Pada mula daerah kota di tanah Priangan, bermunculan banyak tempat-tempat bersantai sekedar untuk ngopi sembari menikmati suasana kota yang kian makin sempit dan panas. Hal-hal yang dirasakan di kota di tanah Priangan seakan menjadi pembuktian dari kebohongan-kebohongan yang dipaparkan di luar kota tersebut. Tidak ada lagi ramah tamah, keamanan yang terjamin, dan yang lebih menakutkan adalah kepedulian yang seakan lebih kecil daripada ukuran tubuh mereka sendiri.
Meski begitu kota di tanah Priangan adalah permata yang masih ada dan terbangun sebagai tempat wisata dan menjadi ladang manfaat bagi pengusaha.Â
Kota di tanah priangan tidak begitu buruk dengan kedai-kedai kopi dan segala terobosannya yang dimaksudkan agar kawan-kawan wisatawan tertarik padanya. Selain ladang manfaat, tentu saja menjadi ladang maksiat karena berbagai scamming yang terjadi di balik kedai kopi tersebut.
Gradia, seorang mahasiswa yang berkuliah di kota di tanah Priangan begitu mencintai kopi sebagai pelepas penat. Nyatanya itulah yang diinginkan anak-anak muda, yaitu tempat dimana mereka bisa berasa dewasa dan bijak.Â
Maklum, kedai kopi sebelum Gradia lahir adalah tempat untuk bapak-bapak bercengkrama dan melepas penat. Namun kedai kopi semacam itu makin berkurang jumlahnya dan digantikan oleh kedai kopi yang begitu kebarat-baratan di luar.
Kedai kopi yang begitu dicintai Gradia bernama "Kedai Kopi Ajaib". Namanya saja seperti dia tidak punya inspirasi lagi, berbeda dengan kedai kopi lainnya.Â
Kedai Kopi Ajaib saja menggunakan nama tersebut karena julukan-julukan yang diberikan oleh pelanggan-pelanggan lamanya karena mereka menemukan keberuntungan di sini. Ada yang berhasil mendapatkan jodoh hingga sukses dalam bisnis karena kedai ini.Â
Tapi jangan tertipu dengan nama apa adanya, karena kopinya begitu mahal dan bagi Gradia, Kedai Kopi ini lebih cocok baginya untuk dikunjungi seminggu atau dua minggu sekali. Kalau setiap hari mengunjungi kedai, bisa-bisa dia melarat di semester akhir.
Kepopuleran Kedai Kopi Ajaib mendorong orang lain melakukan hal serupa untuk menjalankan usaha kedai kopi. Tidak ketinggalan kedai kopi terkenal dari kota-kota besar datang ke kota di Tanah Priangan untuk melebarkan sayap bisnisnya.Â
Sebagai sesama pebisnis dengan usaha mencari keuntungan, segala hal dilakukan seperti memulai promosi, memberikan harga murah pada kopi, hingga mengundang artis untuk melakukan endorse demi mereka. Hal-hal yang jarang dilakukan Kedai Kopi Ajaib.
Kedai Kopi Ajaib adalah tempat ngopi yang begitu sederhana dan menempati bangunan toko yang dihias secara minimalis. Setiap mejanya beragam jumlah, ukuran, dan bahan. Kita bisa memilih mau duduk dimanapun. Kopi di sini justru lebih mahal dari tempat ngopi lain yang baru buka. Tidak aneh karena kopi di sini semuanya datang dalam bentuk biji kopi yang baru diantarkan. Alhasil sang pemilik dan karyawannya datang lebih awal hanya untuk mengubah sebagian stok bahannya menjadi bubuk.
Di tengah gempuran segala teknik marketing para kompetitornya, Kedai Kopi Ajaib tetap bisa bertahan. Pada awalnya, tempat ini sepi karena masyarakat dan wisatawan ingin mencoba tempat ngopi yang baru. Lama-kelamaan, tempat ngopi tersebut mulai sepi karena seperti sudah puas dengan promosinya. Beda cerita dengan Kedai Kopi Ajaib yang pelanggannya sedikit, namun tempat tersebut tak pernah sepi.
Tentunya agar tidak tersaingi, tempat ngopi lain menlancarkan kembali teknik promosi agar pelanggan mereka bertambah kembali. Namun, Kedai Kopi Ajaib tetap tidak tergusur sebagai kedai kopi yang orang kenal meskipun tidak semua orang bersantai dan menghabiskan uang di sana. Toh, ada pula berbagai faktor termasuk seberapa lama tempat tersebut berdiri dan seberapa mahal kopi yang disediakan di sana.
"TUTUP KEDAI INI!"
"TUTUP KEDAI INI!"
Senin pagi adalah waktu yang diharuskan dalam budaya warga perkotaan untuk bekerja, namun ada kejadian berbeda di depan Kedai Kopi Ajaib yang masih tutup. Demonstrasi berlangsung hingga siang sebelum akhirnya dibubarkan oleh pihak keamanan. Kedai tersebut tetap tutup seharian tanpa adanya hal yang rusak dari kedai tersebut. Hal-hal bisa dihindari jika semua dapat mengendalikan diri dan reaksi masing-masing.
Bulan depan, banyak gosip baru mengenai Kedai Kopi Ajaib. Gradia yang mulai sering datang untuk ngopi karena kecipratan keuntungan dari hasil jualan online-nya sedikit-sedikit mendengar bisik di kantin kampus.
"Maneh bade nongkrong kamana? (Kamu mau nongkrong ke mana?)" Sahut seorang mahasiswa berkaos oblong berwarna biru
"Bade ka Kedai Kopi Ajaib. Abdi aya nyesa keneh duit jajan (Mau ke Kedai Kopi Ajaib. Aku ada duit jajan yang masih tersisa," kata temannya.
"Ulah kadinya wae (Jangan ke sana terus). Urang bejaan nya mun kedai eta teh ceunah sok dianggo persugihan ti baheula teh (Aku kasih tahu ya kedai itu katanya sering dipakai tempat persugihan dari jaman dahulu). Maneh teu sadar naha kopi di kedai eta teh meuni awis tapi na laku keneh? (Kamu tak sadar kenapa kopi di sana mahal tapi tetap laku?)"
"Ah keun bae. Anggaplah nye'epkeun icis (Ah biarin. Anggap saja menghabiskan uang)."
Gradia mulai tak menyangka dengan omongan dua pria tersebut namun dia semakin yakin akan kejelekan ini tidak datang akibat manifestasi kisah jaman dahulu. Semasa awal kuliah, kabar yang terdengar mengenai kedai kopi tersebut cuma berkutat pada dua hal yaitu mahal dan ajaib. Baru akhir-akhir ini saja dia mendengarnya namun cuma sekedar "bisik-bisik tetangga". Suaranya tidak keras namun berpengaruh besar pada sikap manusia dalam kehidupan sosial.
Kedai Kopi Ajaib mulai kesusahan dengan apa yang menimpa mereka. Mereka sering didatangi oleh petugas pengamanan baik dari ormas maupun polisi untuk dimintai keterangan perihal keamanan dan kabar miring lainnya. Belum lagi sang pemilik memerintahkan karyawannya untuk menunjukkan perilaku religiusnya demi menurunkan tensi dari kabar miring perihal adanya tindakan sesat yang menyangkut Kedai Kopi Ajaib.
Di tengah kebimbangan dan persaingan yang mulai tidak sehat, datanglah seorang pria yang memiliki tampilan brewok dan berbadan tegap. Sang pemilik menghampiri bagian karena tahu bahwa pria yang berpakaian gamis putih ini adalah pelanggan lamanya yang kembali. Dia tahu bahwa kopi hitam yang pernah dibuat ayahnya adalah kesukaan beliau.
"Assalamu'alaikum, pak. Saya pesan kopi hitam saja."
"Waalaikumsalam, pak ustad. Siap atuh."
Sembari menunggu kopinya selesai, dia dan sang pemilik berbincang sedikit.
"Kieu pak, saya dengar kabar miring yang bawa-bawa nama Kedai Kopi Ajaib di sini. Itu jahat sekali. Astaghfirullah."
"Iya saya juga dengar, tapi biar saja karena saya berharap itu hanya angin lalu."
"Tawakal memang perlu. Tapi manusia pun perlu bertindak." Ucap pria bergamis putih sambil meyakinkan sang pemilik kedai
"Atos atuh pak, tidak perlu sampai konflik begitu."
"Memang pak, namun sebagai rasa terima kasih saya atas tempat yang santai bagi saya ini. Izinkan saya menepis kabar miring ini lewat medsos saya. Kebetulan konten saya kebanyakan tentang penerapan nilai keagamaan dalam kehidupan sehari-hari."
"Terima kasih, namun tidak perlu." Ucap memelas sang pemilik kedai.
"Abdi Ikhlas pak. Bapak orang baik mana mungkin saya biarkan bapak dizolimi seperti ini. Lagipula ini demi mengembalikan ketenangan bapak dalam berjualan."
"Hatur nuhun pak. Saya sangat terbantu.... Punten ieu kopi hideungna."
Tidak berhenti di sana, banyak pelanggan lamanya yang datang karena Kedai Kopi Ajaib jadi jelek dan ingin mengkonfirmasi. Banyak yang menduga ini adalah efek persaingan antara kedai kopi di Kota di Tanah Priangan. Mungkin saja yang mereka lakukan selanjutnya adalah wujud cinta. Benar-benar sesuai dengan namanya, Kedai Kopi Ajaib secara ajaib mendapatkan pertolongan sana sini dari para pelanggan lamanya.
Ada yang berhenti beli kopi dari toko pesaingnya, ada yang mereview kopi dagangan milik Kedai Kopi Ajaib di medsos, hingga turut mendampingi sang pemilik kopi dalam menjelaskan kepada pihak aparat guna menepis isu miring yang masih negatif bagi Kedai Kopi Ajaib. Dalam waktu sebulan, Kedai Kopi Ajaib masih hidup, namun isu miringnya menghilang ditelan Bumi.
Bagaimana nasib kedai kopi lainnya? Mereka baik-baik saja untuk saat ini tanpa kartu as mereka. Mereka tetap membuka cabang di kota-kota lain dan dianggap sebagai tempat ngopi yang sukses. Namun di Kota di Tanah Priangan adalah tempat di mana kepopuleran mereka redup. Lambat laun ada yang menutup tempat mereka karena di Kota lain mereka lebih cuan. Masih ada beberapa tempat ngopi yang masih beroperasi disertai tempat ngopi kualitas indie yang bermunculan. Namun hanya Kedai Kopi Ajaib yang tidak berubah dari menu, bangunan, hingga cara pelayanannya bak pelesetari tradisi ngopi di Kota di Tanah Priangan.
Setahun tiga bulan berlalu, dan Gradia datang ke Kedai Kopi Ajaib bukan sebagai mahasiswa, namun sebagai alumni.
"Aduh Gradia, atos lulus ieu teh?" ucap senang Pemilik Kedai setelah melihat pelanggannya datang dengan topi toga yang masih terpakai.
"EH?!" singkat saja, Gradia melepasnya karena agak malu karena toga yang masih ia kenakan.
"Tenang saja, tidak memalukan kok... bahkan membanggakan kelihatannya."
"Makasih ya Pak, sudah menyediakan kopi buat saya selama yang berkuliah di sini. Sekarang saya mau menggunakan hasil belajar saja buat mendapat pekerjaan."
"Mangga Gradia. Kerja di mana saja bagus asal tidak merugikan diri sendiri dan orang lain."
Pemilik Kedai memberikan secangkir kopi gula aren yang baru dibuatnya.
"Kenapa bapak tau saya bakal pesan itu? Kan saya belum bilang?" bilang Gradia dengan keheranan.
"Itu namanya kebiasaan, Gradia.... Menjaga tradisi adalah kunci untuk selalu teguh dan bertahan ditengah perubahan yang kita tidak tahu ancamannya."
"Makasih, pak. Sebentar saya ambil dulu uang."
"Ini gratis, bapak tulus," ucap tenang sang Pemilik Kedai.
"Atuh nanti rugi,"
"Memang tidak akan masuk ke pendapatan kalau kopi ini gratis. Tapi bapak mulai paham bahwa ketulusan bisa membawa kebaikan. Selama apa yang bapak kerjakan dilaksanakan secara tulus, maka bapak tidak merasa rugi."
Gradia pun menerima kopi yang biasanya ia minum itu dengan sukarela, dan dia melihat Kedai Kopi Ajaib ini tidak berubah karena tidak melakukan perubahan yang berlebihan untuk pelayanannya. Dia berpikir selama itu cukup untuk membuat pelanggannya nyaman untuk ngopi maka tempat ngopi ini menjadi tempat yang patut untuk dilindungi keberadaan dan tradisinya.
Hanya setengah jam Gradia di sana, dan dia keluar membawa pesan ketulusan, pemikiran untuk menjaga tradisi, beserta sebotol kopi gula aren yang ia pesan lagi dari Kedai Kopi Ajaib.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H