Pak Bani ---perokok yang akut itu--- menyambung lagi membakar sisa rokok kretek yang semenjak pagi diletakkannya di pinggir asbak porselen di pojok meja kerjanya. Padahal ia tahu dan mengerti, bahwa di kamar yang dilengkapi dengan alat pendingin ruang tidak dibolehkan untuk merokok. Tapi atasanku yang bertutur kata lembut dan banyak senyum ini, tidak bisa mengalahkan rasa egonya, untuk tidak mengisap rokok barang satu batang di ruang kerjanya, setiap dua jam sekali.
 "Tadi pagi saya mendapat telepon dari Pusat langsung dari Kepala Divisi kita. Bapak Ka.Div  mengingatkan agar buletin yang kita asuh  untuk dikembalikan pada fungsinya semula. Beliau memuji variasi buletin kita yang mengalami perubahan drastis semenjak kau asuh. Tetapi di lain pihak rupanya Bapak Ka.Div kurang senang dengan kolom spesial yang kau asuh. Kata beliau, buletin perusahaan bukanlah alat untuk main politik-politikan, atau main sikut-sikutan antar karyawan...".
Aku terkesima. Kutegakkan kepala. Kalau semenjak tadi di depan Pak Bani aku menjadi pendengar yang baik, tapi dengan kalimat terakhir yang diucapkan Pak Bani tidak dapat kuterima.
"Maaf  Pak, kalau pembicaraan Bapak saya potong."
Pak Bani mengangguk memberi isyarat, bahwa aku disilakan bicara.
"Soal apa itu fungsi buletin sebuah perusahaan sudah saya pelajari jauh-jauh hari sebelum saya ditarik kekantor ini, Pak. Sebab begini-begini saya juga pernah digembleng dalam Kursus Jurnalistik Pers selama enam bulan tempo hari. Kalau pojok sentilan yang saya asuh dituduhkan Pak Ka.Div sebagai alat penyikut para karyawan, terus terang saya tidak terima."
"Maksud saya dengan adanya rubrik pojok sentilan itu adalah sebagai oto kritik bagi Perusahaan. Meluruskan yang selama ini bengkok, dan lebih luas lagi...maksud saya adalah meletakkan sesuatu pada proporsi yang sebenarnya. Lagi pula apa-apa yang saya tulis bukanlah kritik asbun[1]) begitu saja. Kalau Bapak belum tahu, selama lebih tiga puluh enam bulan saya mengasuh buletin itu entah sudah berapa pucuk surat dari laut yang jadi input bagi saya buat mendobrak kebobrokan yang berkembang biak di Perusahaan.
Â
Dan saya bertekad, selagi tenaga saya dapat dipakai oleh Perusahaan di bidang jurnalistik, saya akan terus mengupas borok-borok di lingkungan Perusahaan."
Â
 "Edward!", Pak Bani mulai spanning. --"Jangan kau lupa, Edw. Siapa saja boleh mengeluarkan uneg-unegnya. Tetapi bukan melalui desk editor yang kau jabat. Bukankah di Perusahaan kita masing-masing ada tugas dan fungsinya? Dan kau harus ingat, Edw. Meski kau diberi kebebasan menulis di buletin, itu bukan berarti kebebasan mutlak, anak muda. Semua ada batasnya. Sebagai karyawan yang mempunyai NRK[2]) kau tentu punya lagi atasan di Pusat sana. Dan kau harus tepo sliro, Nak"Â