Â
"Kalau kau belum tahu, Nak" ---sambung Pak Bani lagi--- "Semenjak pojok sentilan yang kau asuh itu muncul di kolom buletin kita, tak terhitung lagi telepon-telepon gelap memperingatiku. Kau mana tahu Edw, karena ruang kerja kita dibatasi oleh dinding yang tebal. Dan kau pun harus sadar, Nak. Kempesnya ban mobilmu berturut-turut dalam dua hari ini bukanlah suatu kebetulan belaka. Itu adalah hasil kerja dari karyawan lain yang tidak senang dengan jeweranmu via kolom kecil itu.
Â
"Sebagai seorang Bapak yang lebih dahulu minum ASI[3]) darimu, atau katakanlah sebagai Kepala Bagian dari Edward Tator, saya minta padamu untuk masa-masa mendatang kau tidak lagi meneruskan serial sentilanmu di buletin. Maaf, Edw. Bukan maksud kami untuk menghambat kreativitas tulis menulismu, tidak Nak. Selagi kau menulis dalam buletin Perusahaan, jangan lagi kau coba-coba untuk jadi pahlawan pena. Di masa sekarang, tidak ada lagi dibutuhkan pahlawan-pahlawan kesiangan, Edw. Sepanjang orang lain itu tidak merugikan kita secara pribadi, tidak perlu kita usil terhadap mereka. Sekarang zamannya pemerataan rezeki, Edw..........."
Â
Entah apa lagi kata-kata Pak Bani atasan yang sangat kuhormati selama ini, tidak sanggup lagi kudengar. Rupanya atasan yang selama ini sangat kusegani itu, mutunya tak lebih dari mereka yang pernah kusentil. Seketika itu juga rasa hormatku pada beliau luntur. Puiihh...!!
Â
"Oke, Pak", kataku seraya berdiri. "Kalau begini, naga-naganya lebih baik saya mengundurkan diri saja dari desk editor."
Â
Pak Bani terkejut. Ia segera meraih pundakku untuk menyuruh duduk lagi.
Â