Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pelajaran Menggambar, Secuil Kisah Formasi Imam di Seminari Menengah Siantar

23 Oktober 2024   15:57 Diperbarui: 24 Oktober 2024   10:15 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan peristiwa Jalan Salib "Yesus di Pangkuan Maria Ibu-Nya" karya Pastor Philipus OFM Cap di kapel SMCS (Dokumentasi Pribadi)

"Apakah pelajaran 'Menggambar' masih diberikan tersendiri di seminari atau digabung ke pelajaran 'Seni Budaya'?" Aku bertanya pada suatu pagi lewat aplikasi perpesanan kepada Pastor John Rufinus Saragih, OFM Cap, Rektor Seminari Menengah Christus Sacerdos (SMCS), Pematang Siantar.

"Tidak lagi, sudah digabung ke pelajaran 'Seni Budaya'," jawab Pastor John.  Bukan jawaban yang kuharapkan, tapi begitulah faktanya.

"Sayang sekali, Pastor. Padahal pelajaran menggambar itu penting untuk pembentukan sanctitas, scientia, societa, dan sanitas." Sesalku sambil mengingatkan empat pilar seminari, sekolah calon pastor Katolik.

Aku menutup percakapan, lalu berselancar cepat di internet memeriksa isi pelajaran "Seni Budaya" tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Betul, pelajaran itu memang menggabungkan seni rupa, seni musik, seni tari, dan seni lakon. 

Idealnya pengajar "Seni Budaya" itu ada empat orang, sesuai empat bidang seni yang menjadi substansi pelajaran. Tapi rasanya sulit berharap seperti itu. Ada satu orang guru untuk pelajaran "Seni Budaya" saja sudah syukur.

Ada gugatan terbit dalam hati. Mengapa pelajaran menggambar kini dipinggirkan dalam kurikulum pendidikan di Indonesia? Bahkan kini pun terpinggirkan dalam Kurikulum Merdeka yang digadang mengagungkan nilai-nilai mandiri, kritis, dan kreatif.

"Apakah Kurikulum Merdeka sedang mengingkari tujuannya sendiri?" tanyaku dalam hati. Pertanyaan itu membawa pikiranku pada pengalaman mengikuti pelajaran "Menggambar" di SMCS tahun 1974-1976. Waktu itu aku bersekolah di SMP Seminari Pematang Siantar  -- sejak 1990-an jenjang SMP ditutup dan tersisa jenjang SMA saja sampai hari ini.

Kolase panel-panel peristiwa Jalan Salib Kristus karya Pastor Philipus OFM Cap di kapel SMCS (Dokumentasi Pribadi)
Kolase panel-panel peristiwa Jalan Salib Kristus karya Pastor Philipus OFM Cap di kapel SMCS (Dokumentasi Pribadi)

Fungsi Gambar dalam Gereja Katolik 

Dalam konteks Gereja Katolik, gambar atau lukisan berdasar Kitab Suci itu adalah ekspresi dan inspirasi iman. Dari sisi penggambar dia merupakan ekspresi imannya. Sedangkan dari sisi umat penikmat, gambar itu menjadi sumber inspirasi dan penguat keimanan.

Di dalam gereja Katolik, kehadiran gambar-gambar peristiwa dan tokoh Kitab Suci itu ikut membangun aura sakral. Ambil contoh kapel Sistina, Vatikan. Lukisan-lukiran fresko karya Michaelangelo di langit-langit kapel terasa memancarkan aura sakral ke seluruh ruang kapel. Aura sakral itu membantu umat untuk lebih khusuk dalam doa atau ibadahnya.

Gambar atau lukisan, juga patung-patung orang kudus, sejak lama sudah diterima sebagai perangkat pemusatan perhatian dalam ibadah umat Katolik. Benda-benda itu bukan berhala untuk disembah. Mereka hanya berfungsi membantu penciptaan suasana sakral sehingga ibadah menjadi lebih fokus dan khidmad.

Selain itu gambar-gambar peristiwa dan tokoh Kitab Suci, khususnya tentang Yesus dan Maria Ibu Yesus, juga membantu proses tumbuh iman umat Katolik. Sebagai contoh, pada tahun 1960-an di dalam gereja Katolik Panatapan (pseudonim) Toba, kampungku, tergantung 14 panel gambar/lukisan. Saat aku masuk Sekolah Minggu pada usia 6 tahun, guru sekolah menerangkan  satu per satu gambar itu. Barulah aku tahu bahwa 14 panel itu menggambarkan 14 peristiwa penting dalam Kisah Sengsara Yesus atau Kisah Jalan Salib Kristus.

Gambar atau panel 14 peristiwa Jalan Salib itu menjadi standar dalam gereja Katolik. Panel-panel itu menjadi penuntun saat umat mingikuti ibadah Doa Jalan Salib, lazimnya pada masa Pra-Paskah. Bagiku sendiri, gambar-gambar itu membantu penghayatan akan pengorbanan diri Yesus Kristus demi menyelamatkan umat-Nya dari dosa.

Pastor Philipus, OFM Cap. (86 tahun), guru pelajaran
Pastor Philipus, OFM Cap. (86 tahun), guru pelajaran "Menggambar" di SMCS tahun 1972-2007  (Sumber: Youtube Poltak Sihotang, 2023)

Menggambar dan Formasi Imam Katolik

Uraian di atas baru menyangkut fungsi gambar-gambar peristiwa dan tokoh Kitab Suci dalam Gereja Katolik -- yang kerap dilabel  "gambar kudus". Fungsinya lebih pada membantu umat membangun suasana dalam  proses pembentukan kesalehan (sanctitas), khususnya doa dan ibadah sakramental. 

Tapi bagi seorang imam, gambar itu sejatinya bukan sekadar urusan pembentukan kesalehan. Bagi imam, lebih dari produk atau kreasi gambar, proses menggambar itu menjadi salah satu kegiatan dalam proses formasi atau pembentukan nilai-nilai spiritualitas, intelektualitas, humanitas, dan penggembalaan (bdk. Dokumen Pastores Dabo Vobis, 25/3/1992). 

Aku hendak jelaskan hal tersebut berdasar pengalamanku sebagai seminaris di SMCS tahun 1974-1976. Itu masa aku menjalani pendidikan calon imam di SMP Seminari Menengah Pematang Siantar.

Salah satu mata pelajaran penting yang menyenangkan waktu itu adalah "Menggambar". Pelajaran ini sudah ada sejak tahun-tahun pertama SMCS, sewaktu masih berkedudukan di kota Padang (1950-1954). Guru pelajaran "Menggambar" waktu itu adalah Frater Ranulfo, guru SMP Frater Padang.

Ketika aku masuk SMCS Siantar tahun 1974, guru pelajaran "Menggambar" adalah Pastor Philipus, OFM Cap., seorang pastor Belanda. Khas dengan jenggot Fransiskannya, Pastor Philipus adalah perupa aliran ekspresionis. Karya-karya gambar/lukisan dan patungnya selalu menampilkan emosi yang kuat di atas bentuk-bentuk yang anarkis. (Baca: Felix Tani, "Berjumpa Bunda Teresa di Kapel Seminari Menengah Siantar", kompasiana.com, 3/6J2024).

Karena punya bakat kecil menggambar, rasanya dulu aku  adalah seminaris paling bahagia setiap kali pelajaran "Menggambar". Waktu itu pelajaran tersebut diadakan sekali seminggu, hanya dan hanya menggambar. 

Apa yang diajarkan Pastor Philipus kepada kami seminaris dalam waktu tiga tahun? Sederhana, hanya dasar-dasar menggambar menggunakan pensil, tinta (pena), dan cat air di atas kertas. 

Dari sudut pandang orang luar, pelajaran menggambar dari Pastor Philipus itu mungkin terkesan biasa saja. Tapi dari sudut pandang kami sebagai pelaku, itu bukan hal biasa melainkan sesuatu yang  luar biasa.

Di tangan Pastor Philipus pelajaran menggambar adalah wahana formasi imam. Menggambar adalah proses sosialisasi empat nilai seminari di SMCS yaitu sanctitas, scientia, societa, dan sanitas -- merujuk nilai-nilai spiritualitas, intelektualitas, humanitas, dan penggembalaan menurut Pastores Dabo Vobis. 

Sanctitas. Pastor Philipus, tanpa disadari para seminaris, telah menjadikan pelajaran menggambar sebagai latihan meditasi. Mengambar itu mengandaikan pemusatan dan penjernihan pikiran secara rileks, sehingga bisa menghasilkan gambar bernilai seni. Penjernihan pikiran di situ bermakna pengudusan, membersihkan pikiran dari hal-hal yang bersifat mengotori atau merusak. 

Suatu hari kami diminta untuk menggambar pohon. Kami keluar dari kelas ke tanah lapang.  Di situ ada pohon rambutan, mangga, dan cemara sebagai modelnya. Medium gambar adalah pinsil di atas kertas.

Aku menggambar pohon mangga. Hasilnya bagus, mendapat pujian dari Pastor Philipus. Aku senang sekali hingga tergoda membuat gambar itu lebih bagus lagi. Kuambillah pena dan tinta cina, lalu mengarsir tuntas gambar itu.  

"Sayang sekali. Gambar pensil tadi sudah bagus dirusak dengan tinta seperti ini," tegur Pastor Philipus dengan nada sangat kecewa. Kecewa karena aku tergoda oleh "setan tinta cina", sehingga gambar yang seharusnya menggunakan medium "pinsil di atas kertas" menjadi rusak. 

Itu artinya aku gagal dalam latihan kesalehan, karena membiarkan pikiranku dicemari keinginan untuk menjadi lebih hebat dan dipuji. Hasilnya, hanya kerusakan.

Scientia. Menggambar itu menuangkan imajinasi, buah kreativitas, dalam bentuk gambar. Imajinasi itu tidak dipetik dari awan, tapi dibangun di atas sains (science) dan pengetahuan (knowledge). Kegiatan menggambar dengan demikian adalah penerapan sains dan pengetahuan semisal fisika, geografi, geometri, astronomi, biologi, sosiologi dan sebagainya untuk mewujudkan imajinasi dalam bentuk gambar. 

Suatu hari kami menggambar awan di luar ruangan.  Itu artinya kami harus membingkai awan secara imajiner di langit. Lalu memindahkan bentuk awan dalam bingkai itu ke atas kertas gambar menggunakan pensil. 

Tampaknya mudah, kenyataannya tidak demikian. Kami harus memperhitungkan arah dan kecepatan angin yang mungkin menggeser dan mengubah bentuk awan. Juga memperhitungkan posisi matahari dan arah sorotan cahayanya, untuk memastikan bidang terang dan gelap pada awan. 

Itu semua memerlukan penerapan pengetahuan dasar tentang fisika, geografi, geometri, dan astronomi. Dengan begitu gambar menjadi logis. Bidang gelap awan misalnya harus konsisten berada di sisi barat jika matahari masih di timur. Jangan sampai awan pagi bidang gelapnya di sisi timur.

Lalu pemindahan obyek awan di langit itu ke atas kertas harus dilakukan secepat mungkin dalam bentuk sketsa. Tidak boleh berlama-lama karena pola atau bentuk awan bisa berubah dengan cepat. Setelah sketsa dibuat dengan cepat, barulah penyelesaian gambar. Pada tahap ini imajinasi bekerja bebas, mengubah pola dan bentuk awan agar lebih artistik. Realitas model awan di langit, terserahlah.

Societa. Dalam Gereja Katolik belarasa (societa) itu dasarnya persaudaraan berbasis iman Katolik. Belarasa itu tak muncul begitu saja, tapi harus melalui sosialisasi nilai persaudaraan dan kepedulian pada sesama. 

Nilai belarasa itu sebenarnya bisa saja terinternalisasi lewat kegiatan menggambar kisah-kisah dalam Injil, semisal kisah orang Samaria yang baik hati, Yesus memberi makan 5,000 orang, Veronika mengusap wajah Yesus di "Jalan Salib" dan sebagainya. Tapi itu kelak pada tahap lanjut. Aku tak sempat tiba di tahap itu.

Aku hanya sempat ikut belajar membuat gambar mosaik sebagai wahana menumbuhkan nilai belarasa. Awalnya kami tidak tahu sebenarnya mau membuat apa. Pastor Philipus hanya membagikan dua potong kertas sebangun (diberi nomor sama) kepada setiap orang, satu kecil berkelir dan satu lagi besar putih kosong. Lalu masing-masing diminta menggambari potongan kertas besar mengikuti pola warna potongan kertas kecil. 

Setelah semua potongan kertas besar diwarnai, Pastor Philipus kemudian menyusunnya pada selembar kertas gambar besar, sesuai urutan nomor. Hasilnya adalah gambar mosaik kepala manusia. Kami takjub dengan hasil kerja yang tak terduga itu.

Proses menggambar mosaik itu mengajarkan nilai kerjasama, peduli satu sama lain, untuk mewujudkan tujuan bersama. Tidak boleh ada yang bertindak semaunya sendiri. Jika ada yang demikian maka gambar mosaik akan buruk, atau tak sesuai harapan. Orang-orang yang egoistik dalam masyarakat juga akan menciptakan wajah sosial yang kacau, miskin harmoni dan cinta-kasih.

Sanitas. Jiwa dan raga itu dwitunggal yang saling pengaruh secara linear. Semakin sehat jiwa semakin sehat pula raga dan sebaliknya.

Pelajaran mengambar di seminari termasuk kegiatan membina kesehatan jiwa dan raga. Penjelasannya sederhana. Menggambar itu, jika kini merujuk Michel Foucault, merupakan bagian dari kegiatan besar manusia melukis hidupnya seindah mungkin.

Menghasilkan karya gambar yang indah dengan demikian adalah cara seseorang memperhatikan dirinya dengan baik dan, karena itu, dia pasti bisa juga memperhatikan orang lain secara baik. Patokan Injilinya, perbuatlah kebaikan pada orang lain sebagaimana engkau perbuat pada dirimu sendiri.

Begitulah Pastor Philipus menjadikan pelajaran menggambar sebagai jalan bagi seminaris untuk membangun model terbaik dirinya. Dia tidak menentukan standar baku untuk karya gambar baik, sebab dia yakin karya gambar setiap orang adalah yang terbaik dari diri orang itu.  

Kegiatan menggambar bersama Pastor Philipus dengan demikian  adalah suatu relaksasi atau bahkan rekreasi. Tidak terbebani dengan target baku. Karena itu hati menjadi gembira dan tubuh menjadi rileks. Begitulah jiwa-raga menjadi sehat. Itu modal penting bagi seorang imam.

Begitulah pelajaran "Menggambar" bersama Pastor Philipus di SMCS dulu menjadi bagian dari proses formasi (pembentukan) calon imam dan kelak imam Katolik. Ini bukan untuk mengatakan bahwa kalau seseorang jago menggambar maka dia layak menjadi pastor. Bukan, bukan seperti itu.  Sebab aku waktu itu jago menggambar, nilaiku 9 di STTB SMP Seminari, tapi aku dikeluarkan tuh dari seminari.

Lukisan peristiwa Jalan Salib
Lukisan peristiwa Jalan Salib "Yesus Bertemu Ibu-Nya" karya Pastor Philipus OFM Cap. di kapel SMCS (Dokumentasi Pribadi)

Kembalikan Pelajaran Menggambar

Mengingat arti penting pelajaran "Menggambar" dalam proses formasi imam Katolik, maka ada baiknya pelajaran itu dikembalikan menjadi mata pelajaran tersendiri. Tidak digabungkan dalam paket pelajaran "Seni Budaya" yang berisiko menciutkan manfaat pelajaran itu dalam pembentukan nilai-nilai seminari (sanctitas, scientia, societa, sanitas).

Jika Kurikulum Nasional (Merdeka) tidak memberi ruang formal, maka pelajaran "Menggambar" bisa saja dijadikan sebagai muatan khas lokal, ciri unggul seminari. Tujuannya bukan untuk menjadikan seminaris atau pastor menjadi seniman gambar/lukis. Tapi, dengan asumsi setiap orang pada dasarnya bisa menggambar, pelajaran itu memberi kontribusi penting dalam sosialisasi nilai-nilai dasar seminari.

Saran di atas sebenarnya berlaku juga untuk sekolah umum. Dalam konteks Kurikulum Merdeka, secara langsung pelajaran menggambar menyumbang pada khususnya pembentukan nilai-nilai kemandirian, kekritisan, dan kreativitas. Pelajaran "Menggambar" itu adalah jenis pelajaran yang benar-benar memerdekakan siswa.

Sifat "memerdekakan siswa" itu harus menjadi catatan penting. Jangan sampai silabus pelajaran "Menggambar" menjadi kerangkeng kemandirian, kekritisan, dan kreativitas.  

Ada kecenderungan seperti itu dalam pelajaran menggambar di sekolah  dari dulu sampai kini. Terutama karena silabusnya dibakukan pemerintah dan  gurunya bukan dari kalangan pelaku seni rupa yang paham bahwa menggambar adalah ekspresi kemerdekaan berpikir. [eFTe]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun