KTSP dan K-13 sebenarnya sama-sama mengedepankan peran siswa dalam proses kegiatan belajar mengajar (KBM). Di samping itu, sekolah juga diberikan keleluasaan untuk berinovasi. Bedanya karena merdeka belajar dikawal secara profesional oleh mentor yang membimbing guru penggerak, sehingga tidak ada alasan hambatan guru dan lingkungan sekolah menghalangi selepas pelatihan yang selama ini terjadi pada dua kurikulum sebelumnya.
 Dengan demikian tidak susah mengorfirmasi pencapaian tujuan pendidikan secara nasional. Termasuk akreditasi sekolah yang selama ini dikerjakan secara marathon oleh pihak sekolah dalam waktu singkat, sekitar kurang lebih sebulan. Akreditasi simbolis untuk memperoleh peringkat sebagai standar formal. Bisa jadi tidak didukung oleh kualitas yang sewajarnya.
Dengan hadirnya guru penggerak, diharapkan mendongkrak kejumudan. Bukan hanya soal prosedur dan kualitas guru, tetapi masalah yang mengendap seperti "gunung es" dalam balutan tradisi lokal di daerah-daerah terpencil juga harus jadi perhatian.
Tradisi yang dapat menghambat iklim pendidikan, seperti terbatasnya peluang guru "pendatang" untuk mengembangkan prestasi di berbagai bidang. Mungkin tidak semua daerah, sehingga pusat tidak sempat membaca kecenderung beberapa daerah yang menutup peluang " pendatang" untuk menjabat kepala sekolah, memimpin organisasi profesi, atau terbatasnya peluang "pendatang" mewakili daerah dalam bidang minat dan bakat.
Tata Kelola Anggaran Pendidikan Semakin Baik?
Melalui merdeka belajar yang digagas oleh Mendiknas sejak 2019 lalu, sepertinya telah mampu meyakinkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menggelontorkan anggaran yang cukup besar untuk dunia pendidikan.
Menurut Menkeu, belanja Negara untuk pendidikan di tahun 2021 naik 5 kali lebih besar menjadi Rp 550 triliun untuk pendidikan di masa pandemic covid-19. Hal itu bila dibandingkan dengan belanja pendidikan tahun 2009 silam sebesar 208 triliun. Â "Ada belanja internet bagi murid, guru, mahasiswa dan dosen," jelasnya (Liputan6.com , 22 April 2021).
Meski anggaran untuk belanja pendidikan cukup besar, namun Menkeu tidak mengritik kualitas pendidikan. Hal itu berbeda dengan penjelasannya tentang kenaikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN Â 2018 atau sebesar Rp 444 triliun.
"Yang ada adalah komunitas pendidikan sibuk membelanjakan uang yang tiap tahun makin banyak. Dari anggaran Rp29 triliun sampai naik menjadi Rp 444 triliun, kita masih dengar Dirjen Sumber Daya yang tidak berdaya,"kata Sri Mulyani. (cnnindonesia.com , senin, 07/05/2018)
Menkeu juga menilai tata kelola keuanga buruk di kementrian pendidikan. "Mau diguyur duit berapapun kalau tata kelolanya nggak baik, ya complain saja terus. Kalau sekedar gedung bagus dan how we run a good education, it's a different thing," lanjutnya.
Mungkinkah perubahan sikap Ibu Sri Mulyani menjadi tanda adanya perbaikan tata kelola keuangan di kementerian pendidikan? Atau paling tidak karena pencapaian tujuan pendidikan bisa dikonfimasi dengan penerapan merdeka belajar? Hasilnya, mampu meyakinkan Menkeu akan peningkatan sumber daya manusia Indonesia di masa mendatang? Wallahu a'lam Bissawab.