Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Permakultur, Jejak Santo Fransiskus di Domus Patrum Seminari Menengah Siantar

30 Desember 2024   15:29 Diperbarui: 31 Desember 2024   10:17 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rerimbunan permakultur Domus Patrum SMCS Siantar dengan latar belakang kapel seminari (Dokpri)

"Rasanya teramat dungu, saat kusadari jawaban pertanyaanku ternyata ada di depan mata."

Aku merasa bersalah telah berprasangka miring tentang Seminari Menengah Christus Sacerdos (SMCS) Pematang Siantar, almamaterku sendiri. 

Ceritanya begini.

Sejak dulu sempat menjadi seminaris (1974-1976) di sekolah calon pastor itu, sampai pada kunjunganku ke sana pada pertengah dan akhir tahun 2024 ini, tak kutemukan satu pun simbol atau jejak Santo Fransiskus di sudut-sudutnya. Katakanlah sebuah patung Santo Fransiskus di halaman depan. Atau setidaknya sebuah lukisan santo itu di dinding lobby.

Padahal seminari ini dikelola oleh Ordo Fratrum Minorum Kapusin (OFM Cap). Tarekat religius Gereja Katolik ini jelas-jelas mengamalkan prinsip-prinsip hidup Santo Fransiskus dari Asisi. Lulusan seminari ini, bila terpilih menjadi pastor, mayoritas juga bergabung ke OFM Cap.

"Masa sih gak ada simbol atau jejak Santo Fransiskus di komplek seminari ini?" Aku bertanya-tanya saat duduk pada kursi di teras Domus Patrum, rumah pastor, pada sebuah pagi yang sejuk di awal Desember lalu. "Lupa pada akarnya," desisku menuduh.

Aku melempar pandang lurus ke depan, segaris jalan setapak yang terbikin dari susunan paving block.  Di ujung jalan setapak itu, di seberang jalan komplek yang membujur dari utara ke selatan, tampak dinding timur kapel seminari.  Dari dalamnya terdengar doa didaraskan dan nyanyian dilambungkan. Seminaris sedang berdoa pagi. 

Kualihkan pandangan menyapu pekarangan Domus Patrum. Penuh pepohonan dan perdu, pekarangan itu tampak hijau asri menghutan. Ada kicau dan cericit burung-burung dari pucuk pepohonan. Lalu dua ekor kupu-kupu terbang di sela-sela tajuk perdu.

"Ah, serasa istirahat di tengah hutan," batinku sembari memejamkan mata, menghirup dalam-dalam udara segar.

"Hei, ini permakultur! Bukankah ini jejak Santo Fransiskus?" Aku bersorak dalam hati. 

"Dungu betul kau, Felix. Kau bertanya-tanya, berpikir miring,  ternyata jawabannya terhampar di depan matamu." Aku merutuki kedunguanku.

Ilustrasi Santo Fransiskus mengikat janji  damai dengan seekor serigala di Gubbio, Umbria Italia (tamingthewolf.com)
Ilustrasi Santo Fransiskus mengikat janji  damai dengan seekor serigala di Gubbio, Umbria Italia (tamingthewolf.com)

Santo Fransiskus Pelindung Lingkungan

Santo Fransiskus (1181-1226), kelahiran Asisi Italia adalah pendiri Ordo Fratrum Minorum (Saudara Dina) (1209). Kelak ordo ini mekar menjadi tiga ordo: OFM, OFM Conventual (1517) dan OFM Capuccinorum (1520).

Semasa hidupnya sebagai biarawan, Santo Fransiskus dikenal sebagai tokoh yang menegakkan dan mengamalkan prinsip kesatuan  dan keserasian manusia dengan segala mahluk dan unsur alam. Baginya semua mahluk dan benda yang ada di alam ini adalah sesama saudara bagi manusia. (Bdk. Artikel 10, Ensiklik Paus Fransiskus Laudato Si, 24/5/2015)

Semua hewan dan tumbuhan, dari yang terkecil sampai terbesar, oleh Fransiskus dipanggil "saudara". Saudara burung, domba, ikan, cacing, dan sebagainya. Saudara pohon, bunga, lumut, dan sebagainya.

Bahkan Fransiskus mengajak hewan dan tumbuhan bercakap-cakap.  Bunga-bunga kecil yang indah misalnya diajak berdoa bersama kepada Tuhan.

Benda-benda di langit dan di bumi juga dipanggilnya "saudara". Saudara matahari, bulan, bintang, laut, dan api. 

Dengan menerima semua mahluk hidup dan benda-benda di alam sebagai saudara, maka Fransiskus membangun kesetaraan manusia dengan mahluk dan unsur alam lainnya. Inilah prinsip dasar keserasian manusia dalam relasinya dengan entitas lain di lingkungan alamnya.

Itulah dasarnya mengapa Santo Fransiskus ditabalkan sebagai santo pelindung lingkungan hidup.

Legenda Fransiskus mendamaikan serigala dengan warga kota Gubbio, Umbria Italia adalah narasi ideal tentang keserasian manusia dengan sesama mahluk hidup lain di lingkungan alaminya.

Dikisahkan pada satu waktu warga Gubbio diteror seekor serigala ganas yang bersarang di hutan luar kota. Bukan hanya ternak yang dimangsanya. Sejumlah warga kota pun dibunuhnya. Seluruh warga ketakutan. Tak ada yang berani keluar dari kota.

Warga kemudian sepakat minta tolong kepada Fransiskus untuk mengatasi teror serigala itu. Fransiskus kemudian datang menemui para warga. Setelah mendengar cerita mereka, dia pergi menemui serigala itu ke sarangnya.

Saat serigala tersebut melihat Fransiskus, dia segera berlari hendak menyerang. Fransiskus berdiri tenang.  Sambil membuat tanda salib, dia menyapa: "Saudara Serigala, datanglah padaku.  Dalam nama Yesus kuperintahkan kamu untuk tak menyakiti lagi siapapun."

Serta-merta serigala itu merebahkan diri di kaki Fransiskus. Kepalanya diletakkan pada tangan  biarawan itu. Dia tunduk dan memasrahkan diri. 

Mereka berdua kemudian bercakap-cakap. Serigala itu mengaku terpisah dari kawanannya. Karena kelaparan dia terpaksa memangsa ternak warga. Lalu sejumlah warga terpaksa dibunuhnya karena mereka mengancam keselamatan jiwanya.

Akhir cerita, Fransiskus kemudian mendamaikan warga Gubbio dengan serigala itu.  Disepakati serigala tersebut tinggal di dalam kota. Lalu warga kota akan memberinya makan tiap hari agar tidak kelaparan lagi.  

Pekarangan Domus Patrum SMCS tampak dari pintu pagar depan. Tapak teras domus di latar belakang. (Dokpri)
Pekarangan Domus Patrum SMCS tampak dari pintu pagar depan. Tapak teras domus di latar belakang. (Dokpri)

Permakultur sebagai Jejak Santo Fransiskus

Kapusin, sebutan umum untuk OFM Cap, satu dari tiga OFM,  memulai karya misi di Sumatera tahun 1911. Seterusnya, atau sejak 1912, seluruh pulau itu kemudian menjadi wilayah layanan ordo tersebut. 

Untuk mendukung karya misi, khususnya penambahan jumlah pastor, tahun 1950 Kapusin mendirikan sebuah seminari, sekolah (menengah) calon pastor di Padang. Seminari itu kemudian dipindahkan ke Pematang Siantar pada tahun 1954. Berada di bawah Keuskupan Agung Medan, seminari itu sampai kini dikelola Kapusin Medan. 

Sudah pasti SMCS adalah institusi sosialisasi prinsip-prinsip hidup Santo Fransiskus. Antara lain kemiskinan (kesahajaan) dalam hidup, pelestarian lingkungan, dan keselarasan hidup manusia dan segala mahluk lain. Selain, tentu saja, sosialisasi nilai-nilai seminari yaitu kesalehan (sanctitas), kebijakan (scientia), belarasa (societas), dan kesehatan (sanitas). (Bdk. Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II Pastores Dabo Vobis, 15/3/1992.)

Secara khusus, terkait pelestarian dan keserasian lingkungan hidup, Fransiskus mencetuskan dan menerapkan konsep "ruang alami".  Disebutkan bahwa  "Fransiskus meminta agar sebagian taman biara selalu dibiarkan tidak diolah, sehingga bunga dan tumbuhan liar bisa tumbuh di situ dan orang yang melihatnya dapat mengangkat budi mereka kepada Allah Pencipta keindahan itu." (Artikel 12 Laudato Si, 2015)  Dalam konteks tata kota, kelak hal ini dikenal sebagai "ruang terbuka hijau" -- 30 persen dari luas kota.

Di pemukiman-pemukiman pedesaan "ruang alami" semacam itu kemudian dikenal sebagai pekarangan belakang rumah. Itu sebidang areal yang dikelola "menyerupai hutan".  Berbagai tanaman produktif tahunan, pohon dan perdu, ditumbuhkan di situ sebagai sumber kebutuhan pangan dan uang tunai dalam jangka panjang.

Dalam dunia modern kini, pekarangan semacam itu dikenal sebagai "permakultur" -- kependekan dari permanent agricuture, pertanian permanen. Disebut budidaya permanen karena areal pekarangan seperti itu ditumbuhi tanaman "sekali tanam selamanya panen". Misalnya kelapa, nangka, rambutan, kecapi, dan melinjo untuk tanaman tahunan bertajuk tinggi. Lalu cengkeh, jambu biji, terung belanda, dan  takokak untuk tanaman bertajuk rendah atau perdu. Lalu beluntas, kumis kucing, dan sereh untuk tanaman penutup tanah. 

Semua tanaman permakultur itu hanya sekali tanam saja untuk panen berulang kali. Karena itu pengolahan tanah sangat minimalis, hanya menggali lubang tanam saja (minimum tillage). Beda secara diametral dengan, misalnya, areal padi sawah yang diolah ulang secara intensif setiap musim. 

Begitulah, pekarangan depan Domus Patrum SMCS itu kini telah menjadi sebidang permakultur dalam pelukan bangunan berbentuk "U". Tahun 1974-1976 seingatku dia bau berupa taman berisi tanaman pendek. Kini dia telah menjadi hutan kecil di depan kamar-kamar para pastor dan bruder.

Pohon nangkadak (nangka-cempedak) di pekarangan Domus Patrum berbuah lebat (Dokpri)
Pohon nangkadak (nangka-cempedak) di pekarangan Domus Patrum berbuah lebat (Dokpri)

Sambil menghirup kesegaran udara pagi, dan membiarkan sejuknya menjamah kulit wajah dan tanganku, kucoba mengamati permakultur di hadapanku. Ada tanaman apa saja di dalamnya?

Di sisi kiri dan kanan jalan setapak itu tegak pohon-pohon pucuk merah (Syzygium myrtifolium). Penanda bahwa hutan kecil ini tadinya adalah taman biasa. Di sisi selatan juga masih ada sepokok tanaman hias nusa indah (Mussaenda pubescens). 

Sisi utara area permakultur Domus Patrum SMCS (Dokpri)
Sisi utara area permakultur Domus Patrum SMCS (Dokpri)

Dipandang dari teras domus, sisi kanan atau utara permakultur yang rimbun itu tersusun dari pohon kelengkeng, cengkeh, sirsak, duku, dan jambu mawar. Tajuk-tajuknya saling bertaut membentuk kanopi hijau yang menaungi tanah secara penuh. Tapi sinar matahari masih bisa menerobos celah dedaunan serupa bilah-bilah cahaya yang menghunjam tanah.

Di sisi selatan jenis tanaman lebih beragam lagi. Ada dua pokok nangkadak (nangka-cempedak) yang rajin berbuah, jambu air, jambu biji, juga jambu mawar, manggis, dan mangga. Dua pohon nangkadak sedang berbuah lebat. Jambu biji juga sedang berbuah. 

Sisi selatan area permakultur Domus Patrum SMCS (Dokpri)
Sisi selatan area permakultur Domus Patrum SMCS (Dokpri)

Ruang kosong di bawah tajuk pepohonan pada dua sisi itu diisi dengan rangkaian tanaman hias dalam pot-pot kecil. Kehadiran tanaman hias itu adalah buah hobi pastor dan bruder penghuni domus. Mereka merawat tanaman hias untuk healing and balancing. 

"Permakultur yang baik," pujiku dalam hati, kagum. Aku yakin permakultur itu adalah buah kesengajaan para pastor Kapusin di Domus Patrum. Mereka konsekuen mengamalkan prinsip Fransiskus terkait pemeliharaan dan kelestarian lingkungan alam."

Permakultur Domus Patrum itu masih bisa lebih sempurna.  Ruang kosong di bawah tajuk pepohonan masih bisa diisi dengan tanaman penutup tanah yang bermanfaat. Misalnya kumis kucing, beluntas, sereh, dan laos. Dengan begitu tanaman penghuninya menjadi lebih lengkap: buah, herba. dan hias. 

Tanaman hias di bawah naungan pepohonan, aksen elok di area permakultur Domus Patrum SMCS (Dokpri)
Tanaman hias di bawah naungan pepohonan, aksen elok di area permakultur Domus Patrum SMCS (Dokpri)

Laudato Si, Terpujilah Tuhan

Kehadiran permakultur di Domus Patrum itu tentulah hasil praksis prinsip Santo Fransiskus tentang pelestarian dan keserasian lingkungan hidup. Penghutanan pekarangan itu pastilah bukan akibat kemalasan para pastor dan seminaris.

Boleh dikata, permakultur itu adalah wujud nyata anjuran Ensilik Paus Fransiskus Laudato Si (Terpujilah Tuhan, 2015). Ensiklik itu membabar masalah krisis ekologis (lingkungan global) akibat ulah manusia. Lalu, sebagai solusi, manusia diajak melakukan pertobatan ekologis. 

Tobat ekologis itu  sebuah langkah manusia untuk, pertama,  menerima dan menempatkan dirinya sebagai bagian integral dari lingkungan alam. Lalu,  kedua, manusia melakukan langkah-langkah kongkrit untuk memulihkan kelestarian dan keserasian relasi-relasi ekologis.

Saudara anjing di teras Domus Patrum SMCS, bagian integral dari ekosistem rumah Kapusin (Dokpri)
Saudara anjing di teras Domus Patrum SMCS, bagian integral dari ekosistem rumah Kapusin (Dokpri)

Frasa Laudato Si yang menjadi judul ensiklik itu diambil dari Kidung Saudara Matahari, gubahan Santo Fransiskus.  Kidung itu adalah puji syukur Fransiskus kepada Tuhan karena telah dikaruniai saudara-saudara Matahari, Bulan, Bintang, Angin, Air, Api dan Saudari Ibu Pertiwi. 

Khusus terkait Saudari Ibu Pertiwi, Santo Fransiskus berkata:

"Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami Ibu Pertiwi; dia menyuap dan mengasuh kami, dia menumbuhkan aneka ragam buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan."

Menjadi teranglah bahwa rerimbun tanaman buah-buahan, rerumputan (herba), dan bunga-bungaan di area permakultur Domus Patrum SMCS itu adalah kidung puji syukur kepada Tuhan.  Itulah buah sekaligus bukti pertobatan ekologis. 

Pada akhirnya sebuah harapan selayaknya disampaikan di sini. Semoga tak hanya di Domus Patrum SMCS, tapi di semua komplek layanan Kapusin Medan permakultur itu menjadi praksis Laudato Si yang jamak.

Biarlah permakultur menjadi jejak utama Santo Fransiskus yang termeteraikan pada setiap tempat OFM Kapusin berkarya. [eFTe]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun