Sabtu pagi, pukul 05.00 WIB. Ambarawa belum sepenuhnya bangun. Atau sudah bangun, tapi masih terkantuk-kantuk.
Di sebuah kamar di Rumah Retret Pangesti Wening, aku sudah bangun, dan bersiap-siap berangkat sendiri ke Gua Maria Kerep. Tadi malam tiga orang pastor dan seorang suster, masih terbilang muda, mengajakku berdoa sama-sama ke sana. Aku menolak dengan alasan lelah. Yang sebenarnya, aku khawatir tak kuat mengikuti cara berdoa para pastor dan suster muda itu.
"Jalan ke sana mendaki, agak berat. Sekitar satu kilometer jaraknya dari sini. Jalan kaki, ya, paling lama duapuluh menitlah." Pastor Wid (pseudonim) memberitahuku kemarin. "Baguslah. Sekalian olahraga pagi," kataku dalam hati.
Begitulah, aku keluar dari komplek Pangesti Wening, lalu menyusuri trotoar Jalan Sugiyapranata agak menanjak ke arah timur. Tiba di pertigaan, di pangkal Jalan Tentara Pelajar, jalan masuk ke Gua Maria di Dusun Kerep Kelurahan Panjang, seorang lelaki menyapa dari terminal di seberang jalan. "Mau naik ke gua, Pak?" Aku hanya mengangguk lalu berbalik melangkah mulai menyusuri jalan menanjak ke arah utara menuju gua.
Barangkali lelaki tadi hendak menawarkan jasa angkot untuk naik ke atas. Kata seorang pastor di Pangesti Wening, ongkos ke gua itu Rp 100,000 per angkot pergi-pulang. Biasanya para supir angkot itu panen pada bulan-bulan Maria (Mei) dan Rosario (Oktober). Itu bulan-bulan ramai ziarah doa ke Gua Maria.
Pastor Wid benar belaka. Jalan menuju gua itu menanjak cukup tajam. Itu bagian bawah lereng Gunung Ungaran. Memang berat untukku, terutama karena harus membawa beban perut yang sudah membuncit. Dengkul dan tumit terasa pegal, mungkin karena kaget menapak jalan menanjak.Â
"Barangkali," pikirku sambil mengatur napas, "beginilah rasanya Sisyphus menjalani hukuman dari Zeus, mengangkut sebongkah batu besar ke puncak bukit." Untuk pertama kali dalam hidupku, aku menganggap perut buncitku sebagai sebongkah batu hukuman.
Sekitar seratusan meter dari komplek gua, aku berhenti sejenak, mengatur napas lagi sambil balik badan memandang jauh ke arah selatan. Ah, indah sekali. Samar kebiruan di sana tampak puncak-puncak gunung Telomoyo, Kelir, Merbabu, dan Merapi. "Ah, lokasi gua yang elok," gumamku tanpa sadar.
Menjelang gerbang komplek gua, aku mengambil langkah terbilang dungu. Langkah kakiku tertarik mengarah ke kiri, menuju patung Maria Assumpta, Maria Diangkat ke Surga, yang menjulang setinggi 42 meter di ujung barat lapangan parkir. Ternyata di belakang patung itu hanya ada jurang. Dibangun tahun 2017, patung itu kini menjadi tetenger baru Gua Maria Kerep.
"Gua Maria di sebelah timur sana, Pak. Ini lapangan parkir." Menjawab pertanyaanku yang kebingungan, satu dari dua orang perempuan tua berambut putih yang berjalan-jalan di situ membertikahuku lokasi gua. "Matur nuwun, inggih," balasku santun sambil melangkah menuju gerbang gua.