Dari sudut pandang orang luar, pelajaran menggambar dari Pastor Philipus itu mungkin terkesan biasa saja. Tapi dari sudut pandang kami sebagai pelaku, itu bukan hal biasa melainkan sesuatu yang  luar biasa.
Di tangan Pastor Philipus pelajaran menggambar adalah wahana formasi imam. Menggambar adalah proses sosialisasi empat nilai seminari di SMCS yaitu sanctitas, scientia, societa, dan sanitas -- merujuk nilai-nilai spiritualitas, intelektualitas, humanitas, dan penggembalaan menurut Pastores Dabo Vobis.Â
Sanctitas. Pastor Philipus, tanpa disadari para seminaris, telah menjadikan pelajaran menggambar sebagai latihan meditasi. Mengambar itu mengandaikan pemusatan dan penjernihan pikiran secara rileks, sehingga bisa menghasilkan gambar bernilai seni. Penjernihan pikiran di situ bermakna pengudusan, membersihkan pikiran dari hal-hal yang bersifat mengotori atau merusak.Â
Suatu hari kami diminta untuk menggambar pohon. Kami keluar dari kelas ke tanah lapang. Â Di situ ada pohon rambutan, mangga, dan cemara sebagai modelnya. Medium gambar adalah pinsil di atas kertas.
Aku menggambar pohon mangga. Hasilnya bagus, mendapat pujian dari Pastor Philipus. Aku senang sekali hingga tergoda membuat gambar itu lebih bagus lagi. Kuambillah pena dan tinta cina, lalu mengarsir tuntas gambar itu. Â
"Sayang sekali. Gambar pensil tadi sudah bagus dirusak dengan tinta seperti ini," tegur Pastor Philipus dengan nada sangat kecewa. Kecewa karena aku tergoda oleh "setan tinta cina", sehingga gambar yang seharusnya menggunakan medium "pinsil di atas kertas" menjadi rusak.Â
Itu artinya aku gagal dalam latihan kesalehan, karena membiarkan pikiranku dicemari keinginan untuk menjadi lebih hebat dan dipuji. Hasilnya, hanya kerusakan.
Scientia. Menggambar itu menuangkan imajinasi, buah kreativitas, dalam bentuk gambar. Imajinasi itu tidak dipetik dari awan, tapi dibangun di atas sains (science) dan pengetahuan (knowledge). Kegiatan menggambar dengan demikian adalah penerapan sains dan pengetahuan semisal fisika, geografi, geometri, astronomi, biologi, sosiologi dan sebagainya untuk mewujudkan imajinasi dalam bentuk gambar.Â
Suatu hari kami menggambar awan di luar ruangan. Â Itu artinya kami harus membingkai awan secara imajiner di langit. Lalu memindahkan bentuk awan dalam bingkai itu ke atas kertas gambar menggunakan pensil.Â
Tampaknya mudah, kenyataannya tidak demikian. Kami harus memperhitungkan arah dan kecepatan angin yang mungkin menggeser dan mengubah bentuk awan. Juga memperhitungkan posisi matahari dan arah sorotan cahayanya, untuk memastikan bidang terang dan gelap pada awan.Â
Itu semua memerlukan penerapan pengetahuan dasar tentang fisika, geografi, geometri, dan astronomi. Dengan begitu gambar menjadi logis. Bidang gelap awan misalnya harus konsisten berada di sisi barat jika matahari masih di timur. Jangan sampai awan pagi bidang gelapnya di sisi timur.