Gambar atau lukisan, juga patung-patung orang kudus, sejak lama sudah diterima sebagai perangkat pemusatan perhatian dalam ibadah umat Katolik. Benda-benda itu bukan berhala untuk disembah. Mereka hanya berfungsi membantu penciptaan suasana sakral sehingga ibadah menjadi lebih fokus dan khidmad.
Selain itu gambar-gambar peristiwa dan tokoh Kitab Suci, khususnya tentang Yesus dan Maria Ibu Yesus, juga membantu proses tumbuh iman umat Katolik. Sebagai contoh, pada tahun 1960-an di dalam gereja Katolik Panatapan (pseudonim) Toba, kampungku, tergantung 14 panel gambar/lukisan. Saat aku masuk Sekolah Minggu pada usia 6 tahun, guru sekolah menerangkan  satu per satu gambar itu. Barulah aku tahu bahwa 14 panel itu menggambarkan 14 peristiwa penting dalam Kisah Sengsara Yesus atau Kisah Jalan Salib Kristus.
Gambar atau panel 14 peristiwa Jalan Salib itu menjadi standar dalam gereja Katolik. Panel-panel itu menjadi penuntun saat umat mingikuti ibadah Doa Jalan Salib, lazimnya pada masa Pra-Paskah. Bagiku sendiri, gambar-gambar itu membantu penghayatan akan pengorbanan diri Yesus Kristus demi menyelamatkan umat-Nya dari dosa.
Menggambar dan Formasi Imam Katolik
Uraian di atas baru menyangkut fungsi gambar-gambar peristiwa dan tokoh Kitab Suci dalam Gereja Katolik -- yang kerap dilabel  "gambar kudus". Fungsinya lebih pada membantu umat membangun suasana dalam  proses pembentukan kesalehan (sanctitas), khususnya doa dan ibadah sakramental.Â
Tapi bagi seorang imam, gambar itu sejatinya bukan sekadar urusan pembentukan kesalehan. Bagi imam, lebih dari produk atau kreasi gambar, proses menggambar itu menjadi salah satu kegiatan dalam proses formasi atau pembentukan nilai-nilai spiritualitas, intelektualitas, humanitas, dan penggembalaan (bdk. Dokumen Pastores Dabo Vobis, 25/3/1992).Â
Aku hendak jelaskan hal tersebut berdasar pengalamanku sebagai seminaris di SMCS tahun 1974-1976. Itu masa aku menjalani pendidikan calon imam di SMP Seminari Menengah Pematang Siantar.
Salah satu mata pelajaran penting yang menyenangkan waktu itu adalah "Menggambar". Pelajaran ini sudah ada sejak tahun-tahun pertama SMCS, sewaktu masih berkedudukan di kota Padang (1950-1954). Guru pelajaran "Menggambar" waktu itu adalah Frater Ranulfo, guru SMP Frater Padang.
Ketika aku masuk SMCS Siantar tahun 1974, guru pelajaran "Menggambar" adalah Pastor Philipus, OFM Cap., seorang pastor Belanda. Khas dengan jenggot Fransiskannya, Pastor Philipus adalah perupa aliran ekspresionis. Karya-karya gambar/lukisan dan patungnya selalu menampilkan emosi yang kuat di atas bentuk-bentuk yang anarkis. (Baca: Felix Tani, "Berjumpa Bunda Teresa di Kapel Seminari Menengah Siantar", kompasiana.com, 3/6J2024).
Karena punya bakat kecil menggambar, rasanya dulu aku  adalah seminaris paling bahagia setiap kali pelajaran "Menggambar". Waktu itu pelajaran tersebut diadakan sekali seminggu, hanya dan hanya menggambar.Â
Apa yang diajarkan Pastor Philipus kepada kami seminaris dalam waktu tiga tahun? Sederhana, hanya dasar-dasar menggambar menggunakan pensil, tinta (pena), dan cat air di atas kertas.Â