Sebagai sebuah ekosistem pendidikan calon pastor, tak ada jalan mudah bagi SMCS untuk tiba pada bentuknya yang sekarang. Sekolah ini telah dibangun dengan cara trial and error, rentetan kesalahan dan upaya perbaikan tak kenal lelah.
Kota Padang, Jumat 1 September 1950. Tepat pukul 06.00 pagi, di sebuah gedung bekas panti asuhan, sebuah Perayaan Ekaristi diadakan untuk mengawali pembukaan sekolah seminari. Perayaan Ekaristi itu dipimpin oleh Pastor Bernardinus van de Laar, OFM Cap. Pesertanya antara lain 20 orang seminaris angkatan pertama. Mereka berasal dari Tapanuli (16 orang), Simalungun (2 orang), dan Tanah Karo (2 orang).
Tepat pukul 07.30, lonceng seminari berdentang, tanda pelajaran pertama dimulai. Dengan itu Seminari Menengah Vikariat Apostolik Medan, kelak menjadi SMCS, resmi dibuka.
Waktu itu Padang masih berada di bawah Vikariat Apostolik (Keuskupan) Medan. Vicarius Apostolicus (Uskup) dijabat oleh Mgr. Mathias Brans, OFM Cap. Pendirian Seminari Padang itu diputuskannya tahun 1949, atas desakan Mgr. De Jonghe d'Ardoye, Duta Vatikan di Jakarta waktu itu.
Pastor van de Laar dan Pastor Willems, keduanya pastor tentara, memulai seminari dengan konsep yang tak jelas. Mereka tidak memikirkan seminari sebagai SMP atau SMA.
Mereka hanya berpikir seminari berfungsi mempersiapkan siswa masuk Seminari Tinggi, untuk selanjutnya menjadi imam. Untuk itu pendidikan terfokus pada pelajaran Bahasa Latin, Agama, Liturgi, pengembangan kepribadian, dan penegakan disiplin.
Persis di situlah letak kesalahannya. Penerimaan 20 seminaris itu ternyata tidak melalui ujian seleksi. Siapa saja yang mau menjadi pastor, tanpa pandang usia dan latar pendidikan, langsung diterima. Syaratnya cuma persetujuan orangtua, voorhanger, dan guru sekolah.Â
Akibatnya profil siswa menjadi sangat variatif. Dari segi usia, ada yang 14 tahun ada pula 20 tahun. Latar pendidikannya sebagian lulusan SD dan sebagian lagi keluaran kelas satu dan dua SMP. Bahkan ada yang sudah sempat belajar di Opleiding Voor Volksonderwijzers (OVVO, sekolah guru).Â
Benar saja, dua minggu kemudian proses belajar mandeg. Sebab mustahil mengajarkan materi yang sama kepada murid dengan latar belakang tak setara, tanpa mengorbankan salah satu kelompok.Â
Solusinya, seminaris disuruh belajar di SMP Katolik, Padang. Hanya pelajaran Bahasa Latin, Bahasa Belanda, Agama, dan Liturgi dipelajari di asrama seminari.Â
Sebulan kemudian diambil kebijakan baru. Semua seminaris, kecuali yang sudah pernah belajar di OVVO, disetarakan menjadi kelas Probatorium (Persiapan) dan belajar di seminari. Akibatnya siswa yang sudah pernah belajar di SMP patah semangat. Timbul ketidak-puasan, lalu dua siswa keluar dari seminari.