batman kesatria kegelapan itu berencana menculik Fitri dari gengaman Superman. Faizal enggan memberikan si gadis kepada lawannya sehingga perang dahsyat pun terjadi.Â
"Berikan gadis kecil itu," kata Batman.
"Tidak akan aku biarkan kau mengambilnya dariku. Kenapa kamu ingin merebutnya" jawab Superman.
"Karena dia membawa gelang sakti milikku," sahut Batman memberikan serangan. Faizal yang berlaku sebagai Superman melindungi Fitri dari kedua tangan Batman. Kontak fisik pun terjadi dan celakalah Superman yang tak tahan lagi memberikan perlindungan.Â
Tubuhnya terdorong pukulan Batman hingga mengenai si gadis kecil yang tengah berlindung di belakangnya. Kedua bocah itu terpental akibat mengadu kekuatan. Si gadis pun terjatuh lalu menangis histeris. Teriakan si gadis membuat kedua bocah ingusan itu kembali menjadi anak-anak biasa. Setelah tersadar dari imajinasinya didapati tubuh Fauzan dan Faizal terduduk kesakitan.Â
Kemudian datanglah Fauzi dari tengah lapangan menolong Fitri dalam tangisannya. Faizal yang merasa bertanggung jawab pun ikut menolong si gadis dan membawanya pulang.Â
"Jelas itu hanyalah cerita imajinasi dari anak-anak yang tak mengerti apa-apa ini. Mereka masih sangat lugu. Jadi tolong berikan pengertiannya," sahut Pak Rt. menanggapi cerita.
"Tapi mereka merebutkan gelang sakit itu," potong ibundanya Fitri belum terima.
"Gelang itu cuman ada di imajinasi mereka. Tentu itu tidak bisa di jadikan bahan tuduhan," sahut salah seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun.
"Sudahlah bu sebaiknya terima saja kejadian ini sebagai pelajaran untuk tidak teledor lagi dalam mengurus anak-anak," sambung ibundanya Fauzi memberikan nasihat. Ditengah orang-orang yang sedang menahan ketegangan terdengar bunyi logam terjatuh dari kantong salah seorang anak. Adalah Fauzan yang berubah kembali menjadi Batman meraba-raba kantong celananya.
"Itu gelang saktiku" katanya.
***
DOA UNTUK IBUNDA YANG MEMBAWA LARA
Kala itu aku baru pulang sehabis dari mengerjakan penelitian. Aku sadar telah melupakan janji di atas meja makan kita. Tentu saja aku pulang membawa lelah dan penyesalan. Dengan menarik nafas aku tarik gagang pintu dan ternyata kau belum juga tertidur, tidak seperti perkiraanku. Di ruang depan itu aku jumpai wajahmu yang gelisah tanpa kata juga wajah bapak di sana. Lantas kedua mataku menyisuri seisi ruangan, ada pakaian di mana-mana, juga aku dapati tas rangsel dan beberapa kardus. Apakah yang tengah terjadi, begitulah tanyaku tanpa beban dosa. Aku terpaku menatap wajah bapak yang berusaha menyampaikan sesuatu.Â
"Bapak dan Ibu akan pergi ke kampung halaman, nenekmu sedang sakit". Jauh dari dalam pikiranku mengatakan bahwa engkau menginginkan aku untuk tetap tinggal. Maafkan aku ibu kala itu aku hanya menjawab kalimat itu dengan diam menatap tanah. Bukan maksudku nyawa nenek tak berarti juga bukan maksudku tak rindu kepadanya, engkau pun begitu memahamiku namun aku merasa pedih dalam kejujuran ini. Selama engkau mengerus nenek di kampung halaman aku tak mencoba menghubungimu. Seringnya waktuku habis untuk mengurus tugas akhirku, komunitas, menulis dan yang lain. Di saat aku mulai sendiri pada ruangan rumah barulah aku mengerti bahwa seharusnya aku ikut bersama mengurus mertua mu itu ibu.Â
Minggu demi minggu terlah berlalu, penelitianku hampir saja selesai. Pada kesempatan selanjutnya aku berencana menyudahi revisi hasil sidang skripsi dengan meminta tanda tangan kepala Dekan. Tahukah kau ibuku, di ruangan formal itu aku menggambar wajah sang nenek dalam imajinasiku, penuh kesendirian dan malang. Hampir saja aku menyesali hari itu, penantianku selama berjam-jam akhirnya menuai hasil. Sebelum gedung ditutup Perempuan tua berusia lima puluh tahunan lebih itu akhirnya menampakan hidungnya. Ia pun memberikan tanda tangannya tanpa senyum sedikitpun, gambaran wajah-wajah yang lelah dengan kesibukannya. Setelah aku ucpakan kalimat terima kasih kepadanya bergegaslah aku menuju tempat pembuangan hajat, sudah tidak tahan rasanya menahan kencing berjam-jam. Rasanya begitu menyakitkan ditambah dinginya suhu ruangan menambah rasa ngilu pada alat vitalku. Sekeluarnya aku dari toilet ponsel dalam kantong celanaku berdering hebat, aku angkat dan ku letakan pada daun telingaku bunyi suaramu "nenek sudah tiada".
Seperti rembulan yang merindukan malam, hari-hariku berjalan tidak mudah terutama sekali pada tempat tidurku. Tidak seharusnya tubuh ini gelisah di tempat yang nyaman dan menenangkan, tapi bantal tak terasa empuk, selimut tak terasa menghangatkan. Kau kembali dengan berita duka itu. Meskipun aku sempat memanjatkan doa di depan makamnya, tak cukup terasa bagiku untuk mengobati semua kelalaian itu. Cucu yang tak pernah punya waktu untunya. Ketahuilah bu, suatu hari nanti aku pun tak ingin engkau bernasib sama, hidup pada sebuah desa yang terpencil, ditinggal anak menggelandang di ibu kota, lalu pulang saat engkau jatuh sakit. Seperti yang terjadi pada nenek bulan maret yang lalu.Â
Aku kira keadaan akan kembali baik-baik saja, tahun baru akan menjadi tahun yang istimewa setalahku dapatkan gelar sarjana itu di bulan Juni. Aku punya banyak waktu di rumah menatap foto wisudaku sekaligus menyiapkan diri dengan dunia yang baru, melamar pekerjaan. Tak kurasa sesulit ini mencari pekerjaan dengan gelar itu. Satu demi satu lamaran ditolak, keringat mengiri kegagalanku menghadap interviu. Tapi kau tatap aku semanis dahulu, penuh kesabaran dan kelembutan. Jauh dari dalam dadaku sebanarnya tak ingin sekali membuatmu kecewa bu. Namun rimba kota terlalu ganas untuk ditaklukan. Lantas disetiap keluhanku megelandangi ibu kota engkau mengelus dadaku dan mengeluarkan kalimat halus itu "sabarlah anakku". Oh ibuku, ingin rasanya aku tongkrongi monas ditemani segelas kopi plastik dan segaret tembakau lalu mengabiskan seluruh kalimat idealisku yang tak pernah laku untuk mendapatkan pekerjaan. Namun aku sadar itu hanyalah sebuah emosi atas kegagalan.
Di akhir-akhir tahun selanjutnya, dari bulan Agustus sampai Desember aku jumpai tubuhmu yang tak perkasa lagi. Setiap malam tanpa aku tahu sebelumnya kau meringis kesakitan pada pinggangmu menahan rasa sakit. Kau sibukan dirimu sendiri dengan membanting tulang menggantikan posisi bapak yang tak pandai lagi mencari sesuap nasi. Sementara aku hidup membujang tanpa pekerjaan. Sebagai seorang anak yang punya cukup waktu di rumah aku usahakan diri mengantarkanmu berobat dengan harapan semuanya akan baik-baik saja. Tapi sebuah telegram telah merebut kesempatanku berbalas budi itu. Kakek dan saudara-saudaramu merasa pertanggung jawab untuk mengurus pengobatan di kampung halaman sana, mereka memang punya hutang kepadamu tapi kenapa kau tak biarkan aku saja yang mengurusmu.Â
Keluarga keparat, paman, bibi semuanya tak mengerti maksud baikku. Mereka menggap aku tak lebih dari seorang pengangguran yang tak pandai mengurusmu, ibu. Mereka anggap aku sampah, bocah kemarin sore yang tak bisa mengurus celana dalamnya sendiri. Lalu sekonyong-konyongnya kalimat lembut itu kembali hadir menyentuh dadaku "sudahlah sayang, ibu akan baik-baik saja. Ilmu hadir dalam tubuhmu menjadi sebuah tanggung jawab, maka kerjakanlah. Tak perlu mengkhawatirkan aku lagi, engkau masih punya waktu untuk mendapatkan perkerjaan. Carilah!". Aku berusaha sekuat hati menahan tangis mencium tanganmu. "Ya aku akan berjuang".
Tahukah kau ibuku, aku ingin sekali mengutuk diriku yang tak pernah dapat memberikanmu waktu. Minggu demi minggu uang darimu mulai habis, dan satu bulan telah berlalu. Tidak ada kabar apa-apa dari kampung halaman dan dari engkau. Akupun tak bisa memberikan kabar apa-apa sebab tak mungkin aku katakan keadaanku yang sulit. Tidak ada pekerjaan yang datang kepadaku lantas aku sempatkan diri berkeluh kesah kepada salah seorang kawan untuk mencari pinjaman. Kepada kawan itu aku justru mendapatkan sebuah tanggung jawab yang aku sendiri tak mau mendapatkannya. Demi engkau ibu, aku tak mau mengeluh sekalipun aku tak mengerti rencana apa yang Tuhan berikan kepadaku.Â
Besoknya kawanku yang bernama Darno itu kembali datang kepadaku memberikan selembar naskah untuk aku jadikan pertunjukan. Lalu dengan mudahnya aku terima. Aku teringat kalimat halus mu "Ilmu hadir dalam tubuhmu menjadi sebuah tanggung jawab, maka kerjakanlah". Pikirku, tidak ada lagi yang dapat aku kerjakan maka aku terima posisi sutradara itu.Â
Terhitung tiga bulan yang telah lewat, sewa kontrakan semakin menumpuk dan terpaksa harus aku tinggalkan. Lantas aku hidup menumpang dari satu kos menuju kos seorang kawan yang lain. Dari pagi sampai siang aku tak berhenti mencari harapan untuk segera mendapat pekerjaan. Lalu aku ajak para aktor berlatih di sore hari sampai menjelang tengah malam. Sampai akhirnya aku dapatkan posisi guru pada bulan Januari. Di tengah-tengah proses pementasan aku telah mempunyai banyak murid dan aku belajar melatih kesabaranku sendiri, sama seperti sabarnya kau terhadapku ibu. Memang tak seberapa upah menjadi seorang guru, dan memang tak bernilai uang menjadi seorang sutradara pertunjukan. Tapi inilah tanggung jawabku yang baru, yang menyita waktuku, yang tentu saja semakin membuatku jauh darimu. Aku tak tahu apa rasanya menahan rasa sakit pada tubuhmu itu, aku sibuk sendiri dengan pekerjaanku. Sementara engkau jauh di sana menahan rasa sakit yang entah apa obatnya.Â
Pada pukul siang selepas selesai mengajar, ponselku berdering menerima panggilan dari kampung halaman. Barita berisi keadaanmu membawaku tak tahan diri menahan jarak dan kesabaran. Lantas aku beranikan menyusulmu lalu membatalkan rencana latihan dan meminta izin sekolah untuk tidak mengajar. Sesampainya diranjangmu aku jumpai tubuhmu kurus kerontang tak segar lagi seperti terakhir bertemu. Keriput bagai kain membalut ranting kayu. Aku tak tahan lagi menahan banjir pada kelopak mataku, jatungku teriris pisau tumpul yang tak selesai memotong-motong dan mencincang daging penuh dosa ini. Dalam tubuh yang tak berdaya itu kau sempatkan diri membelai wajahku dengan penuh kelembutan. Engkau berusaha membuatku kembali tegar. Padahal kau sendiri tak berdaya dengan tubuh itu.Â
"Jangan khawatirkan ibu, pergilah! Banyak tanggung jawab yang telah kau tinggalkan. Pergilah!". Engkau lebih mementingkan apa yang menjadi urusanku diluarsana tanpa kau melihat keadaan dirimu sendiri. Kalimatmu begitu merintih dan lemas, pertanda sakitmu kian ganas namun kau menyuruhku pergi.
Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan, pun aku juga tak tahu lagi apa yang harus direncanakan. Aku terima pengusiran itu entah apa dan kenapa aku melakukannya. Pikiranku semakin bingung melihat keadaan yang semakin sulit dan kacau. Aku taiki bus dengan perasaan mengganjal, sampai kembali aku jejaki tanah ibu kota. Aku sempat berjalan kaki berkilo-kilo meter hingga hampir jatuh pingsan karena tidak ada lagi angkutan umum yang liwat juga karena bus sampai ke ibu kota dalam keadaan terlambat. Belum lagi berjam-jam aku menunggu kawan membukakan pintu kosnya untuk menampung tubuhku. Hampir saja aku terkena deman karena semalaman di luar. Lantas aku mengklaim bahwa kejadian ini adalah ganjaran bagi anak yang tak tahu budi sepertiku. Meninggalkan dirimu dalam keadaan sakit di sana. Kala itu aku merasa sangat berdosa ibu.
Baru tiga hari aku memulai kembali bergulat dengan murid-muridku di sekolah tetapi kabar buruk kembali membawaku untuk bergegas menujumu dan tahukah kau ibu, aku tak ingin lagi dengar kalimat lemah mengusir dari mulutmu. Aku akan tetap menjagamu meskipun kau suruh aku pergi, meskipun sekolah menggantikanku dengan guru baru, meskipun pementasan harus aku undur lain waktu atau digantikan pula posisiku, aku akan tetap bersamamu. Di dalam bus menuju perjumpaanku denganmu, aku ingat bagaimana tubuh lemasmu menyentuh ranjang itu, sekarat dan tak berdaya. Bahkan untuk merubah posisi tidurmu saja engkau tak bisa. Kelenjar getah bening pada pingganmu terlihat begitu besar dari kepalamu sendiri, siapa yang tak menangis melihat keadaamu. Kenapa mudahnya kau katakan kepadaku untuk tetap bertabah. Ketabahan tak pernah datang dengan kata-kata. Apalagi kedua mataku ini telah telanjur melihat pahit perjuanganmu. Aku rindu pelukmu dengan tubuh segar dan hangat seperti dahulu.Â
Selama perjalanan menuju kehadapanmu, aku kembali mendapatkan hukuman. Entah sudah berapa jam aku menahan kencing akibat perjalanan tanpa henti ini. Supir sialan itu tak membawa bus menuju rest area. Ia mungkin mendapat bisikan dari Tuhan untuk memberikan pelajaran kepadaku. Rasanya sakit sekali menahan kemaluan yang hampir meledak itu, lantas aku memberanikan diri untuk nekat melakukan sesuatu. Aku menyudahinya dengan memanfaatkan botol untuk penampungan. Sebelum melakukannya aku sempatkan diri memastikan keadaan sekitar dan ku dapatkan posisi aman di belakang. Didekat pintu belakang bus persis di anak tangga masuk bus. Aku membuang kencing itu di sana pada sebuah lubang botol dan menikmati rasa linunya. Setelah selesai dan lega aku kembali duduk di kursi pesananku. Tak sampai aku lupa dengan perbuatanku barusan, pada tanggal sebelas februari pukul sebelas malam bibi dari rumah sakit mengirim pesan singkat yang berisi "mamahmu sudah dijemput Tuhan".
Hari demi hari hidupku semakin sulit ditinggal kepergian. Upah dari mengajar sedikit-demi sedikit aku sisihkan untuk membayar hutang sewa kontrakan, juga hutangku kepada kawan. Cukup panjang aku berpuasa sampai diriku selesai menunaikan tanggung jawabku. Pernah suatu hari aku tak sanggup berdiri kembali, ingin rasanya aku sudahi hidupku di ibu kota, berhenti menjadi guru dan gugur sebagai sutradara. Tapi nasehatmu selalu kembali dalam ruangan kamarku yang menggemakan hening. "Ilmu hadir dalam tubuhmu menjadi sebuah tanggung jawab, maka kerjakanlah" Â menyurhku kembali tegak berjalan.Â
Lembaran kertas di atas meja kerja, menghabiskan lelah pada setiap kata, menyusun alur demi alur cerita fantasi, di mana sebuah masa merindukan waktu yang telah lalu. Dengan perasaan luka dan rindu, aku panjatkan doa disetiap pertemuan waktu. Kesedihan selalu membekas kepada yang ditinggalkan, dan yang pergi tak selamanya menangis dalam perjalanan. Dua ibuku lenyap tertelan liang kubur, menghukum semua memori yang terekam dalam kata-kata perpisahan. Kedua mataku menyaksikan kejadian itu, saat engkau merintih dalam lupanya harapan oleh rasa sakit, lantas ku panjatkan doa agar segera yang maha memberikan hidup menyudahi penderitaan itu. Tak ku sangka Ia mengabulkan permohonanku untuk segera mengambil nyawamu sebelum aku tiba di sana. Maafkan aku ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H