Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Bunda Maria dan Pecel Yu Jum di Gua Kerep Ambarawa

4 Juli 2024   16:31 Diperbarui: 4 Juli 2024   20:31 1113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sabtu pagi, pukul 05.00 WIB. Ambarawa belum sepenuhnya bangun. Atau sudah bangun, tapi masih terkantuk-kantuk.

Di sebuah kamar di Rumah Retret Pangesti Wening, aku sudah bangun, dan bersiap-siap berangkat sendiri ke Gua Maria Kerep. Tadi malam tiga orang pastor dan seorang suster, masih terbilang muda, mengajakku berdoa sama-sama ke sana. Aku menolak dengan alasan lelah. Yang sebenarnya, aku khawatir tak kuat mengikuti cara berdoa para pastor dan suster muda itu.

"Jalan ke sana mendaki, agak berat. Sekitar satu kilometer jaraknya dari sini. Jalan kaki, ya, paling lama duapuluh menitlah." Pastor Wid (pseudonim) memberitahuku kemarin. "Baguslah. Sekalian olahraga pagi," kataku dalam hati.

Begitulah, aku keluar dari komplek Pangesti Wening, lalu menyusuri trotoar Jalan Sugiyapranata agak menanjak ke arah timur. Tiba di pertigaan, di pangkal Jalan Tentara Pelajar, jalan masuk ke Gua Maria di Dusun Kerep Kelurahan Panjang, seorang lelaki menyapa dari terminal di seberang jalan. "Mau naik ke gua, Pak?" Aku hanya mengangguk lalu berbalik melangkah mulai menyusuri jalan menanjak ke arah utara menuju gua.

Barangkali lelaki tadi hendak menawarkan jasa angkot untuk naik ke atas. Kata seorang pastor di Pangesti Wening, ongkos ke gua itu Rp 100,000 per angkot pergi-pulang. Biasanya para supir angkot itu panen pada bulan-bulan Maria (Mei) dan Rosario (Oktober). Itu bulan-bulan ramai ziarah doa ke Gua Maria.

Pastor Wid benar belaka. Jalan menuju gua itu menanjak cukup tajam. Itu bagian bawah lereng Gunung Ungaran. Memang berat untukku, terutama karena harus membawa beban perut yang sudah membuncit. Dengkul dan tumit terasa pegal, mungkin karena kaget menapak jalan menanjak. 

"Barangkali," pikirku sambil mengatur napas, "beginilah rasanya Sisyphus menjalani hukuman dari Zeus, mengangkut sebongkah batu besar ke puncak bukit." Untuk pertama kali dalam hidupku, aku menganggap perut buncitku sebagai sebongkah batu hukuman.

Pemandangan Gunung Telomoyo, Merbabu, dan Merapi di selatan Gua Maria Kerep (Dokumentasi Pribadi)
Pemandangan Gunung Telomoyo, Merbabu, dan Merapi di selatan Gua Maria Kerep (Dokumentasi Pribadi)

Sekitar seratusan meter dari komplek gua, aku berhenti sejenak, mengatur napas lagi sambil balik badan memandang jauh ke arah selatan. Ah, indah sekali. Samar kebiruan di sana tampak puncak-puncak gunung Telomoyo, Kelir, Merbabu, dan Merapi. "Ah, lokasi gua yang elok," gumamku tanpa sadar.

Menjelang gerbang komplek gua, aku mengambil langkah terbilang dungu. Langkah kakiku tertarik mengarah ke kiri, menuju patung Maria Assumpta, Maria Diangkat ke Surga, yang menjulang setinggi 42 meter di ujung barat lapangan parkir. Ternyata di belakang patung itu hanya ada jurang. Dibangun tahun 2017, patung itu kini menjadi tetenger baru Gua Maria Kerep.

"Gua Maria di sebelah timur sana, Pak. Ini lapangan parkir." Menjawab pertanyaanku yang kebingungan, satu dari dua orang perempuan tua berambut putih yang berjalan-jalan di situ membertikahuku lokasi gua. "Matur nuwun, inggih," balasku santun sambil melangkah menuju gerbang gua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun