Warga kemudian sepakat minta tolong kepada Fransiskus untuk mengatasi teror serigala itu. Fransiskus kemudian datang menemui para warga. Setelah mendengar cerita mereka, dia pergi menemui serigala itu ke sarangnya.
Saat serigala tersebut melihat Fransiskus, dia segera berlari hendak menyerang. Fransiskus berdiri tenang. Â Sambil membuat tanda salib, dia menyapa: "Saudara Serigala, datanglah padaku. Â Dalam nama Yesus kuperintahkan kamu untuk tak menyakiti lagi siapapun."
Serta-merta serigala itu merebahkan diri di kaki Fransiskus. Kepalanya diletakkan pada tangan  biarawan itu. Dia tunduk dan memasrahkan diri.Â
Mereka berdua kemudian bercakap-cakap. Serigala itu mengaku terpisah dari kawanannya. Karena kelaparan dia terpaksa memangsa ternak warga. Lalu sejumlah warga terpaksa dibunuhnya karena mereka mengancam keselamatan jiwanya.
Akhir cerita, Fransiskus kemudian mendamaikan warga Gubbio dengan serigala itu. Â Disepakati serigala tersebut tinggal di dalam kota. Lalu warga kota akan memberinya makan tiap hari agar tidak kelaparan lagi. Â
Permakultur sebagai Jejak Santo Fransiskus
Kapusin, sebutan umum untuk OFM Cap, satu dari tiga OFM, Â memulai karya misi di Sumatera tahun 1911. Seterusnya, atau sejak 1912, seluruh pulau itu kemudian menjadi wilayah layanan ordo tersebut.Â
Untuk mendukung karya misi, khususnya penambahan jumlah pastor, tahun 1950 Kapusin mendirikan sebuah seminari, sekolah (menengah) calon pastor di Padang. Seminari itu kemudian dipindahkan ke Pematang Siantar pada tahun 1954. Berada di bawah Keuskupan Agung Medan, seminari itu sampai kini dikelola Kapusin Medan.Â
Sudah pasti SMCS adalah institusi sosialisasi prinsip-prinsip hidup Santo Fransiskus. Antara lain kemiskinan (kesahajaan) dalam hidup, pelestarian lingkungan, dan keselarasan hidup manusia dan segala mahluk lain. Selain, tentu saja, sosialisasi nilai-nilai seminari yaitu kesalehan (sanctitas), kebijakan (scientia), belarasa (societas), dan kesehatan (sanitas). (Bdk. Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II Pastores Dabo Vobis, 15/3/1992.)
Secara khusus, terkait pelestarian dan keserasian lingkungan hidup, Fransiskus mencetuskan dan menerapkan konsep "ruang alami".  Disebutkan bahwa  "Fransiskus meminta agar sebagian taman biara selalu dibiarkan tidak diolah, sehingga bunga dan tumbuhan liar bisa tumbuh di situ dan orang yang melihatnya dapat mengangkat budi mereka kepada Allah Pencipta keindahan itu." (Artikel 12 Laudato Si, 2015)  Dalam konteks tata kota, kelak hal ini dikenal sebagai "ruang terbuka hijau" -- 30 persen dari luas kota.
Di pemukiman-pemukiman pedesaan "ruang alami" semacam itu kemudian dikenal sebagai pekarangan belakang rumah. Itu sebidang areal yang dikelola "menyerupai hutan". Â Berbagai tanaman produktif tahunan, pohon dan perdu, ditumbuhkan di situ sebagai sumber kebutuhan pangan dan uang tunai dalam jangka panjang.