Mohon tunggu...
Muchwardi Muchtar
Muchwardi Muchtar Mohon Tunggu... Jurnalis - penulis, pelaut, marine engineer, inspektur BBM dan Instruktur Pertamina Maritime Center

menulis, membaca, olahraga dan presentasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Sebut Kami "Pahlawan Kesiangan"....!!!

10 November 2024   08:44 Diperbarui: 12 November 2024   22:47 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto asli dari Muchwardi Muchtar

Memang ini bukan  suatu perbuatan gila. Tapi kalau hari itu banyak orang yang menganggap style yang kukenakan ala orang edan, kiranya tidak dapat disanggah. Sebab, umumnya penghuni dunia yang berjenis manusia, lebih cenderung melihat pada hal yang zahir saja. Jadi wajar adanya kalau mereka mengatakan, bahwa dandananku tidak pada tempatnya. Masak seorang berkaus T-shirt, bercelana yang terbuat dari kain batik dan berterompah yang terbuat dari ban mobil bekas, ingin naik pesawat udara?

Tanpa memperdulikan orang banyak yang senyum-senyum dan bisik-bisik di bandar udara Sukarno Hatta, Cengkareng, aku langsung duduk di ruang tunggu. Begitu terdengar dari corong pemberitahuan, bahwa pesawat yang akan kunaiki menuju Singapura siap untuk take off, aku segera berdiri.

Kuangkat tas jinjingku di tangan kanan, dan kamera kesayanganku menggantung di leher. Perduli apa dengan mereka, yang melihat seorang laki-laki di era Hape yang sudah dilengkapi dengan kamera, recorder dan perangkat lainnya, masih juga "memamerkan" kamera sebagai aksesories di badannya? Yang penting mereka ketahui, aku naik plane ini dengan prosedur resmi. Bukan tiket jatah yang dilakukan oleh sementara mereka Naik Haji dengan biaya negara itu. Memangnya ada peraturan resmi untuk naik pesawat Garuda Indonesia  mesti pakai stelan jas lengkap, dan tidak boleh menggantungkan kamera di leher kita?

Begitu mesin jet Airbus A330-200 Garuda Indonesia ini menderu, dan pesawat pelan-pelan terasa terangkat  kemudian 'lampu pemberitahuan' menyala, yang menyatakan bahwa sabuk pengaman boleh dilepas kembali, para penumpang pun sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Kuperhatikan, ada yang membalik-balik majalah yang diambilnya dari box di sampingnya, ada yang mengutak-atik video di depannya untuk mencari film cerita yang disediakan buat mengisi waktu penumpang, bahkan ada pula yang asyik menikmati panorama Jakarta dilihat dari sekian ratus kaki dari angkasa. Tak terkecuali dengan lelaki tua yang duduk di sampingku. Sedari tadi kulirik lelaki tua di sebelahku entah sudah berapa kali mencuri pandang padaku. Sialan. Perlu apa pula lelaki tua ini melirik-lirikku?

Kalau tadi, ketika ia permisi melewati tempat dudukku untuk pergi ke toilet buang airkecil menghadiahi aku senyum, maka kini ketika kembali ke tempat duduknya di sebelah kananku dekat jendela, lagi-lagi ia tersenyum.

Sekian lama terasa sunyi. Sekian lama pikiranku menerawang ke sana sini. Sampai-sampai kue dan minuman yang disodorkan pramugari untuk para penumpang kutolak mentah-mentah dengan mengatakan, bahwa aku sedang puasa..., akhirnya kesunyian pun pecah juga.

"Anak muda", sapa lelaki tua di sampingku. "Tampaknya Nanda seakan memendam sesuatu", lalu lelaki tua yang mengenakan jas coklat  tanpa dasi ini memajukan kepalanya lebih ke depan. Maksudnya sudah tentu ingin memandang wajahku lebih jelas lagi.

Walau bagaimana pun kalutnya pikiran di dalam, sapaan bersahabat dari lelaki tua sanggup juga menyadariku dari lamunan. Sebagai manusia timur yang terkenal kesopansantunannya, sebetulnya aku sudah malu hati. Orang yang lebih tua dariku telah menyapa terlebih dahulu. Tetapi, kalau ada orang yang mengalami problem seperti apa yang kuhadapi  sekarang, kukira ia akan berpikir tujuh kali untuk mengatakan aku tidak tahu adat.

"Anak muda, dapatkah Nanda berbagi cerita dengan Bapak?" --lelaki tua ini kembali memancingku. Tampaknya ia penasaran sekali dengan reaksiku yang cuma melirik saja menjawab tanya  pertamanya tadi.

"Lampu memasang seat bel sudah lama mati. Mari sharing anak muda", --ujar lelaki tua cerewet ini lagi sambil menyodorkan kaleng segi empat berisi permen Hacks warna hitam yang sering digunakan pecandu rokok sebagai pengganti batang rokok atau vape (rokok elektronik) bagi mereka. Melihat sodoran yang jarang-jarang ada ini aku sedikit ngiler juga. Hmm hhm...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun