***
Apakah murid-murid SD di masa "Merdeka Belajar" kini masih menyanyikan lagu-lagu wajib nasional setiap pagi?
Entahlah, atau, saya gak yakin begitu. Kerap kali saya lewat pagi hari di depan beberapa SDN dan SDS di sekitaran Mampang Prapatan. Gak pernah tuh dengar anak-anak menyanyikan lagu-lagu wajib nasional.
Yang ada tahun lalu anak-anak rame pada nyanyiin  "Ojo Dibandingke", niruin Farel Prayoga. Tahun ini nyanyiin "Rungkad", niruin Putri Ariani. Hadeuh ...!  Tapi, ya, asyik juga, sih.
Sewaktu anak-anakku sekolah di SD tahun 2000-an, seingatku jarang juga mendengar mereka menyanyikan lagu-lagu wajib nasional. Komo di rumah, di sekolah saja jarang.
Menyanyikan lagu-lagu wajib nasional itu bisa menumbuhkan rasa nasionalisme. Setidaknya begitulah yang saya rasakan dulu waktu SD.
Menyanyikan lagu-lagu wajib nasional itu, bagiku adalah bagian dari proses emosional mengindonesia. Menumbuhkan benih nasionalisme dalam diri.
"Ini aku, anak Indonesia!" Kira-kira begitu kalau diteriakkan. Bukan sauvinisme, ya. Tapi nasionalisme.
Jika benar tradisi menyanyikan lagu wajib nasional dihapus dari SD, maka satu modus gembira untuk pembangkitan nasionalisme telah hilang.
Akhir-akhir ini saya perhatikan ritual religiositas lebih mewarnai hari-hari murid SD di sekolah. Entah itu membaca Kitab Suci atau berdoa.Â
Tentu saja itu penting untuk memupuk iman, ketakwaan kepada Tuhan YME. Tapi tanpa imbangan dari upaya memupuk nasionalisme, religiositas dalam diri murid SD berisiko tergelincir menjadi fanatisme, lalu intoleransi.