Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Bunda Maria dan Pecel Yu Jum di Gua Kerep Ambarawa

4 Juli 2024   16:31 Diperbarui: 4 Juli 2024   20:31 1127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Patung Bunda Maria dalam gua di Gua Maria Kerep Ambarawa (Dokumentasi Pribadi)

Pecel Yu Jum agaknya sudah menjadi penanda bagi Gua Maria Kerep, Ambarawa. Itu yang kutangkap dari obrolan daring dengan kawan-kawan se-WAG yang sudah pernah berziarah ke sana.

Mereka tahu aku akan berziarah ke Gua Maria Kerep, di sela-sela waktu kegiatan di Rumah Retret Pangesti Wening, Ambarawa. Gua itu tak jauh di belakang rumah retret tersebut.

"Jangan lupa mampir di warung pecel Yu Jum." Seorang kawan, terbilang pejalan, mengingatkan dalam percakapan via WAG.

"Heran, kenapa Yu Jum yang lebih dulu disebutnya. Kenapa bukan Bunda Maria," pikirku. 

Katanya lagi, Yu Jum yang sekarang ini adalah Yu Jum muda, anak perempuan Yu Jum tua. "Hmm, ada story apa kawan itu dengan Yu Jum muda?"

"Jangan lupa, ada warung b-satu dan b-dua di bawah, di simpang jalan masuk ke gua." Seorang teman lain mengingatkan.

Astaga! Kok yang diingatkan soal pecal, B1 dan B2, sih? Aku ini berniat wisata rohani ke Gua Maria Kerep, lho, bukan wisata kuliner. 

Tapi menambahkan peluang wisata kuliner, atau yang lainnya, pada suatu destinasi wisata rohani mungkin sebuah kelaziman juga kini. Di gereja beberapa kali saya mendapat brosur promosi wisata "ziarek", ziarah dan rekreasi ke Gua Maria Lourdes, Prancis. Pemasar mungkin berpikir, "Kalau tak minat ziarah, setidaknya tertarik ikut rekreasi ke Prancis."

Lha, kalau begitu sisi rekreasi itu bisa bermakna ganda, sebagai tujuan utama atau sebagai pelengkap. Lalu ikhwal pecel Yu Jum itu, apakah sebagai tujuan utamakah bagiku, atau sekadar pelengkap saja?

Patung Maria Assumpta di sisi barat lapangan parkir Gua Maria Kerep (Dokumentasi Pribadi)
Patung Maria Assumpta di sisi barat lapangan parkir Gua Maria Kerep (Dokumentasi Pribadi)

Seperti Sisyphus Mengangkut Batu ke Puncak Bukit

Sabtu pagi, pukul 05.00 WIB. Ambarawa belum sepenuhnya bangun. Atau sudah bangun, tapi masih terkantuk-kantuk.

Di sebuah kamar di Rumah Retret Pangesti Wening, aku sudah bangun, dan bersiap-siap berangkat sendiri ke Gua Maria Kerep. Tadi malam tiga orang pastor dan seorang suster, masih terbilang muda, mengajakku berdoa sama-sama ke sana. Aku menolak dengan alasan lelah. Yang sebenarnya, aku khawatir tak kuat mengikuti cara berdoa para pastor dan suster muda itu.

"Jalan ke sana mendaki, agak berat. Sekitar satu kilometer jaraknya dari sini. Jalan kaki, ya, paling lama duapuluh menitlah." Pastor Wid (pseudonim) memberitahuku kemarin. "Baguslah. Sekalian olahraga pagi," kataku dalam hati.

Begitulah, aku keluar dari komplek Pangesti Wening, lalu menyusuri trotoar Jalan Sugiyapranata agak menanjak ke arah timur. Tiba di pertigaan, di pangkal Jalan Tentara Pelajar, jalan masuk ke Gua Maria di Dusun Kerep Kelurahan Panjang, seorang lelaki menyapa dari terminal di seberang jalan. "Mau naik ke gua, Pak?" Aku hanya mengangguk lalu berbalik melangkah mulai menyusuri jalan menanjak ke arah utara menuju gua.

Barangkali lelaki tadi hendak menawarkan jasa angkot untuk naik ke atas. Kata seorang pastor di Pangesti Wening, ongkos ke gua itu Rp 100,000 per angkot pergi-pulang. Biasanya para supir angkot itu panen pada bulan-bulan Maria (Mei) dan Rosario (Oktober). Itu bulan-bulan ramai ziarah doa ke Gua Maria.

Pastor Wid benar belaka. Jalan menuju gua itu menanjak cukup tajam. Itu bagian bawah lereng Gunung Ungaran. Memang berat untukku, terutama karena harus membawa beban perut yang sudah membuncit. Dengkul dan tumit terasa pegal, mungkin karena kaget menapak jalan menanjak. 

"Barangkali," pikirku sambil mengatur napas, "beginilah rasanya Sisyphus menjalani hukuman dari Zeus, mengangkut sebongkah batu besar ke puncak bukit." Untuk pertama kali dalam hidupku, aku menganggap perut buncitku sebagai sebongkah batu hukuman.

Pemandangan Gunung Telomoyo, Merbabu, dan Merapi di selatan Gua Maria Kerep (Dokumentasi Pribadi)
Pemandangan Gunung Telomoyo, Merbabu, dan Merapi di selatan Gua Maria Kerep (Dokumentasi Pribadi)

Sekitar seratusan meter dari komplek gua, aku berhenti sejenak, mengatur napas lagi sambil balik badan memandang jauh ke arah selatan. Ah, indah sekali. Samar kebiruan di sana tampak puncak-puncak gunung Telomoyo, Kelir, Merbabu, dan Merapi. "Ah, lokasi gua yang elok," gumamku tanpa sadar.

Menjelang gerbang komplek gua, aku mengambil langkah terbilang dungu. Langkah kakiku tertarik mengarah ke kiri, menuju patung Maria Assumpta, Maria Diangkat ke Surga, yang menjulang setinggi 42 meter di ujung barat lapangan parkir. Ternyata di belakang patung itu hanya ada jurang. Dibangun tahun 2017, patung itu kini menjadi tetenger baru Gua Maria Kerep.

"Gua Maria di sebelah timur sana, Pak. Ini lapangan parkir." Menjawab pertanyaanku yang kebingungan, satu dari dua orang perempuan tua berambut putih yang berjalan-jalan di situ membertikahuku lokasi gua. "Matur nuwun, inggih," balasku santun sambil melangkah menuju gerbang gua.

Sebelum melewati gerbang gua, aku sempat menoleh sejenak ke arah parkiran, untuk memastikan kaki kedua perempuan tua itu menjejak tanah. Ya, benar menjejak, amanlah.

Berdoa di pelataran Gua Maria Kerep (Dokumentasi Pribadi)
Berdoa di pelataran Gua Maria Kerep (Dokumentasi Pribadi)

Eling dalam Hening

Aku sama sekali memang belum pernah ke Gua Maria Kerep, Ambarawa. Itu sebabnya sempat tersasar ke parkiran. Begitupun, setelah melewati gerbang komplek gua, aku membiarkan saja kakiku melangkah seturut intuisi untuk mencari gua. 

Dan intuisiku pagi itu, semoga karena tuntunan Roh Kudus, sangat jitu. Tiba-tiba saja aku menemukan diri sudah berdiri di depan patung Bunda Maria. Berdiri anggun di dalam gua, patung itu adalah replika patung Bunda Maria di Lourdes, Prancis, tanpa mahkotanya.

Sepagi itu susana gua sungguh hening. Fajar di timur baru tepian semburat merah lembut. Petugas kebersihan bekerja dalam senyap. Kicau burung di reranting pepohonan menjadikan indah hening pagi.

Aku eling. "Betapa besar Engkau, ya Tuhan, Allahku. Betapa renik aku duduk sendiri di relung alam ciptaan-Mu. Betapa kotor diriku di tengah hening yang bening ini."

Ada rasa repih di hati. Dengan rasa itulah aku duduk pada dingklik di pelataran doa, tepat di hadapan patung Bunda Maria, memejamkan mata, dan mulai merapalkan untaian doa-doa menyisir butir-butir rosario di tangan. Inilah doa rosario dari hati yang berserah pada-Nya.

"Terpujilah nama Yesus, Bunda Maria dan Santo Yosef, sekarang dan selama-lamanya. Amen." Aku menutup Doa Rosario pribadiku dengan tanda salib dan ciuman pada Salib Kristus. "Ini bukan ciuman Judas, Tuhan." Aku mencoba meyakinkan Tuhan, ah bukan, tapi diri sendiri.

Aku bangkit dari dudukku dengan rasa semutan halus di kaki kiri. Kutoleh ke kiri, kanan dan belakang. Ternyata, tanpa kusadari, telah duduk beberapa orang berdoa di sekitarku.

Setelah berjalan memutar 180 derajat searah jarum jam, melewati dua perhentian Doa Jalan Salib, aku berdiri di sisi timur komplek gua. Fajar sudah menyingsing. Terpa sinarnya menerakan kilau pada kubah aluminium sebuah mesjid di timur kota.

Sisi timur komplek gua itu adalah bibir jurang sedalam 75 meter. Di dasar jurang mengalirlah Kali Panjang, sumber bebatuan kali yang menjadi material utama konstruksi Gua Maria Kerep.

Sambil menatap ke arah metahari terbit, aku mencoba membayangkan proses pembangunan gua itu. Kisahnya terbilang epik. Tadinya komplek gua itu adalah kebun milik Kongregasi Bruder Apstolik, pemberian seorang tuan kebun berkebangsaan Belanda.

Romo Bernardinus Soemarno SJ kemudian menyarankan pembangunan Gua Maria di situ, sebagai wahana devosi kepada Bunda Allah. Titik lokasi gua ditunjuk secara spiritual oleh Romo Lucas Koersen SJ, Sekretaris Keuskupan Agung Semarang.

Proses pembangunan gua dimulai pada Januari 1954. Sejumlah 300-an orang murid Sekolah Guru Kolese Santo Yusuf dan Sekolah Guru Putri Santa Maria Ambarawa, serta anak asrama Bruderan dan Susteran dikerahkan untuk bergotong-royong, secara estafet menaikkan bebatuan dari Kali Panjang ke kebun bruderan di Kerep.

Secara simultan, konstruksi Gua Maria dikerjakan secara intensif. Hasilnya Gua Maria Kerep selesai terbangun pada bulan Juli 1954. Tepat pada hari Minggu, 15 Agustus 1954, Bapak Uskup Agung Semarang Mgr. A. Soegijapranata SJ memberkati patung Bunda Maria dan gua itu dengan air suci asli Lourdes.

Sejak itu Gua Maria Kerep resmi menjadi lokasi ketiga untuk devosi kepada Bunda Maria di Indonesia. Dua gua terdahulu adalah Gua Maria Sendangsono Kulonprogo (1929) dan Gua Maria Sendang Sriningsih Klaten (1936).

Aku melirik arloji di pergelangan tangan kiri. Jarum jam menunjuk pukul 06.45 WIB. Acara di Pangesti Wening akan dimulai pukul 08.00 WIB. Masih ada waktu sejenak berdoa di Kapel Adorasi Abadi, di tepi utara komplek Gua Maria Kerep.

Hening, senyap, di kapel mungil itu. Di atas altarnya ditahtahkan Tubuh Kristus dalam rupa Hosti Suci di dalam monstrans bersaput emas. Suasana di lingkungan kapel itu terasa magis.

Awalnya aku memutuskan untuk duduk berdoa di luar kapel. Tapi kemudian ada dua orang peziarah yang melepas alas kaki dan masuk secara senyap ke dalam kapel. Aku jadinya bertindak dungu, mengubah keputusan dengan mengikuti kedua orang itu masuk berdoa ke dalam kapel.

Dungu? Ya, dungulah tak teguh pada pilihan untuk duduk berdoa di luar kapel. Tapi siapa sih umat yang tak menjadi dungu di hadapan-Nya?

Kapel Adorasi Abadi, tempat pentahtahan Tubuh Kristus di rupa Hosti Kudus (Dokumentasi Pribadi)
Kapel Adorasi Abadi, tempat pentahtahan Tubuh Kristus di rupa Hosti Kudus (Dokumentasi Pribadi)

Aku Datang, Aku Berdoa 

Banyak hal rohaniah yang dapat dilakukan atau disaksikan di Gua Maria Kerep. Tapi dua saja menurutku yang terpenting: Doa Rosario di hadapan patung Bunda Maria, dan Doa Berserah Diri di hadapan Tubuh Kristus. Keduanya adalah doa permohonan kepada Tuhan, yang dipanjatkan dengan harapan Bunda Maria di Surga sudi meneruskan kepada Yesus Kristus putranya.

Itu berharap mukjizat air menjadi anggur pada pesta perkawinan di Kana. Bunda Maria memberitahu kepada Yesus bahwa tuan rumah kehabisan anggur. Maka Yesus memerintahkan para pelayan mengisi tempayan dengan air, berdoa kepada Allah Bapa, lalu menyuruh sajikan "air" itu kepada tetamu. "Mengapa tuan rumah menyajikan anggur yang paling enak di ujung pesta?" protes para tetamu.

Langkahku terasa ringan ketika keluar melewati gerbang Gua Maria Kerep. Seperti ada beban yang menguap, atau mungkin harapan yang mengembang. 

Melangkah turun ke bawah, di kiri dan kanan jalan kulihat barisan lapak-lapak kosong. Tiba-tiba saja aku teringat pesan kawan tentang pecel Yu Jum muda. Aku celingukan mencari sosok penjaja pecel yang kira-kira bisa diduga sebagai Yu Jum. Tapi tak ada seorang penjaja pun di situ.

"Aku sudah cari sampai kolong lapak, tapi tak kutemukan Yu Jum dan pecelnya." Aku mengirim pesan lewat WAG kepada kawan penggemar fanatik pecel Yu Jum itu. "Coba cari di Google Map," jawabnya slengekan. Semprul! (Lihatlah, betapa cepat peralihan dari doa ke dosa, hanya terselang huruf "s").

Aku senang teringat soal pecel Yu Jum itu, dan juga tak menemukannya, setelah usai berdoa di Gua Maria Kerep. Itu penanda bahwa aku datang ke situ semata-mata karena dorongan motif berdoa devosional kepada Bunda Maria dan Tubuh Kristus. Itulah motif sekaligus tujuan utamaku. Bukan karena dorongan motif lain, semisal godaan pecel racikan Yu Jum. 

"Setidaknya ziarahku pagi ini bersih dari nafsu-nafsu lahiriah," pikirku sambil menyusuri jalan pulang yang menurun curam. Beruntung aku tiba di puncak tujuan, di Gua Maria Kerep. Tidak seperti Sisyphus yang selalu terguling kembali dengan batunya ke bawah bukit setiap akan mencapai puncak.

Tapi perjalanan menurun juga rupanya bukan sesuatu yang mudah bagi seseorang berperut buncit sepertiku. Sambil memastikan presisi langkah kaki, dalam hati aku berdoa, "Tuhanku, tuntunlah tangan hambamu ini, agar tak sampai mengelinding seperti trenggiling ke bawah sana." (eFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun